Total Tayangan Halaman
Rabu, 14 September 2016
Kambing Blues Part-2 (Pak Osro continues....)
Kambing Blues Part-2
(Pak Osro continues....)
Di bagian satu Kambing Blues kemarin saya ceritakan tentang
huru-hara pembagian daging kurban yang melibatkan anggota masyarakat non-muslim
yang rumahnya dijadikan tempat pembagian daging kurban. Pagi ini saya kebetulan
bertemu dengan kawan-kawan dari grup WA yang kemarin beradu pendapat tentang
sah tidaknya daging kurban yang dibagikan dari tempat yang dipinjam dari
pemilik non muslim. Saya yang masih
penasaran akhirnya bertanya langsung ke Parto yang melihat langsung kejadian di
TKP. Sebagai sedikit pendahuluan,
kejadian ini pada dasarnya hanya pergolakan politik tingkat RT saja, dan
kebetulan melibatkan unsur agama.
Awalnya hewan kurban disembelih di areal masjid seperti
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk pendistribusiannya diserahkan ke salah satu
warga, sebut saja ibu Mukini, yang dalam susunan kepanitiaan adalah sebagai
seksi distribusi. Entah bagaimana
awalnya hingga tiba-tiba rumah bu Mukini tidak jadi digunakan sebagai tempat
distribusi. Selain itu juga terjadi perubahan sistem distribusi dimana
tahun-tahun yang lalu daging kurban diantarkan oleh panitia ke rumah semua
warga kampung XX, tetapi tahun ini warga mendapat pembagian kartu girik
pengambilan daging kurban. Parahnya ....
di kartu girik tersebut ada tanda tangan dan stempel pak Osro yang ternyata
tidak punya jabatan apa-apa di kampung XX dan telah dibagikan ke warga beberapa
hari sebelumnya. Lho piye jaaaal????
Usut punya usut, ternyata terjadi kekosongan pimpinan dalam
kepanitiaan. Pak Ketua Panitia ternyata eh ternyata sedang tindak ke Baitullah. Naaah....satu kesalahan sudah terjadi. Sudah
tahu beliaunya tidak berada ditempat ketika hari pelaksanaan kurban, mengapa
masih dipilih jadi ketua? Hallooo...warganya pada mikir apa aja sampe hal seperti
ini tidak dipikirkan. Bukankah seorang ketua adalah yang berhak memutuskan ini
dan itu? C’mooon.... tetapi sebelum lebih jauh, mari saya tunjukkan dulu
keadaaan dilapangan dan data demografinya. Kampung XX ini berpenduduk mayoritas
para pensiunan pegawai kantor. Catat, pensiunan. 60% penduduk aslinya adalah
pensiunan, sisanya adalah anak-anak mahasiswa kos dan pengontrak muda macam
saya, Parto, Wagino, dan Sumini. Jadi bisa dilihat disini bahwa yang namanya
pensiunan itu dimanapun menjalani hidup sehari-harinya
dengan selow, dan malas repot-repot,
cukup menikmati masa tuanya dengan santai.
Satu lagi mengapa kasus pak Osro itu bisa terjadi adalah karena para inhabitant kampung XX ini sudah pasrah
bongkokan ke panitia, tau beres aja.
Kembali ke perpolitikan tingkat RT... Karena terjadi
kekosongan pimpinan di panitia, maka wakil atau sekretarislah yang menggantikan
pak Ketua. Dari sini muncullah satu tokoh lagi yang ternyata eh ternyata adalah
tersangka nomor satu dari kasus ini, sebut saja bu Nyenuk. Ibu ini sudah hajjah, dan umroh berkali-kali,
orang terpandang di kampung XX karena koleksi rumahnya di kampung XX ini cukup
banyak. Beliau ini selalu tampil paling
depan disemua lini kegiatan, apapun beliau bisa. Nyanyi? Oke.... Senam? Ayo!
..... MC? Ha, kecil thok no!.... jadi kalau ada acara di kampung XX tidak perlu
menyewa MC, penyanyi, bahkan instruktur senam. Tetapiiiii ....saking aktifnya,
beliau ini sering “crossing the boundaries” ,yang bukan wewenangnya dibabat
jugak! Gile lu Ndro!.... Nah...menurut
seorang sesepuh kampung XX yang tidak termasuk panitia, bu Nyenuk ini ternyata
anggota sindikat kegiatan RT bersama dengan pak Osro dan beberapa orang lain.
Jadi setiap kegiatan yang memutuskan ini itunya adalah kalau bukan bu Nyenuk, ya Pak Osro. Horok..ngeri
tho? Sampai ada sindikat segala. RT lho ini...RT! Entah kalau levelnya
negara...kayak apa ruwetnya.
Kembali ke pak Sepuh ini yang adalah bapaknya si Parto.
Naaaah...menurut pak Sepuh ini, bu Nyenuk inilah yang menyebabkan kekacauan
pembagian daging kurban ini. Pak Sepuh menerima susunan kepanitiaan yang
menyebutkan bahwa bu Nyenuk tugasnya hanya mengiris daging, sementara
distribusi ada ditangan bu Mukini. Sekali
lagi, bu Nyenuk bukan wakil ketua ataupun sekretaris, catat. Akan tetapi...karena bu Nyenuk adalah orang
yang berpengaruh maka bu Mukini pun mundur ketika tugasnya diserobot bu Nyenuk.
