Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 Mei 2020

Kenapa harus Dragonforce?


Kenapa harus Dragonforce?

Beberapa minggu terakhir saya sering membombardir status wasap dengan dikit-dikit Dragonforce, dikit-dikit Herman Li, dikit-dikit Dragon-dragonan entah di rumah dengan gadget atau di kantor dengan layar lebar pinjaman. Mungkin ada yang sampai mblenger stalking status saya lalu di-mute-lah saya.  Saya melakukan itu bukan karena pingin terlihat keren dan dikira masih kinyis-kinyis, updatenya metal-metalan. Bukaaaannn….kalo pengen terlihat muda dan keren, status saya pasti tentang adik-adik BTS yang mukanya kempling-kempling itu. Ada beberapa alasan saya melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan buibu 40+ yang bentar lagi gantung sepatu ini.

Seperti kita tahu beberapa bulan terakhir ini terjadi perubahan besar-besaran di tatanan kehidupan seluruh dunia tak terkecuali hidup saya yang cuma sekedar remahan kaastengel di lembah toples.  Salah satu perubahan yang sangat nyata adalah cara bekerja saya yang mulanya harus bertemu muka dengan orang lain dan tidak dituntut cepat-cepat, leda-lede pun boleh, menjadi harus serba digital, daring, dan harus cepat selesai.  Untuk itu saya butuh sesuatu yang bisa memacu adrenaline saya untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tetap enjoy meskipun lebih banyak tekanan.
Mungkin yang belum menjalani perubahan ini akan berpikir digital kok malah banyak tekanan. Jangan salah Ferguso!! Setiap hari gawai saya dibanjiri ratusan teks PDF dan segala turunannya, serta image/foto yang berisi informasi tentang apa yang harus saya kerjakan. Satu gawai rasanya tidak cukup untuk semua itu, laptop, tablet, pil, dan puyer, semua terpakai.  Belum lagi kalau kehabisan kuota, tekanan semakin berat.  Semua harus onlen, beb….onleeen. Yaaa…  meskipun kadang masih nebeng wifi kantor, kalau kuota internet habis rasanya ada yang hilang.  

Itulah mengapa adrenaline saya yang kadang berlimpah ruah ini belum cukup untuk membabat semua pekerjaan itu. Saya masih butuh sesuatu yang lain untuk memompa lebih banyak adrenaline. Salah satunya adalah dengan memilih genre music yang tepat karena menurut saya musik yang saya dengarkan ketika bekerja akan mempengaruhi hasil kerja saya. 


Pilihan saya jatuh pada Dragonforce.

Saya jatuh hati dengan beat genre yang dibawakan Herman Li dan kawan-kawan ini.  Dragonforce, grup music dari Inggris ini mengusung musik bergenre Power Metal dengan beat yang lebih tepatnya sangat cepat dan terlalu enerjik. Untuk sebagian orang beat Dragonforce memang tidak umum.  Permainan gitar Herman Li yang cukup edyan speed dan tekniknya menghasilkan bunyi-bunyian yang tidak umum muncul di permainan gitar, misalnya nada-nada aneh seperti di game Nintendo. Udah gitu masih ada  gitaris satu lagi, Sam Totman, kombinasi keduanya  bisa bikin mual dan pusing yang gak biasa mendengar. Belum lagi gebukan drum mas Gee Anzalone yang pinter masak itu bisa bikin jantungan karena nyaris gak ada jedanya.


Seperti dari beberapa bacaan yang saya dapat, genre ini disebut power metal, music metalnya Eropa. Salah satu band populer yang membawakan genre ini adalah Helloween yang terkenal dengan lagu bucin Forever and One itu.  Bahkan sang gitaris Dragonforce sendiri di sebuah wawancara dengan sebuah majalah musik menyebut musik mereka extreme power metal, persis seperti nama album terakhir mereka tahun 2019, Extreme Power Metal.  Udah power metal itu genre music yang gak ada santai-santainya masih ditambah extreme pula. Klean gak akan kuat, cukup saya aja yang dengerin.


Beat sedemikian itulah sepertinya yang kemudian tersinkronisasi sempurna dengan ritme jantung saya ketika bekerja sehingga saya bisa menyelesaikan segala pekerjaan dengan cepat dan tepat. Intinya begitulah yang saya rasakan ketika bekerja diiringi dengan petikan gitar mas Herman Li dan suara merdu merayu vokalisnya yang ganti-ganti melulu, saya sampai lupa namanya.


