Total Tayangan Halaman

Kamis, 11 Maret 2021

Dua puluh ribu rupiah

 


Dengan Rp 20000 kamu bisa beli apa?

Versi saya

- 2 kg beras kelas biasa

- 2 liter pertamax atau 2,5 liter pertalite (bener ya?)

- 1 tabung gas melon-

- 1/2+ kg ayam potong mentah

- 1 kg telur ayam negeri (kadang-kadang)

- Belanja sayur 2 hari => tahu 3000, tempe 10 bungkus 3000, bayam 3000, cabe+ bawang 5000, minyak goreng 1/4 L 3500, kembalian: 2500.

- Atau 2 GB kuota internet (provider tertentu) bisa untuk WFH beberapa hari biar gak nebeng wifi melulu. 


Versi rang-orang Yes

- soto + 1 potong lauk di warung soto papan atas yang kang parkirnya punya gimmick

- 5 potong sosis solo yang bisa habis dilahap seorang diri dalam 5 menit

- sekotak donat merk lokal isi 6 biji (tapi dicela tidak enak ini itunya dibandingkan merk internesyenel di mol)

- satu gelas plastik es kopi susu kekinian yang manisnya kebangetan. Itupun mungkin harus tambah beberapa ribu lagi biar harganya kliatan kewreyn.

- seporsi steak kawe yang kebanyakan tepung tapi di upload buat status wasap karena mamamnya di sebwah food court mol terkemuka murahnya


Versi di suatu petang gerimis...

Dua puluh ribu adalah harga jasa yang saya bayar kepada  mas bengkel waktu itu. Menurut mas bengkel dua puluh ribu terlalu banyak hanya untuk memasang kembali rantai motor yang lepas. Dia pun bermaksud mengembalikan setengah dari dua puluh ribu itu. Tetapi saya tolak karena tanpa kehilangan dua puluh ribu saya pasti harus mendorong motor lebih jauh lagi dan kena charge minimal 7x lipatnya. Padahal saat itu cuma ada tigapuluh ribu di dalam tas. Atau lebih buruk lagi, tanpa kehilangan dua puluh ribu rupiah itu saya harus mendorong motor sejauh 8 km sampai rumah. Untuk mas bengkel dua puluh ribu malam itu mungkin bisa untuk jajan dua anaknya esok pagi atau belanja lauk untuk sehari. Sepuluh ribu yang hendak dia kembalikan mungkin karena terharu melihat saya yang jam segitu masih berkeliaran di bawah gerimis demi nebeng wifi kantor. 


Jadi ketika kamu membelanjakan dua puluh ribu rupiahmu untuk seteguk kopi kekinian atau semangkuk soto kelas atas dan kamu masih menggerutu karena kurang inilah, kurang itulah, ingatlah orang seperti saya atau mas bengkel. Buat kami uang sejumlah itu berarti untuk hidup satu dua hari. Dua puluh ribu bisa untuk menyambung nyawa supaya tetap berkarya.


Tetapi sekali lagi setiap hal ada tempatnya masing-masing. Tidak perlu merasakan hidup jadi kamu, saya, atau mas bengkel seperti reality show busuk di tipi-tipi itu. Cukuplah hidup di jalur masing-masing. Tetapi berhentilah mengumbar cerita apa-apa yang bisa kamu beli dengan uangmu sementara masih suka minta tethering internet.  



(Fueled by kopi sachet & Dragonforce's Valley of the Damned)

Note: harga2 barang di atas hanya berlaku di tempat saya tinggal dan di saat waktu tertentu.

Jumat, 29 Mei 2020

Kenapa harus Dragonforce?


Kenapa harus Dragonforce?

Beberapa minggu terakhir saya sering membombardir status wasap dengan dikit-dikit Dragonforce, dikit-dikit Herman Li, dikit-dikit Dragon-dragonan entah di rumah dengan gadget atau di kantor dengan layar lebar pinjaman. Mungkin ada yang sampai mblenger stalking status saya lalu di-mute-lah saya.  Saya melakukan itu bukan karena pingin terlihat keren dan dikira masih kinyis-kinyis, updatenya metal-metalan. Bukaaaannn….kalo pengen terlihat muda dan keren, status saya pasti tentang adik-adik BTS yang mukanya kempling-kempling itu. Ada beberapa alasan saya melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan buibu 40+ yang bentar lagi gantung sepatu ini.

Seperti kita tahu beberapa bulan terakhir ini terjadi perubahan besar-besaran di tatanan kehidupan seluruh dunia tak terkecuali hidup saya yang cuma sekedar remahan kaastengel di lembah toples.  Salah satu perubahan yang sangat nyata adalah cara bekerja saya yang mulanya harus bertemu muka dengan orang lain dan tidak dituntut cepat-cepat, leda-lede pun boleh, menjadi harus serba digital, daring, dan harus cepat selesai.  Untuk itu saya butuh sesuatu yang bisa memacu adrenaline saya untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tetap enjoy meskipun lebih banyak tekanan.
Mungkin yang belum menjalani perubahan ini akan berpikir digital kok malah banyak tekanan. Jangan salah Ferguso!! Setiap hari gawai saya dibanjiri ratusan teks PDF dan segala turunannya, serta image/foto yang berisi informasi tentang apa yang harus saya kerjakan. Satu gawai rasanya tidak cukup untuk semua itu, laptop, tablet, pil, dan puyer, semua terpakai.  Belum lagi kalau kehabisan kuota, tekanan semakin berat.  Semua harus onlen, beb….onleeen. Yaaa…  meskipun kadang masih nebeng wifi kantor, kalau kuota internet habis rasanya ada yang hilang.  