Apalah daya bu Mukini yang hanya pemilik warung wedangan dibanding bu Nyenuk yang hobinya koleksi rumah dan pergi
umroh. Kebetulan hari itu Parto sedang
mengunjungi orang tuanya, dan pak Sepuh berkisah tentang kejadian tersebut,
berangkatlah Parto mencari sisik melik
insiden memalukan ini. Pertama Parto menanyai bu Nyenuk apakah benar tempat
pembagian daging kurban dipindah ke rumah pak Osro. Bu Nyenuk menolak menjawab.
Parto mulai meradang, pergilah ia ke ketua Ta’mir masjid dan bertanya apakah
benar keputusan memindahkan tempat pembagian daging kurban itu adalah kesepakatan
panitia. Pak Ketua Ta’mir menjawab bahwa hal tersebut adalah kesepakatan
panitia. Parto masih belum puas juga, dia kejar pak Ketua Ta’mir mengapa
pindahnya harus dirumah warga yang tidak berkepentingan, alias non muslim,
padahal 80% warganya adalah muslim dan sebagian telah berhaji. Kurang apa coba?
Akhirnya setelah Parto mengusut semua panitia yang
bersangkutan atas carut marutnya pembagian daging kurban, pembagian dipindahkan
kerumah bu Doyok yang muslim. Panitia
kemungkinan merasa kewalahan juga karena tidak satupun warga mengambil haknya di rumah pak Osro, yang
kebetulan Kristen itu. Setelah dipindah
ke tempat bu Doyok, beberapa warga mengambil haknya, tetapi beberapa masih
enggan dan terpaksa diantarkan ke rumah masing-masing. Warga enggan mengambil
bagian daging kurbannya karena harus mengantri dengan memakai girik buatan pak
Osro tadi. Selain karena faktor pak Osro pribadi, sangat kurang sopan kiranya meminta para warga yang sepuh
mengantri mengambil daging disiang hari yang terik. Jauh lebih baik apabila
panitia mengantarkan ke rumah para warga sambil silaturahmi. Setelah kekacauan pagi itu, pak Sepuh yang
bapaknya Parto mendatangi salah satu anggota panitia seksi purchasing (*beli hewan kurban), sebut saja pak Owi, yang pada saat
kejadian sedang tidak berada ditempat karena ada kepentingan. Pak Sepuh
menanyakan apakah benar kejadian pemindahan tempat pembagian daging kurban itu
adalah kesepakatan panitia dan ta’mir masjid.
Pak Owi menjawab tidak ada kesepakatan apapun, seharusnya semua
dilaksanakan seperti tahun kemarin dimana bu Mukini yang berwenang membagikan.
Oke. Jelas sekarang. Semua ini adalah kerja dari sindikat yang digawangi bu
Nyenuk dan Pak Osro. Sungguh TER LHA LHUH......
Dari kejadian ini saya bisa belajar bahwa beragama tidak
perlu dicampur-campur dengan politik.
Ini baru level kampung lho...cuma RT pula...sudah ruwet dan ricuh tidak
terkira. Ada banyak orang-orang yang “sakaw” kalau tidak tampil sehingga semua
diterobos, yang bukan wewenangnya disikat demi ketenaran dan keuntungan
pribadi. Hek cuih!.... Kedua, ranah agama adalah area sensitif, senggol bacok. Seperti ketika Parto yang kemarin langsung menyebut Kristen, bukan
pak Osro secara pribadi. Kekristenan pak Osro bisa jadi tidak terlibat disini,
tetapi nafsu beliau untuk tampillah yang membuatnya hoah- hooh saja ketika bu Nyenuk mencatut namanya. Kalau saja dari awal Parto menyebut pak Osro,
maka debat kami di grup WA akan berbeda topik, bukan lagi tentang agama tetapi
lebih ke politik per-RTan yang jauh lebih aman.
Untungnya, Parto yang sedang dalam proses penemuan spiritualnya lalu
berusaha meluruskan semuanya. Dan itu bagus karena ketika penyimpangan terjadi
tidak satupun muslim yang “cemuwit” (*bahasa
sederhananya speak up) semua tunduk
dibawah kata-kata bu Nyenuk. Tidak heran juga sih....mengapa semua diam. Balik
lagi ke faktor demografinya, mayoritas adalah warga sepuh pensiunan yang sudah
hidup nyaman. Buat apa mengurusi yang
rempong-rempong, bukannya sudah ada panitia. Biar semua diurus panitia, begitu
pikir mereka. Tetapi mereka juga salah
karena begitu tahu ada yang tidak beres, mereka diam. Sayang juga sebenarnya, padahal
hampir separuh dari mereka adalah mantan intelektual di bidang masing-masing,
dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika bu Nyenuk bersabda. Untung ada Parto muda yang masih merasa
bertanggung jawab harus mengembalikan semua tatanan sesuai syariah. Tetapi Parto juga harus berhati-hati untuk
tidak menunjuk agama lain sebagai salah satu penyebab kekacauan kemarin. Bisa
dimaklumi karena mungkin Parto sedang getol-getolnya mencari identitas
spiritualitasnya. Buat saya, Wagino, dan
Sumini, yang tidak terlibat secara langsungpun harusnya lebih cool menanggapi
pertanyaan panas dari Parto. Fiuh..... itulah beratnya hidup di dua alam, di dunia
sosmed dan di dunia nyata, harus seimbang.
Jangan mudah percaya dengan kata-kata dari sosial media karena si pembicara
tidak hadir diantara kita, dimana bisa jadi dia sedang mengadu domba. (*Wis
kaya Mata Najwa rung??)
Pelajaran buat saya pribadi adalah saya tidak boleh terlalu
reaktif dengan hal-hal panas semacam ini. Kemarin otak saya langsung
memerintahkan untuk nulis blog dengan judul Kambing Blues. Tetapi setelah tahu
kejadian sebenarnya, ternyata saya harus menarik simpati saya dari pak Osro
yang ternyata masih gitu-gitu aja, licik bin culas. Terlepas dari agama apapun
yang ia peluk, dengan ini saya nyatakan menarik simpati saya dari pak Osro. Dan
hal yang paling berat yang saya harus tanggung adalah saya merasa harus menulis
blog post ini demi meluruskan semua yang saya ceritakan kemarin..... Padahal
saya sudah lapaaaaaaar....
Alamaaakjooon.....rice cooker lupa
dipencet tombol ”cook”.
(*pingsan)
12:50
Nama-nama tokoh di
Kambing Blues dan Kambing Blues Part 2 saya samarkan demi kenyamanan semua.
Apabila ada yang mengalami hal yang sama seperti yang saya tuliskan diblog
entry ini, semua itu memang tentang kamu. Iyyya..... kamu....
Selasa, 13 September 2016
Kambing Blues
Kambing Blues
Aroma gurih
gule kambing, thengkleng, semur daging
sapi, dan masakan-masakan daging sudah menguar disegala penjuru sejak kemarin
sore, sementara saya baru saja mau mengeksekusi daging kurban dari mushola
dekat rumah. Karena saya tidak ahli masak-memasak daging jadilah konsultasi dulu
dengan ahli di dunia maya, Eyang Google. Saya mau masak tongseng. Tetapi
sebelum sowan Eyang, perhatian saya tertuju di notifikasi salah satu grup
WA. Setelah saya buka ternyata seorang
kawan mengutarakan sebuah pertanyaan tentang kurban. Si Kawan ini, sebut saja
Kumbang...eh jangan, Parto saja. Dia
mengutarakan sebuah kasus disuatu tempat telah terjadi pembagian daging kurban
di rumah seorang Kristen dan dia menanyakan pendapat dari kami para anggota grup
yang Muslim semua. Pertanyaan itu rupanya sudah sejak semalam dan belum ada
yang menjawab sampai pagi tadi. Lalu
seorang kawan lain, sebut saja Wagino, memberikan komentar.
Begini kurang
lebihnya isi chat di grup:
Parto: Menurut pendapatmu kalau daging kurban dibagikan dari rumah
seorang kristen itu bagaimana?
Wagino: maksudmu bagaimana? Si pemeluk Kristen ini ikut kurban?
Parto: Bukan. Rumah dia dipakai untuk menyalurkan daging kurban.
Orang-orang diberi kupon untuk mengambil kesitu.
(pause lamaaa..karena saya lagi menunggu mas Sayur yang berjanji
membawakan bumbu pawon hari ini) Sampai
rumah saya buka lagi chatnya, jadi penasaran nih....
Wagino: OOO Cuma tempatnya tho? Yo ndak papa, karena tidak mengganggu
tata cara kurban. Lagipula yang menerima daging kurban adalah semua orang,
bukan yang muslim saja. Jadi menurutku
bagus itu, karena toleransinya jalan.
Anggota grup yang lain hadir juga
akhirnya, sebut saja Sumini.
Sumini: Benar itu, wong yang jelas-jelas muslim aja belum tentu mau
rumahnya dipakai tempat mengurusi daging kurban karena takut bau kambing.
Parto: oooo jadi gitu ya? Tapi toleransi menurutmu dan menurutku
ternyata beda ya?
(Saya mulai gatel ikut chat)
Saya: Lha menurutmu gimana, Bos?
Parto: Jadi begini sodara-sodara, dalam Islam, daging kurban boleh
dibagikan kepada siapa saja termasuk non-muslim, tetapi pembagian sepenuhnya
diserahkan ke lembaga berwenang seperti masjid, dan komunitas orang-orang
muslim, termasuk proses mulai pembelian sampai penyembelihan dan pembagian.
Saya: Tunggu. You bilang yang jadi masalah tempatnya khan, Bro?
Sekarang gini, misalnya ditempat itu musholanya kecil gak punya halaman dan
warga muslimnya tinggal agak jauh dan mungkin enggan jadi tempat pembagian
daging kurban karena rempong, emang salah kalau kemudian ada warga beragama
lain yang berbaik hati menawarkan tempatnya untuk melaksanakan kurban?
Parto: oh pendapat kita beda ternyata. Tetapi menurutku kalo muslim
tentu tidak akan menolak kalau rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban.
Saya: Yakin gitu Bro? ....
(sebelum saya lanjut chat, Sumini menimpali)
Sumini: Lah? Kenapa pas rapat yang muslim diam saja? Khan gak mungkin yang non muslim ikutan rapat
panitia Idhul Qurban. Seharusnya khan
mereka yang mangajukan diri dong, kalau bener-bener muslim sih....