Itulah mengapa adrenaline saya yang kadang berlimpah ruah ini belum cukup untuk membabat semua pekerjaan itu. Saya masih butuh sesuatu yang lain untuk memompa lebih banyak adrenaline. Salah satunya adalah dengan memilih genre music yang tepat karena menurut saya musik yang saya dengarkan ketika bekerja akan mempengaruhi hasil kerja saya. 


Pilihan saya jatuh pada Dragonforce.

Saya jatuh hati dengan beat genre yang dibawakan Herman Li dan kawan-kawan ini.  Dragonforce, grup music dari Inggris ini mengusung musik bergenre Power Metal dengan beat yang lebih tepatnya sangat cepat dan terlalu enerjik. Untuk sebagian orang beat Dragonforce memang tidak umum.  Permainan gitar Herman Li yang cukup edyan speed dan tekniknya menghasilkan bunyi-bunyian yang tidak umum muncul di permainan gitar, misalnya nada-nada aneh seperti di game Nintendo. Udah gitu masih ada  gitaris satu lagi, Sam Totman, kombinasi keduanya  bisa bikin mual dan pusing yang gak biasa mendengar. Belum lagi gebukan drum mas Gee Anzalone yang pinter masak itu bisa bikin jantungan karena nyaris gak ada jedanya.


Seperti dari beberapa bacaan yang saya dapat, genre ini disebut power metal, music metalnya Eropa. Salah satu band populer yang membawakan genre ini adalah Helloween yang terkenal dengan lagu bucin Forever and One itu.  Bahkan sang gitaris Dragonforce sendiri di sebuah wawancara dengan sebuah majalah musik menyebut musik mereka extreme power metal, persis seperti nama album terakhir mereka tahun 2019, Extreme Power Metal.  Udah power metal itu genre music yang gak ada santai-santainya masih ditambah extreme pula. Klean gak akan kuat, cukup saya aja yang dengerin.


Beat sedemikian itulah sepertinya yang kemudian tersinkronisasi sempurna dengan ritme jantung saya ketika bekerja sehingga saya bisa menyelesaikan segala pekerjaan dengan cepat dan tepat. Intinya begitulah yang saya rasakan ketika bekerja diiringi dengan petikan gitar mas Herman Li dan suara merdu merayu vokalisnya yang ganti-ganti melulu, saya sampai lupa namanya.


Kenapa pilihan saya jatuh ke Dragonforce padahal di playlist saya ada banyak music yang war wer wor? Saya punya Slayer, Lamb of God, Burgerkill, dan Metallica tapi itu terlalu berat untuk menemani kerja bikin slide power point dan lesson plan. Takutnya salah ketik misuh-misuh di slide karena terbawa ikut berdendang. ASDFGHJKL:”!!!   Ada pula serentetan lagu-lagu puitis dari Dream Theater. Ini mengkhawatirkan untuk didengarkan ketika bikin lesson plan. Karena liriknya yang dalam, takut kepikiran kenapa si Victoria bertengkar dengan Nicholas atau ada apa dengan Anna Lee. Ada lagi downloadan video Megadeth, musiknya OK sih…tapi polah gitaris barunya itu bikin gak konsentrasi, terlalu menggemaskan untuk jadi gitaris metal menemani Eyang Dave Mustaine.


Dragonforce membawa tema-tema optimis dan penuh semangat juang.  Faktor ini sangat penting mengingat secara tidak sadar ketika mendengar sebuah lagu, otak kita akan merekam kosa kata yang ada didalamnya beserta nada-nada pembawanya. Pernah gak mengalami ada satu lagu yang kita samasekali tidak tahu tapi selalu terngiang-ngiang ditelinga? Bisa jadi karena tetangga sering mutar itu kita tidak sengaja mendengar dan mancep di otak. Nah…itulah salah satu alasan lain saya jatuh cinta kepada DragonForce.  Tema-tema lagunya selalu optimis bahkan ketika patah hati dan mengalami ketidak beruntungan. Itulah yang saya mau, terngiang-ngiang kata-kata penuh semangat dan optimis, bukan mewek dan menye-menye.


Nih ada beberapa contoh lirik yang penuh optimisme itu.

The Trail of Broken Hearts, lagu broken heart lho ini….

Here we are, far beyond the distant sky
Seen all the world and how the story will be over
Through the snow and tainted mountains we have climbed
Now we have found the light that guides us over
Through the falling rain we travelled far and wide
And through the blackest darkness, stars above shining bright

Didalam kegelapan yang amat sangat, di atas sana bintang masih bersinar terang. Lhoooo… Kurang optimis gimana? Dalam kegelapan pun masih percaya di luar sana masih ada harapan. Penting ini!
Masih kurang? Ada lagi nih, dari  Where Dragons Rule.