(Saya jadi tambah penasaran ini
insiden TKP nya dimana sih kok jadi panas diskusinya...)
Saya: Bro, ini kejadian dimana sih? Ditempatmu situ? Dan you belum
ceritakan apakah yang mengurusi semuanya adalah muslim dan hanya tempatnya saja
yang bukan milik muslim.
Parto: Ini kejadiannya di Kampung XX (dua aj Xnya kalo tiga
topiknya beda lagi nih...) Masjidnya
besar, punya lapangan dan joglo pertemuan, kenapa harus milih rumahnya non
muslim? Kalau mau netral ya bisa di lapangan atau joglo khan? Coba aku ikut
rapat aku pasti bersedia ketempatan deh.... Akibatnya kemarin banyak yang gak
mau ambil daging kurbannya.
Saya: Yakin? (tapi dalam hati saja, karena saya tau keadaan
rumahnya di lingkungan itu, tidak cukup besar juga.)
Setelah tahu tempat kejadiannya
saya sedikit kaget juga. Saya lama tinggal di Kampung XX itu, tetapi sekarang
tidak lagi. Selama saya disitu setiap
Idhul Qurban, semua pengurusan dari penerimaan hewan kurban sampai pembagian
daging dan memasak untuk para sukarelawan dilakukan dihalaman masjid tersebut.
Entah sejak kapan masjid itu tidak lagi digunakan untuk Idhul Qurban, padahal
sekarang masjid itu memiliki halaman tambahan yang sangat sangat ideal untuk
pelaksanaan kurban. Entahlah...apa yang terjadi pada panitianya kali ini.
Saya: Bro, gini yaaaa... kalo dulu pas rapat sudah tau itu kurban mau
dibagikan darimana, seharusnya ...seharusnya niiiih...gak usah ditawari pun
yang merasa muslim harus tunjuk diri. Jadi gak akan terjadi seperti ini, gak
akan ada kejadian menolak daging kurban. Ngomong-ngomong rumah siapa sih yang
jadi TKP?
Parto: Pak Osro itu lho... beberapa kali ditempat Bu Mukini, tapi
kemarin ini yang pindah ke tempat pak Osro.
Saya: (yang lupa-lupa ingat pak Osro) tapi kalo cuma tempat untuk membaginya saya kira tidak masalah sih,
tidak menganggu aturan kurbannya asal itu tadi yang bertanggung jawab dan
mengurusi harusnya muslim semua, karena ini hajatnya kita para muslim dan
terutama yang sudah naik haji.
Saya: (Cling!! Tiba-tiba sa ingat siapa pak Osro) Tunggu!!! Kamu bilang pak Osro? Omaigaaaaad...Bro! Orang-orang enggan
mengambil daging kurban kesitu bukan karena Kristennya Brooooo....ya karena pak
Osro ituuuuuh....Omaigaaaddd!!!!
Wagino: Wooooo...ngobrong dol Bro! ( Tiba-tiba muncul!) Kamu jangan nyebut agamanya doang dong! Bilang aja rumah pak Osro.
Beser...eh Beres. Case Closed. Kita semua tau siapa pak Osro itu. Lagian itu
panitia kurban jugak gak beres rupanya.
Parto: (masih ngeyel bahwa Kristennya yang jadi penyebab semua itu)
Lalu pak Osro itu orang apa?
Wagino: (agak jengkel juga kayaknya) Wong lemu! (orang gemuk; Pak Osro memang berbadan cukup
chubby)
Sampai disini
saya tidak tahan lagi melanjutkan chat karena tertawa terpingkal-pingkal
setelah tahu duduk perkaranya dan obyek yang dibicarakan adalah Pak Osro, yang well-known itu. Well,
sebenarnya saya tidak ingin membawa ke ranah personal tapi apa mau dikata,
obyek yang sedang dibicarakan adalah orang yang mempunyai karakter kurang
menyenangkan dan kebetulan saja beragama Kristen, yang jumlahnya kalah bayak
dibanding yang muslim di kampung itu.
Sedikit gambaran, pak Osro adalah seorang aktifis kampung, orangnya baik
tetapi selalu mempunyai motivasi lain dibalik kebaikan beliau. Sudah rahasia
umum kalau beliau ini suka memanfaatkan kegiatan apapun untuk keuntungan
pribadi. Agama yang dianutnya sama
sekali tidak menyebabkan pak Osro tidak disukai, tetapi perilakunyalah yang
membuatnya dihindari bayak orang. Kalaupun dia muslim tetap saja orang enggan
mendekatinya karena perilakunya yang licik.
Sekarang yang
menjadi perhatian adalah bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini yang cepat
sekali membakar. Parto mungkin terlalu men-generalisir keadaan, dengan menyebut
agama saja ketika menanyakan pendapatnya. Bisa jadi Parto sedang ikut tren
“yang beda agama, jauhi saja” . Pak Osro adalah hanya satu dari jutaan penganut
Kristen, kebetulan saja beliau punya perilaku tidak terpuji. Jadi bukan berarti semua orang Kristen
seperti pak Osro. Kedua, perlu
investigasi khusus untuk mencari tahu mengapa sampai masjid yang sebesar itu
dengan fasilitas komplit tidak dipakai untuk melaksanakan kurban seperti yang
telah lalu. Panitianya harus bisa
bertanggung jawab terhadap kejadian ini.
Mereka harus bisa menjelaskan ke warga apa alasannya mengalihkan tempat
pelaksanaan kurban ke rumah pak Osro. Mungkinkah (*baca dengan nada presenter
gosip, pliz) ... anggota panitia kurban adalah kroni-kroni pak Osro? Siapa saja
yang menjadi panitia juga penting untuk diketahui. Sulit memang untuk hanya
fokus ke WHAT tanpa tahu WHO nya. Dan yang tak kalah penting adalah, warga
muslim kampung XX sendiri. Mengapa
mereka diam saja ketika tahu bahwa pelaksanaan kurban akan dilaksanakan di
rumah pak Osro? Bukankah rumah mereka banyak yang lebih besar dan lapang
dibanding rumah pak Osro. Atau kalaupun takut rumahnya bau kambing, cukup
usulkan pelaksanaan kurban dilapangan atau joglo pertemuan saja. Mudah kan??? Lalu juga mereka yang sudah naik haji, mereka
juga diam saja? Kemana saja mereka? Tidak ingatkah mereka Idul Adha adalah hari dimana mereka pernah
berjuang di Tanah Suci ditengah teriknya sinar mentari gurun untuk hadir di
Baitullah. Mereka lupakan begitu saja setelah gelar Haji/Hajjah menempel didepan
nama masing-masing? Mungkinkah mereka terlalu gengsi, lha wong sudah haji kok
ikut memotong daging kurban, nanti khan tangannya bau kambing tujuh hari tujuh
malam....
Tetapi terlepas
dari apapun motivasi pak Osro bersedia rumahnya dipakai untuk mengurusi daging
kurban kita yang muslim, baik kiranya mengapresiasi sedikit atas apa yang
dilakukan pak Osro dimana pada saat yang sama tak seorangpun yang mengaku
muslim ditempat itu tergerak untuk menawarkan rumahnya menjadi tempat pembagian
daging kurban.
Ahssuuuudahlah.....saya mau masak
tongseng dulu. Eh....sowan Eyang dulu. Bumbu tongseng....enter.....
Voila! This is it!!!
Sabtu, 21 Mei 2016
BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME
BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME
Menyoal
huru-hara gosip kebangkitan kominus..eh
komunis akhir akhir ini saya jadi ingat almarhum Bapak saya. Beliau bukan siapa-siapa
sih, cuma pensiunan kepala sekolah dasar era Orba. Sedikit yang saya ingat
tentang hubungan paham kiri ini dengan Bapak saya karena pada saat itu saya
masih terlalu muda untuk tahu apa ini apa itu. Dari sedikit ini ada hal yang
kemudian saya temukan hari-hari terakhir ini.
Siapa
sebenarnya Bapak saya? (*seperti judul sinetron.... Bapak saya adalah generasi
yang lahir tahun 30an. Otomatis selama hidupnya telah mengalami banyak hal
mulai WW 1, WW 2 hingga pendudukan Jepang dan jaman Orla lalu Orba, serta
sedikit jaman Reformasi. Bapak lulusan
sekolah guru setara SMA dan kemudian mengabdikan diri mengajar di sekolah dasar
hingga sekitar tahun 1984 ketika saya mulai masuk SD. Sebelum saya sekolah saya
sering ikut Bapak ke sekolah dan berlagak sotoy masuk ke kelas-kelas dimana
Bapak mengajar sehingga saya bisa baca tulis sebelum waktunya. Menurut
tetangga, saya masih dalam gendongan ketika dengan lantang saya mengucapkan
sila-sila Pancasila dengan runtut. (*Lhoooo...kurang nasionalis bagaimana saya
ini! Belum sekolah saja sudah hafal Pancasila.) Enough!! Baiklah, kembali ke Bapak. Bapak orangnya keras, kalau beliau bilang A
ya harus A, kalau nggak ya salah. Sifat itulah yang kemudian hari membuat saya
menjadi anak yang paling bandel karena saya suka membantah hal yang saya anggap
kurang benar. (*Maap ya Pak.... ) Tetapi Bapak saya rupanya tidak sekaku yang
saya pikirkan, buktinya saya selalu diajar untuk membaca apapun, kecuali satu
itu tadi hal-hal yang berbau kiri. Bapak saya bukan orang relijius, beliau
lebih ke Abangan atau bahkan Kejawen. Tetapi entah kenapa saya tidak
diperbolehkan tahu tentang hal itu. Suatu hari ketika saya sudah agak besar,
mungkin SD atau SMP, saya bertanya tentang apa itu PKI dan kenapa orang-orang
tidak suka. Ini akibat pemutaran film propaganda itu tentunya, kala itu
darimana saya tahu tentang PKI kalau tidak dari film yang iewh beud itu. Plus dari pelajaran PSPB juga sih... Mendengar
pertanyaan itu Bapak langsung membentak, “Heh! Ra pareng omong kui. Cah cilik
ra entuk!!” (Ndak boleh membicarakan itu. Kamu masih kecil belum boleh.) Bukan
jawaban yang saya dapat malah bentakan deeeh..... Tetapi namanya juga masih
anak-anak, lupalah saya sebentar saja dengan pertanyaan itu dan kembali saya
dengan dunia kanak-kanak saya. Ingat lagi ketika pelajaran PSPB atau sejarah
disekolah, tetapi saya tidak berani bertanya kepada siapapun karena 3 huruf itu
haram hukumnya dibahas kala itu. Guru-guru sejarah saya juga bukan referensi
yang recommended karena maunya kita cuma disuruh hafal aja. Akibat film itu juga saya sempat
menyenandungkan lagu Gendjer-Gendjer dan bertanya lagu apa itu ke Bapak saya.