Sun set in the western sky
The battle’s almost done
The victory will be glorious
Our enemies are gone

Percaya bahwa semua halangan pasti akan ada akhirnya.   Atau butuh semangat untuk memperbaiki diri? Adaaaa….Razorblade Meltdown. Dari waktu yang pernah kita sia-siakan, pilihan untuk berubah menjadi lebih baik ada di tangan kita, gitu katanya.

Seize the day outside the world is wide
We still have one chance left tonight
The choice is ours to make it right
For all the wasted time


Itu cuma sedikit contoh dari lagu-lagu Dragonforce yang berhari-hari menemani saya bekerja dan bermain. Menurut pemikiran saya yang sederhana ini, kosa kata semacam seize, battle, victory , freedom, glorious dan semacamnya yang selalu muncul di lagu-lagu mereka mengajarkan betapa saya tidak boleh nglokro dan menyerah terhadap tekanan sekeras apapun. Entah inspirasinya darimana atau apa maksud sebenarnya dari lagu-lagu tersebut tidaklah begitu penting untuk saya, yang penting efek positifnya saya bisa tetap bersemangat. Di mata saya yang awam urusan musik, Dragonforce sukses membuat tema-tema penderitaan berubah menjadi perjuangan yang berkobar-kobar. Pokmen I love you, Herman Li!!


Alasan terakhir cukup klise, sih. Bawaan lahir. Sebagai generasi yang lahir penghujung tahun 70an dimana music rock sedang mulai berkibar kencang dan tumbuh besar di era 80-90an di mana grup-grup musik legendaris mulai berkibar kencang, sangat sulit kiranya untuk tidak mengenal genre musik satu ini beserta turunannya. Sebagai ABG era itu, kalau gak nge-rock, ya nge-pop. Panggilan hati saya rupanya adalah  jalur rock meskipun setiap hari Bapak saya memutar Nyai Tjondrolukito dan Bu Waldjinah.  Di jaman itu radio-radio jamak memutar lagu-lagu Metallica, Megadeth, Bon Jovi, atau Guns N Roses, atau grup-grup slow rock dengan personel cowok-cowok cantik semacam Warrant, Poison, atau Skid Row yang lagu-lagu cintanya mak jleb banget dan bikin menangis darah. Jangan salah ya, gak cuma cowok Kpop aja yang cantik, rocker 80-90 udah duluan cantik bahkan sebelum cowok-cowok Kpop dirancang. Hahaha. 


Paparan terhadap musik rock yang kemudian berkembang menghasilkan heavy metal secara tidak langsung mempengaruhi selera permusikan saya. Setelah mengalami pencarian akhirnya saya berlabuh di genre ini untuk menemani perjalanan hidup saya sampai saat ini. Jadi kalau ada yang kemudian komen ,”Duh, udah ibuk2 kok masih sok metal ya? Malu dong sama anak cucunya” saya anggap saja dia gak ngerti sejarah. Dah gitu aja. Kalau mau dijelaskan ini bisa panjaaang, bisa jadi satu artikel sendiri. Buat saya pilihan musik itu sangat personal seperti memilih baju, cocok buat saya belum tentu cocok buat yang lain, begitu pula sebaliknya. Jadi kalau saya tidak ikut-ikutan memuja cowok cantik masa kini yang pinter joget-joget  itu bukan karena mereka tidak lebih bagus daripada rocker 80an yang sekarang sudah mapan + matang dan tetap gondes, tetapi lebih kepada genre musik yang ra mashook buat saya dan faktor ah sudahlah yang lain. (Haha bisa jadi artikel lain juga nih…tapi siap-siap dihujat pemujanya)

Biarkan saya cukup memuja Herman Li dan permainan gitarnya yang bikin adrenaline saya tumpah ruah. Dan biarkan saya ikut mendendangkan liriknya yang saya tak kunjung hafal.


In my heart in my soul I am out of control
Fly across the mountains and towards the distant sun



(referensi; Wikipedia, dragonforce.com


Jumat, 22 November 2019

CABUK RAMBAK


CABUK RAMBAK

Cabuk  rambak  /cabukrambak/  n (C) makanan khas Solo yang terbuat dari ketupat  (rice cake / kupat) dengan saus wijen manis gurih dan dimakan dengan lauk karak  a.k.a rice crackers a.k.a lempeng (Jawatimur).


 Makanan khas Solo ini sampai sekarang masih bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional atau ibu-ibu penjual keliling. Beberapa masih memegang teguh pakem tetapi beberapa sudah terimbas modernisasi. Untuk yang masih memegang teguh pakem, ketupat harus benar-benar dibungkus daun kelapa (janur/ blarak). Karena dibungkus daun kelapa maka aroma nya tentu saja lebih sedap dibandingkan yang ketupat berbungkus plastik. Sayangnya beberapa penjual memilih memakai plastik untuk bungkus ketupatnya karena alasan kesulitan mencari daun kelapa. Menurut Ibu bakul cabuk rambak yang pernah saya tanyai, satu papah ( satu pelepah) dihargai Rp 30000. Satu pelepah entah ada berapa helai daun saya kurang tahu. Tentu saja harganya  lebih mahal dibandingkan plastik yang hanya Rp 10000an sudah dapat 100 lembar.

Cabuk rambak adalah makanan yang unik menurut saya. Pertama kali saya mengenal makanan ini sekitar 15 tahun yang lalu. Awalnya lidah Jawa Timur saya agak menolak rasanya karena cenderung manis dan sama sekali tidak ada sentuhan cabe. Tetapi setelah mencoba beberapa kali akhirnya saya cinta betul dengan makanan ini.  Karena cinta maka saya berusaha mencari apa yang membuat rasanya begitu unik.

Kupat. Seperti yang sudah saya sebut diawal, serta sesuai kitab suci perkupatan, kupat seharusnya dibuat dengan bungkus daun kelapa supaya aroma harum daun kelapa bisa merasuk ke beras yang dimasak berjam-jam menjadi kupat. Selain itu daun kelapa membuat warna ketupat sedikit ada shading – nya, nggak cuma putih memplak aja kayak muka mbak2 yang pake sekinker murahan. Hahaha… Back to topic, please!  Selain itu, ketika kupat diiris, suara pisau memotong bungkus daun kelapa itu kres..kres-nya saaaaangat merdu di telinga saya. Xixixixi.


Ibu bakul cabuk rambak wilayah
 kerja Tipes - Panularan, Solo.
Sambel cabuk. Saya jujur tidak tahu arti cabuk sebenarnya, hanya menduga-duga saja bahwa cabuk adalah wijen. Beberapa orang asli Solo yang pernah saya tanyai mengapa itu sambel disebut sambel cabuk ternyata tidak tahu juga. Akhirnya saya simpulkan sendiri aja, cabuk is wijen a.k.a sesame.  Sesame sopir dilarang mendahului   Menurut analisa saya, rasa gurihnya berasal dari wijen sangrai yang ditumbuk halus. Wijen kalau independen seperti di onde-onde memang tidak ada rasanya. Tetapi ketika mereka bersatu dan disangrai lalu ditumbuk, muncullah aroma harum dan rasa yang manis gurih. Belum cukup sampai disitu. Wijen tumbuk ditambah bumbu-bumbu lain yang membuatnya aromanya semakin semerbak dan rasanya semakin legit. Sekali lagi menurut benchmarking pribadi, bumbu yang dihaluskan bersama wijen tumbuk tadi kira-kira adalah kencur, gula dan garam pastinya, dan daun jeruk purut. Kadang ada yang menambahkan daun jeruk purut iris disambalnya yang belum dicairkan. Inilah yang membuat aromanya sangat khas. Sekarang bayangkan…gurihnya wijen dipadu aroma dan rasa kencur yang sedikit sepet semriwing plus aroma daun jeruk purut. Belum bisa membayangkan?.... Yowis tukua dewe…

Karak. Makanan ini disebut lempeng di daerah Karesidenan Madiun. Konon karaka tau lempeng terbuat dari nasi ditumbuk bersama garam cetitet a.k.a borax lalu diiris tipis dan dijemur. Kalau sudah kering, karak mentah digoreng dengan minyak. Kenapa saya mesti sebut pakai minyak, karena ada jenis karak yang dipanggang yaitu jrangking. Kapan-kapan saya tulis ini deh… Pertama kali saya makan cabuk rambak, saya sebenarnya tertipu. Saya pikir rambak yang dimaksud adalah rambak kulit sapi, eeee …. gak taunya cuma karak. Hahaha… Gak tau juga kenapa disebut rambak. Mungkin untuk menghibur rakyat jelata seperti saya, jajan bunyinya rambak kan keren karena mahal,  tapi kenyataannya cuma karak. You know, rambak is mihil. Karak 2000 rupiah dapat 7 lembar, rambak sapi 2000 rupiah dapat pisuhan bakule. Wkwkwkwk… Cabuk rambak akan memunculkan rasa yang sempurna ketika karak yang disajikan bersamanya ada nuansa agak gosong-gosong. Aroma sangit dan sensasi kriuknya karak gosong  sungguh tak tergantikan. 

Daun pisang.  Kehadiran daun pisang sebagai pembungkus cabuk rambak adalah sangat esensial.  Sama halnya dengan daun kelapa pembungkus kupat tadi, daun pisang memberikan aroma yang khas dan sensasi memegang pincuk yang sangat berbeda dari bungkus kertas minyak. Selain itu bungkus daun sangat ramah lingkungan. Jadi sebaiknya kalau kamu berkunjung ke Solo dan hendak membeli cabuk rambak, pastikan bungkusnya daun pisang, bukan daun ganja atau daun pintu.

Terakhir tetapi penting juga.