Lagi-lagi saya dibentak tanpa ada jawaban. Baiklah..... lupakan. Sampai akhir
hayatnya Bapak tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Ketika saya
sudah berumur seperti sekarang ini, baru satu persatu bisa saya cerna mengapa
tidak boleh ini tidak boleh itu. Bapak saya adalah PNS yang pada masa itu
adalah kaki tangan pemerintah. Mungkin Bapak takut dengan rezim saat itu
sehingga anak-anaknya tidak boleh sedikitpun bersentuhan dengan hal-hal kiri
kalau tidak ingin dapat masalah. Pernah suatu kali ketika Pemilu, saya masih
SMA, saya tanya Bapak siapa pemenangnya. Bapak jawab partai yang warna kuning
itu. Saya bilang kok itu terus sih...bosen. Langsung saja disahut Bapak, “Heh
bocah, cang***mu! Ojo banter-banter!” (Heh jaga mulutmu Nak, jangan
keras-keras.) Oh, OK. Bapak rupanya takut anaknya yang cantik ini kena masalah.
Saat itu semua PNS seperti Bapak meskipun sudah pensiun wajib memilih partai
berpohon besar itu, kalau tidak entah apa yang terjadi katanya. (*Itu
duluuuuuu.....kalo sekarang gak tau yaaaaaa.... )
Juga ketika
Bapak memasukkan saya ke SD Islam (Madrasah) yang pada saat itu belum begitu
booming seperti saat ini, baru-baru ini saja terjawab. Bapak merasa beliau
tidak mungkin dan bahkan tidak mampu mengajarkan agama kepada saya maka sekolah
lah jawaban satu-satunya yang bisa melakukannya. Intinya Bapak tidak mau saya
menjadi Abangan sepertinya. Ini adalah
satu keputusan terbaik dari Bapak untuk saya yang berakibat sangat baik sampai
detik ini. Saya paham agama yang saya anut sekaligus menjalankan ajarannya,
serta saya bisa membaca kitab suci Al Qur’an tanpa harus kursus. Jawaban lain yang saya temukan adalah bahwa
Bapak berpikir saya bisa terbebas dari mempelajari hal-hal terlarang (*kiri)
kalau saya belajar di sekolah ini. Betul. Saat itu seperti umumnya anak-anak
sekarang yang sekolah di SDIT-SDIT, saya juga relijius dan merasa agama lain
itu ‘sudahlah ndak usah dipikirin’. Tetapi bedanya dengan anak-anak sekarang,
saat itu guru-guru saya tidak mengajari untuk
mengkafirkan yang lain. Jaman dulu belum trendy kali ya
mengkafir-kafirkan orang lain. Lha kalo sudah trend, bisa-bisa saya sendiri bilang,”
Pak, Bapak kafir lho, ndak pernah sholat.” Hahahaha.... (*Maap ya Pak.... ) Bapak saya mungkin benar saya tidak
ter-expose hal-hal menakutkan itu. Akibat yang cukup saya rasakan sebenarnya adalah timbulnya keseimbangan dalam melihat suatu isu, tidak terlalu relijius sekaligus tidak terlalu kiri. Masalah berapa persen kekanan dan berapa persen kekiri itu urusan belakangan. Hahaha.... Bukankah melihat pemandangan itu akan lebih indah kalau kita ada disisi lain? Tetapi Bapak mungkin lupa bahwa suatu saat
saya pasti akan ingin tahu. Bapak saya yang jadul mungkin tidak sadar bahwa
jaman akan berubah seperti sekarang dimana yang biasa menjadi tidak biasa. Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul jauh setelah saya lulus dari madrasah. Apapun alasan Bapak menaruh saya
di SD itu yang jelas tujuannya baik. Itu saja. Meskipun pada akhirnya
ketakutannya akan terbukti juga.