Biting. Benda kecil sepanjang kurleb 7 cm biasanya terbuat dari tulang daun kelapa atau bambu yang diruncingkan seperti jarum. Benda ini sangat penting karena mempunyai dwifungsi  ABRI (sounds ORBA, doesn’t  it?) Pertama, biting berfungsi untuk mengancingkan bungkus cabuk rambak. Stapler OK tetapi bahaya tertelan, karet no problem tetapi bahaya kejepret. Biting? Yes. Kedua, selain untuk mengancingkan bungkusnya, biting berfungsi sebagai alat makan. Makan cabuk rambak itu paling afdol adalah dengan biting, bukan dengan garpu yang kebarat-baratan. Cukup sunduk itu potongan kupat yang berlumur sambal cabuk dengan biting, lalu hap dan gigit karaknya pelan-pelan.  That’s heaven…

Demikian hasil benchmarking saya tentang cabuk rambak. Kalau ada kurang dan keliru mohon maaf karena kesempurnaan adalah milik Tuhan. (*nulis gini sambil ngelap iler
(Ora sah ngguyu….aku serius!)


Notes: Foto koleksi pribadi





Selasa, 04 Juli 2017

REUNION BLUES



REUNION BLUES
Pertanyaan-pertanyaan hahingan seputar reuni
(non-single mode)


Bulan Syawal gini, topik yang paling hot  dibicarakan dan dibuat update status adalah reuni. Ya, reuni atau kumpul-kumpul dengan teman lama.   Hampir semua akun teman-teman di sosial media mengunggah foto-foto mereka ketika bersua dengan teman-teman lama. Settingnya beragam, mulai dari yang sekedar kumpul-kumpul di warung lesehan sampai yang bertempat di sebuah convention hall dengan backdrop MMT segede gaban bertuliskan angkatan sekolah mereka. Bahkan ada pula yang dibela-belain pake seragam. Sangat menarik dan membahagiakan meskipun hanya melihat foto-fotonya. Pada dasarnya reuni adalah sesuatu yang membahagiakan asal tidak muncul pertanyaan-pertanyaan hahingan yang kerap muncul dan bikin baper setelah reuni.


Pertanyaan hahingan pertama yang biasa muncul adalah “Anaknya mana kok gak ikut?”. Itu belum seberapa hahingan sih, tetapi kalau kemudian berlanjut dengan pertanyaan ini,”Loh, belum punya momongan to? Emang udah berapa tahun nikah? Udah konsultasi kemana aja? Udah pake treatment apa aja?”. Huhuhu...hungguh hahingan orang yang bertanya sebanyak ini. Tapi kenyataan di luar sana banyaaaak orang yang seperti ini. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga banyak sekali pertanyaan yang harus saya jawab.  Dan pula, apa untungnya buat mereka tahu informasi pribadi sedetil itu. Cuma mau  bilang, “Yang sabar ya... nanti pasti diberi kok. Berdoa aja. Tetap semangat” ? Eh badala...sok tau pula. Kapan situ di kontak sama Tuhan kok tahu saya mau dikasih surprise. Kok tau juga saya gak pernah berdoa? Hmm.... Sebenarnya teman seperti ini perlu diapresiasi lho... Dia adalah teman yang baik karena memberi semangat kepada sesama temannya yang masuk kategori “difabel” ini.   Buat saya pribadi, sebisanya tidak bertanya topik ini ketika bertemu dengan teman lama siapapun itu.  Karena saya tahu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah tidak mudah dan tidak nyaman. Saya mengalaminya berulang kali. Kadang-kadang saya berpikir sebaiknya saya memakai sandal jepit kemana-mana, sehingga kalau suatu kali bertemu dengan kawan yang semacam ini langsung saja angkat itu sandal dan plaak!... Pedes khan? 


Biasanya di acara reuni, teman-teman seangkatan akan duduk bersama sementara anggota keluarga ada di satu bagian barisan yang berbeda.  Nah, kalau sudah gitu pasti akan akan ada pertanyaan,” Yang mana anakmu? Yang mana suamimu/ istrimu?” Pertanyaan yang cukup biasa, ringan dan tidak menyakitkan siapapun. Asaaaal....tidak diikuti pertanyaan ini,”Oh, itu anakmu? Kok beda banget sama kamu dan suamimu?” Hasyuuu... Daripada pusing-pusing dan bikin baper, jawab aja dapet beli di online shop. Titik.  Penting ya tahu asal usul anak saya? Mikir dong, kalau pertanyaan itu didengar si anak, sampai rumah bisa jadi dia akan bertanya,”Ibu, apakah benar saya bukan anak Ibu dan Bapak? Kata tante tadi saya gak mirip Ibu Bapak?” Lhoooh...bahaya khan? Jangan sampai muncul sinetron “Aku Mirip Siapa?”.  Belum lagi kalau pertanyaan kedua itu muncul,”Yang mana suami/istri mu? Yang itu ya? Kok kelihatan lebih tua dari kamu? Emang selisih berapa tahun?” Eeeeer, kapan-kapan kita ketemuan saya bawain KK dan surat nikah aja ya. Biar jelas semua. Kok ada ya yang tega bertanya seperti itu? Adaaaa.... Dan lagi saya mengalaminya juga. Teman saya yang mulia ini menanyakan mengapa suami saya terlihat lebih tua dari saya. Maunya saya jawab serius, tetapi dengan guyonan saya jawab aja, saya dikutuk awet muda. Parahnya, dia tidak cuma mengkomentari suami saya seorang , tetapi juga teman-teman yang lain.  Harap maklum juga sih, bojonya dia teman sekelas kami juga. Wajar dong kalo masih sama-sama terlihat “muda”. Tetapi dari nada bicaranya dia membanggakan suaminya lebih dari suami-suami teman lain. Ya iyalah... masak  mau membanggkan suami tetangga. Yang mengganjal di saya adalah saya bisa menerima itu kalau suaminya segagah mas Leonardo DiCaprio dimana semakin berumur semakin (*“cemakot”. Tetapi...yaah... kenyataannya standar aja tuh, skor paling 5-6 poin lah. Yang saya semakin tidak mengerti definisi dari “tua-muda”nya dia itu adalah selama kami bertemu dan bercanda dengan sesama teman lama, berulang kali dia menghentikan guyonan kami dengan sebuah kalimat,”Wis ah, wis tuwa. Wis ra pantes. Diguyu sing enom-enom ngko”. (Sudah...sudah. Kita sudah tua, tidak pantas. Nanti ditertawakan yang muda-muda”). Saya kemudian berpikir keras apa sebenarnya maksud dia mengkomentari suami saya dan beberapa teman kami terlihat tua. Asuudahlah... Tua muda adalah kata sifat yang sangat subyektif, tergantung generasi mana yang berbicara (*benerin kacamata plus).


Reuni kadang secara tidak kentara menjadi ajang unjuk bukti kesuksesan selama kurun waktu tertentu. Sukses dalam segala hal, mulai dari sukses menggaet gebetan semasa sekolah, sukses beranak banyak, sukses bertransformasi dari seorang tomboy hahindul menjadi mamah-mamah cantik nan menggemaskan, sukses dalam pekerjaan, dan masih banyak lagi.  Mungkin banyak yang mengatakan kalau kehadiran kami, saya, anda,  tidak untuk menunjukkan semua itu. Tetapi apakah mungkin kita datang di acara nan agung itu dengan wujud “awul-awulan”? Nggak mungkin khan?  Bisa-bisa kita malah ditangkap aparat karena memasuki area nan gemerlap dengan tampang yang ahsudahlah.  Suatu kali nun di sebuah acara reuni beberapa tahun lalu, tersebutlah sebuah percakapan antara saya dengan seorang kawan lama. “Eh, kamu tinggal dimana sekarang? Perumahan ya? KPR?” Dalam percakapan itu terceplos dari mulut saya bahwa saya masih punya kriditan KPR. Eh..badalah....komen dia apa coba? “Masak sih udah kerja 10 tahun lebih rumah masih kridit aja”. Astaga, saya tidak siap dengan kosakata pisuhan yang saya kuasai. Maka dengan santai saya jawab, “Yo maklum, sing mampu kredit ki biasane malah sing duite akeh”. (Maklum aja, yang mampu kredit itu cuma orang berduit).  Kalau dipikir bener juga lho, kita kredit sesuatu dalam jangka waktu sekian tahun, harga barang yang kita beli tersebut jadi berlipat-lipat kan? Duitnya banyak khan? Cumaaaannn...duitnya gak di kita. Itu aja. Hahaha...syu. Apapun alasan dia menanyakan dan mengkomentari saya sedemikian adalah dengan tidak langsung menunjukkan bahwa dia sudah selesai dengan hutang-hutangnya, sudah gak kridit-kridit lagi. Keren khan? Tapi buat saya, jaman sekarang hidup tanpa kredit itu seperti minum kopi pake cup Setarbak tapi isinya kopi sasetan beli dua dapat satu. Ngapusi luar dalam.  Hahaha...



Selanjutnya, pertanyaan hahindul yang biasanya muncul dengan spontan terutama di kalangan mamah-mamah adalah, ”Hey, kamu hamil ya? Kok badanmu gendutan? Wah, hidupmu makmur ya? Kamu kurus amat sih? Kamu kecapekan ya?” (**Demi merk netbuk saya dalam bentuk single!) Pertanyaan-pertanyaan  ini sungguh sangat ringan, tetapi sangat menyakitkan untuk dijawab sebagian individu.  Saya tahu maksudnya adalah membandingkan wujud fisik ketika dulu masih sekolah jaman the Smiling General berkuasa dengan sekarang jamannya The Working Vlogger. Ya jelas beda atuh Mamah... Dulu kurus kering karena malas makan.   Di rumah dipaksa makan dengan sayur bayam yang akhirnya tidak dimakan sementara mau jajan steak, burger , atau kue pastry hibrida milik para artis itu belum ada yang jualan.  Sekarang? Males makan sayur bayam, tinggal order online, makanan lezat bisa langsung datang ke depan pintu kita setiap saat.  Jadi beda ukuran ya wajar laaah...kalau tetap ukuran semula ngeri dong! Emangnya kita hidup di Neverland- negeri dimana bisa menjadi anak-anak selamanya-? Faktor  usia dan gaya hidup adalah salah dua yang membentuk fisik kita saat ini.  Jadi sangat tidak adil kalau ada yang mengkomentari bentuk badan seorang teman lama.  Helloo...maem banyak, males olah raga, umur sudah hampir 40, maunya langsing aja? Bagus. Ambil bantalnya sana.....