Tahun 2015
kalau tidak salah, ada film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film tentang
pahlawan HOS Tjokroaminoto. Baru saat itu saya mencari tahu siapa sebenarnya
beliau ini. Baca...baca...baca... ternyata beliau lahir di daerah Madiun, sama
seperti saya. Karena beliau adalah pahlawan besar,itulah kenapa namanya
dijadikan salah satu jalan utama di kota Madiun. Tetapi nama saya tidak...(*Opo
sih iki?? Hahaha....) Kembali ke pertikaian saya dan Bapak... Bapak
mungkin terlewat dengan sejarah yang satu ini, makanya saya selalu diarahkan
untuk menjadi santri, tetapi gagal. HOS Tjokroaminoto menulis buku dengan judul
Islam dan Sosialisme. Lhoo...Pak.. gimana? Buku ini sangat bagus karena berisi
bahwasanya Islam dan sosialisme itu tidak bertentangan, malahan ada hal-hal
dari sosialisme yang sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada dalam ajaran Islam. Misalnya
tentang persamaan, dalam bukunya HOS Tjokroaminoto menuliskan bahwa dalam
pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak
ada pula sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan kelas. Bukankah dalam ajaran
sosialisme dan komunisme ada juga tentang penghapusan kelas? Jadi kalau Bapak
saya takut dengan hal-hal kiri, mungkin Bapak belum pernah baca buku ini. (*Ya
iyalah....mana berani jaman Orba baca buku beginian? Bisa tiba-tiba lenyap
dong...) Terlepas dari apa yang mendasari Bapak saya melarang saya mendekati
hal-hal yang bernuansa kiri, yang jelas apa yang diketahui Bapak saya tentang
itu masih merupakan misteri bagi saya hingga detik ini. Saya tidak bisa
menemukan buku-buku apa saja yang Bapak saya pernah baca karena pernah suatu
saat saya mendapati Bapak membakar buku.(* Wha!....kok kedengarannya seperti
trend baru-baru ini...bakar-bakaran buku. Bakar sosis ikan enak...buku
dibakar..bikin batuk tau! ) Entah buku apa saja yang dibakar saat itu,
tetapi yang jelas setelah Bapak meninggal hanya buku-buku Primbon Jawa
Adammakna yang tertinggal di lemari. (*Kamu cocoknya kerja di air.... ikan
kaliii.... )
Ketakutan
Bapak saya mungkin sama dengan ketakutan yang muncul akhir-akhir ini. Sama-sama
kurang update bahwa paham itu sebenarnya
sudah bangkrut dan tidak mungkin bangkit lagi. Bagaimana mungkin komunisme mau bangkit, kalau anak-anak mudanya berkoar-koar kiri di sosmed sambil seharian
mengantri mengular disebuah gerai donat disebuah mall produk kapitalis? (*kapitalis
ki opo to?? ) Selama mall masih jaya dan gerai makanan kekinian menggurita, saya yakin komunisme akan sulit bangkit. Bayangkan saja beratus-raus gerai donat tapi dengan rasa yang sama, beli juga gak boleh lebih banyak dari yang lain. Mau sama rata sama rasa?
Bapak
saya mungkin di alam sana agak deg-degan juga melihat saya mulai membaca-baca
dan mulai mencari-cari tahu jawaban atas pertanyaan yang tak pernah dijawabnya
saat itu. Tenang, Pak.... anakmu ini cuma sekedar baca-baca. Karir anakmu ini
tetap aman, karena bikin risoles mayo itu gak perlu pakai palu dan arit.
Mayonaise itu putih, Bapak. Bukan merah..kalo merah yang spicy kakak....#eh,
Bapak.
(biar kelihatan serius... Referensi: Islam dan Komunisme, HOS Tjokroaminoto)
Sabtu, 16 April 2016
N A M A
NAMA
Suatu Sabtu sore, saya bersama ibu X dan ibu H berangkat ke
arisan PKK bersama-sama. Saya dan ibu X sudah bertetangga beberapa saat, tetapi
ibu H pendatang baru. Sebagai orang
baru, Ibu H mengenalkan dirinya dan menanyakan nama kami. “Saya Ibu H, panjenengan asmanipun sinten?” –
ibu berdua namanya siapa?
Ibu X bilang, “Saya bu X (nama suaminya) dan ini Ibu Yudhi
(dia sebut nama suami saya)”.
C’moon.. saya bisa ngomong sendiri Bu, gak usah diwakili.
Spontan saya timpali, “Maaf nama saya Umi. Saya lebih suka dipanggil dengan
nama saya sendiri.”
Ibu X gak mau kalah,”Kan menghormati suami, Bu.”
” Maaf Bu, saya sudah terbiasa dipanggil dengan nama saya
sendiri. Bapak saya susah-susah kasih nama bagus masak gak dipakai.” Saya jawab dengan bercanda padahal sebenarnya
agak dongkol juga karena si bu X ini memang orangnya agak sotoy sih...
hahahaha....*outoftopic.
Ini bukan kali pertama buat saya mengalami perdebatan
masalah nama. Jauh hari ketika saya pertama kalinya ikut kumpulan ibu-ibu PKK
di perumahan sebelumnya, saya juga didebat hal yang sama. Saat itu juga saya
sempat menuliskannya di medsos tetapi kemudian terhapus ketika bersih-bersih
akun. Sampai sekarang saya kadang masih
belum mengerti juga mengapa perempuan harus kehilangan nama sendiri ketika sudah
bersuami.
Saya yakin semua orang tua menamai anak-anak perempuan
mereka dengan nama-nama yang cantik dan indah. Tetapi sayangnya nama-nama
cantik itu tak akan dikenali lagi ketika para perempuan telah memutuskan untuk
menikah. Memang tidak semua kehilangan nama, tetapi ada kondisi-kondisi
tertentu yang bisa mempertahankan eksistensi
kita sebagai individu yang bernama – tidak sekedar numpang nama
suami. Salah satunya adalah ketika kita
perempuan punya profesi, apapun, tidak hanya yang formal. Misalnya Ibu Rita bekerja sebagai guru, ia
tetap akan dipanggil Ibu Rita, bukan dengan
nama suaminya. Begitu pula dengan
mereka yang bekerja sebagai pedagang, Warung Makan Mbok Sri contohnya. Meskipun
Mbok Sri bekerja disektor non-formal, tetap ia eksis sebagai individu bernama.