Terakhir, dan semoga pertanyaan ini tidak akan pernah muncul lagi sampai kapanpun.  Sebagian orang datang ke reuni dengan full squad, suami, istri, anak, cucu, kakek, nenek... Sebagian yang lain merasa baik-baik saja datang seorang diri. Saya adalah salah satu yang merasa lebih nyaman datang sendiri. Bukan karena apa-apa, tetapi lebih memberi kebebasan suami saya untuk ikut saya atau tidak. Kebetulan dia tidak tahan duduk diam lama-lama hanya mendengarkan ini itu, ya sudah saya biarkan dia jalan sendiri sementara saya ngumpul dengan teman-teman. Keadaan inipun menimbulkan satu pertanyaan dari seorang teman yang Alhamdulillaah sangat “perhatian” kepada yang lain. Karena ini pertanyaan yang sangat langka, maka diapun bertanyanya dengan bisik-bisik dan sangat rahasia. “Eh, kamu nggak “itu” khan?” Saya kurang tahu maksud dari  kata “itu”. Bertanyalah saya.  Ooooh...maksudnya dia tanya apakah saya masih “straight” karena saya hampir tidak pernah terlihat datang dengan suami saya di setiap acara, plus sampai kiamat hampir datang saya tidak juga menggendong satu bayipun.  Pertanyaan ini adalah satu yang tidak saya jawab, tetapi saya balik bertanya ke dia, “Menurutmu?”  Bener-bener baru kali ini saya mendapat pertanyaan yang sangat menohok. Saya memang tidak se-“chic” mamah-mamah yang lain, tapi Say,...guweh  tuh masih doyan cowok kaliiik....  Bukannya saya benci dengan mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, tetapi saya hanya berpikir apa untungnya teman saya ini untuk tahu itu. Sungguh hahingan, khan? Atau jangan-jangan dia sendiri naksir saya.... Setelah peristiwa itu, dia memutus pertemanan di sosial media. Badalaaaa....maksudnya bagaimana ya? Sudahlah. 



Ide tulisan ini muncul ketika saya membaca status salah satu teman di jejaring sosial.   Dia mengunggah status tentang mana yang lebih disukai, reuni besar dengan banyak orang bahkan yang mungkin dulu kurang kita kenal semasa sekolah atau sekedar kumpul-kumpul  dengan teman-teman dekat semasa sekolah.  Di satu sisi reuni memang membuat kita bahagia dengan mengingat masa-masa indah ketika dosa kita masih sedikit. Tetapi disisi lain reuni bisa berubah menjadi acara yang hahingan sekaligus hahindul kalau muncul beberapa pertanyaan diatas dari orang-orang dari masa lampau. Saya menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi juga. Jadi kalau ada teman-teman yang merasa berada di dalam cerita saya , mungkin hanya kebetulan saja. Kebetulan pertanyaanmu terpilih jadi ide tulisanku  maksudnya. Ra sah ge-er!! J (tur ojo mbok baleni, nggapleki you know!)



Akhirul kata, sebelum memutuskan menghadiri sebuah reuni atau kumpulan dengan teman lama, pastikan mengingat kembali  kosakata pisuhan atau sebaliknya kalimat-kalimat thoyibah, sehingga ketika muncul pertanyaan-pertanyaan tadi kita bisa kontrol diri kita sebaik-baiknya. Terima kasih.



Notes:
(*cemakot = sesuatu yang menimbulkan perasaan ingin menggigit obyek tersebut
(** mohon maaf hanya untuk guru/ mahasiswa Bahasa Inggris

Sabtu, 04 Februari 2017

AEROBIC

Aerobic
Kebenaran kadang muncul dari sesuatu yang tidak kita sukai.

 

Belum sah rasanya menjadi ibu-ibu kalau belum pernah ikut senam aerobic.  Awalnya saya tidak tertarik dengan olah raga satu ini karena beberapa alasan. Salah satunya adalah gerakannnya yang cenderung pendek-pendek dan terkesan cuma  mental-mentul. Iya kalau punya yang dipentulkan...lha kalau flat, apanya yang bisa mentul? STOP! (*Rasis itu! Bersimpatilah pada yang tipis-tipis.)

  Saya suka olahraga terutama yang bertujuan meningkatkan kelenturan dan stamina. Sejak beberapa tahun lalu, saya melakukan olahraga yoga, kadang di tempat latihan atau lebih seringnya melakukan sendiri di rumah.  Gerakan-gerakan yoga pelan tetapi langsung menyentuh ke pusat sendi dan otot. Menurut saya gerakan-gerakannya lebih efektif dibanding aerobic, meskipun sebenarnya tujuannya memang jauh berbeda.  Selain yoga, saya juga mencoba sedikit pilates, yang tidak jauh beda dimana otot-otot diregangkan secara maksimal untuk pembentukan tubuh. Saya menyukai dua olahraga ini bukan tanpa alasan. Sejak ABG (*eh...saya pernah ABG juga lho.. gimana sih?) saya sudah berlatih pencak silat dimana pada setiap latihan ada satu sesi latihan pernafasan yang gerakannnya beberapa mirip yoga dan pilates.  Jadi sangat mudah buat saya untuk melakukan yoga dan pilates dibandingkan aerobic karena di pencak silat kuda-kuda harus kuat, tidak boleh mental-mentul.  Hahaha....

Kembali ke aerobic.  Beberapa saat terakhir ini saya terpaksa mempelajari aerobic karena ibu-ibu PKK di perumahan saya lagi demen olahraga.  Jadi alasan saya mengikuti senam aerobic ini adalah supaya guweh  gaol ajah dengan tetangga yang mayoritas mahmud. Getoooh.... Awalnya saya dan satu orang mengusulkan yoga, tetapi karena tempatnya outdoor sepertinya tidak mungkin. Bayangkan  ber-savasana beralaskan plesteran semen yang ditumbuhi beberapa jumput rumput....  Mau usul zumba atau body combat atau core bare rasanya tidak mungkin juga, kantong kami ibu-ibu kelas rumah type 36 gak cukup buat bayar instruktur dari fitnessnya selebrity.  Alternatif lain adalah pingpong atau tenis meja.  Kami sudah punya meja pingpong sih...tetapi ingat, di lingkungan perumahan ada segregasi kegiatan berdasarkan jenis kelamin;   yang khusus ibu-ibu dan yang khusus bapak-bapak.  Buat saya, olahraga apapun tidak mengenal jenis kelamin, bahkan pingpong.  Tetapi menimbang “lingkungan” tempat saya tinggal adalah perumahan, yang semuanya berkeluarga, maka tidak etis kiranya saya main pingpong dengan bapak-bapak. Apa kata para mahmud itu ketika saya yang menuju senior ini dikagumi suami-suami mereka karena bisa main olahraga para lelaki.... Waaa bisa-bisa saya didepak dari keanggotaan PKK dong.... Baiklah, saya mengurungkan  niat bermain pingpong.  Setelah melewati percakapan seru, tercetuslah satu kata, aerobic. OK, OK. Saya harus belajar mental-mentul.   Lumayanlah, punya sedikit modal untuk  mentul tetapi sayang koordinasi kaki dan tangan saya masih serasa kacau balau...

Selain gerakan aerobic yang membuat saya agak-agak gimana gitu, musik yang dipakai mengiringi senam rasanya juga sedikit menganggu saya.  Umumnya  musik yang dipakai adalah musik dengan beat yang enerjik semacam musik ajeb-ajeb alias EDM.  Sayangnya kebanyakan yang diputar bukan electronic music yang asli, melainkan remix-an lagu-lagu populer yang kadang temanya mendayu-dayu. Menurut saya lucu sih... Lhah kita senam lompat-lompat dengan hati yang gembira,  tapi lagunya Tenda Biru yang nyanyi Desi Ratnasari, apa ndak jadi malah ngenes? Tidak tercapai itu sehat body and mind-nya.  Bener sih musiknya dibikin ajeb-ajeb... Tapi mau gak mau telinga ini dengar liriknya juga toh? Belum lagi musiknya selalu disetel dengan volume penuh... Badala...sebuah fakta yang sangat kontras bukan? Kenapa gak sekalian aja lagu dangdut koplo yang benar-benar enerjik dari pikiran. Aseloleeey!!! Jos! Dengan begini khan sehatnya bisa luar dalam, body and mind gitu kata penggila kebugaran. Tapi apa mau dikata, sekali lagi kami ibu-ibu penghuni tipe 36, dan saya khususnya, harus menerima kenyataan bahwa musik yang mengiringi senam kami cukup remix-an, bukan lagu-lagu Calvin Harris, Avicii atau David Guetta.  Asal bukan Slayer atau Soulfly aja... Bisa-bisa ibu-ibu malah moshing-mosing-an.  Akkhuuuh Horaaak Popooooh!! AAArrrgh!!!

Singkatnya, dari aerobic ini saya harus mengakui bahwa kadang kebenaran itu muncul dari hal-hal yang tidak kita sukai. Kenyataannya saya tidak suka aerobic, tetapi saya harus mengakui kebenaran bahwa dengan ikut-ikutan senam ini saya bisa lebih akrab dengan mahmud-mahmud tetangga saya.  Serta yang paling penting adalah saya mendapatkan kebugaran  meskipun dengan sengaja ataupun tidak ikut mendengar lirik lagu pengiring yang mendayu-dayu ditingkahi bunyi-bunyian ala EDM dan suara ethes mbak instruktur. 

..... tanpa undangan diriku kau lupakaaaan....
Ayo Ibu-ibu!!... Satu.. Dua.. Satu... Dua... Hap! Hap! Lebih cepat!