Mindset. Bagi saya, faktor dari dalam ini lebih sangat
berpengaruh terhadap eksistensi kita sebagai perempuan merdeka dan bernama.
Menikah adalah suatu pilihan untuk hidup bersama orang pilihan kita tetapi
bukan berarti menyerahkan segalanya dan cuma “nggandul” suami saja.
Sampai-sampai rela menghilangkan karakter pribadi. Menurut saya, nama adalah
karakter pribadi. Orang mengenal dan
mengingat kita sebagai “orang- yang- itu”adalah karena nama. Contohnya, dilingkungan saya ada beberapa
yang dipanggil ibu Agus. Kalau misalnya sedang membicarakan sesuatu yang
berhubungan dengan salah satu ibu Agus tadi masih diperlukan informasi
tambahan, terlalu banyak bahkan. Ibu Agus yang rumahnya nomer A000 yang
suaminya kerja di NNN, itu lho yang rambutnya begini... Khan..akhirnya juga
membutuhkan deskripsi individual. Kalau saja si Ibu Agus- Ibu Agus ini menggunakan
nama mereka sendiri, pastinya lebih mudah mengenali. Bu Sinta itu bukan bu
Lina, beda lagi dengan bu Siti. Mudah khan? Tetapi kembali lagi kepada mindset
individu pemilik nama. Boleh-boleh saja sih bangga dengan suami masing-masing
---masak bangga dengan suami tetangga?.... tetapi jangan sampai kita perempuan
membunuh karakter pribadi. Ingat, masing-masing dari kita dilahirkan istimewa,
tidak ada yang seragam dengan yang lain bahkan selembar rambut pun. Sesama
perempuan saja beda-beda, apalagi ini dengan suami kita yang pasti beda gender.
Nama mengacu kepada gender. Meskipun dengan embel-embel Ibu, tetap saja lebih
afdol menggunakan nama sendiri. Ibu Umi bukan Ibu Yudhi.
Ibu adalah sebutan untuk perempuan. Lebih pas kalau di pakai
dengan nama perempuan. Kalau tidak percaya lihat saja cara penyebutan ibu
negara misalnya, Ibu Iriana Joko Widodo.
Nama asli beliau masih disebutkan. Masih
belum paham juga? Ibu Kartini? Cut Nya’ Dien? Dewi Sartika? Bukankah mereka
gemilang dengan nama mereka masing-masing?
Cut Nya’ Dien bersuami seorang pejuang yang hebat, tetapi beliau tidak
memakai nama suaminya, khan?
Culture? Saya kurang tahu apakah kebiasaan menggunakan nama
suami itu asli dari budaya kita atau nyontek orang Barat. Western people
mempunyai kebiasaan menggunakan sebutan Mr & Mrs + family name, bisa nama
keluarga suami kalau sudah menikah, misalnya Mrs. Smith. Para perempuan ini
akan muncul sebagai individu merdeka hanya ketika mengisi formulir. Mau tidak
mau mereka harus menyebutkan nama lahir pemberian orang tua. Lhah khan? Masih
butuh nama sendiri to?
Menghormati suami? Well, terlalu dangkal saya bilang. Dalam
ajaran agama yang saya anut setahu saya tidak ada yang menyebutkan aturan untuk
menggunakan nama suami sebagai salah satu cara menghormatinya. Jadi saya santai
saja karena saya tidak melanggar ajaran agama karena bersikeras menggunakan
nama sendiri. Malah saya pernah baca, memanggil Papah/ Mamah, Pak/ Bu, Umi/ Abi
kepada pasangan kita saja kurang pas artinya. Kita panggil Papah ke ayah kita
khan? Masak suami kita selevel ayah kita? Tapi sayangnya adek-adek yang lagi
pacaran sudah panggil Papah Mamah ke pasangannya.... *yaelah ....jadian aja
baru 3 hari udah papah mamah...paling minggu depan udah putus.
Bagi sebagian orang mungkin pendapat saya ini agak
berlebihan dan nyinyir. Biar saja. Saya hanya merasa tidak nyaman ketika
karakter pribadi saya serasa dimatikan begitu saja atas nama ikatan pernikahan.
Buat saya nama adalah unsur karakter pribadi. Semakin sering nama saya tidak
disebut semakin cepat pula orang melupakan siapa saya dan pada akhirnya adalah character assassination. Lalu apa
bedanya dengan tahanan yang dikenali dari nomornya saja? Dibilang cuma mau
eksis, yaaa...boleh juga. Ibu-ibu lain ngeksis dengan selfie, saya dengan
membiasakan memakai nama sendiri ketika bersosialisasi dengan tetangga.
Sebenarnya dari sekian baris kegalauan saya diatas, hanya satu
yang paling saya takutkan. Kalau tidak membiasakan memaki nama sendiri, nama perempuan
kita hanya muncul sesekali saja ketika anak kita membuka rekening di
bank. Itupun kalau ingat. Siapa nama gadis ibu kandung anda? Hanya untuk mengingat
nama ibu saja harus buka rekening. Ngeri bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)