Kenapa pilihan saya jatuh ke Dragonforce padahal di playlist saya ada banyak music yang war wer wor? Saya punya Slayer, Lamb of God, Burgerkill, dan Metallica tapi itu terlalu berat untuk menemani kerja bikin slide power point dan lesson plan. Takutnya salah ketik misuh-misuh di slide karena terbawa ikut berdendang. ASDFGHJKL:”!!!   Ada pula serentetan lagu-lagu puitis dari Dream Theater. Ini mengkhawatirkan untuk didengarkan ketika bikin lesson plan. Karena liriknya yang dalam, takut kepikiran kenapa si Victoria bertengkar dengan Nicholas atau ada apa dengan Anna Lee. Ada lagi downloadan video Megadeth, musiknya OK sih…tapi polah gitaris barunya itu bikin gak konsentrasi, terlalu menggemaskan untuk jadi gitaris metal menemani Eyang Dave Mustaine.


Dragonforce membawa tema-tema optimis dan penuh semangat juang.  Faktor ini sangat penting mengingat secara tidak sadar ketika mendengar sebuah lagu, otak kita akan merekam kosa kata yang ada didalamnya beserta nada-nada pembawanya. Pernah gak mengalami ada satu lagu yang kita samasekali tidak tahu tapi selalu terngiang-ngiang ditelinga? Bisa jadi karena tetangga sering mutar itu kita tidak sengaja mendengar dan mancep di otak. Nah…itulah salah satu alasan lain saya jatuh cinta kepada DragonForce.  Tema-tema lagunya selalu optimis bahkan ketika patah hati dan mengalami ketidak beruntungan. Itulah yang saya mau, terngiang-ngiang kata-kata penuh semangat dan optimis, bukan mewek dan menye-menye.


Nih ada beberapa contoh lirik yang penuh optimisme itu.

The Trail of Broken Hearts, lagu broken heart lho ini….

Here we are, far beyond the distant sky
Seen all the world and how the story will be over
Through the snow and tainted mountains we have climbed
Now we have found the light that guides us over
Through the falling rain we travelled far and wide
And through the blackest darkness, stars above shining bright

Didalam kegelapan yang amat sangat, di atas sana bintang masih bersinar terang. Lhoooo… Kurang optimis gimana? Dalam kegelapan pun masih percaya di luar sana masih ada harapan. Penting ini!
Masih kurang? Ada lagi nih, dari  Where Dragons Rule.

Sun set in the western sky
The battle’s almost done
The victory will be glorious
Our enemies are gone

Percaya bahwa semua halangan pasti akan ada akhirnya.   Atau butuh semangat untuk memperbaiki diri? Adaaaa….Razorblade Meltdown. Dari waktu yang pernah kita sia-siakan, pilihan untuk berubah menjadi lebih baik ada di tangan kita, gitu katanya.

Seize the day outside the world is wide
We still have one chance left tonight
The choice is ours to make it right
For all the wasted time


Itu cuma sedikit contoh dari lagu-lagu Dragonforce yang berhari-hari menemani saya bekerja dan bermain. Menurut pemikiran saya yang sederhana ini, kosa kata semacam seize, battle, victory , freedom, glorious dan semacamnya yang selalu muncul di lagu-lagu mereka mengajarkan betapa saya tidak boleh nglokro dan menyerah terhadap tekanan sekeras apapun. Entah inspirasinya darimana atau apa maksud sebenarnya dari lagu-lagu tersebut tidaklah begitu penting untuk saya, yang penting efek positifnya saya bisa tetap bersemangat. Di mata saya yang awam urusan musik, Dragonforce sukses membuat tema-tema penderitaan berubah menjadi perjuangan yang berkobar-kobar. Pokmen I love you, Herman Li!!


Alasan terakhir cukup klise, sih. Bawaan lahir. Sebagai generasi yang lahir penghujung tahun 70an dimana music rock sedang mulai berkibar kencang dan tumbuh besar di era 80-90an di mana grup-grup musik legendaris mulai berkibar kencang, sangat sulit kiranya untuk tidak mengenal genre musik satu ini beserta turunannya. Sebagai ABG era itu, kalau gak nge-rock, ya nge-pop. Panggilan hati saya rupanya adalah  jalur rock meskipun setiap hari Bapak saya memutar Nyai Tjondrolukito dan Bu Waldjinah.  Di jaman itu radio-radio jamak memutar lagu-lagu Metallica, Megadeth, Bon Jovi, atau Guns N Roses, atau grup-grup slow rock dengan personel cowok-cowok cantik semacam Warrant, Poison, atau Skid Row yang lagu-lagu cintanya mak jleb banget dan bikin menangis darah. Jangan salah ya, gak cuma cowok Kpop aja yang cantik, rocker 80-90 udah duluan cantik bahkan sebelum cowok-cowok Kpop dirancang. Hahaha. 


Paparan terhadap musik rock yang kemudian berkembang menghasilkan heavy metal secara tidak langsung mempengaruhi selera permusikan saya. Setelah mengalami pencarian akhirnya saya berlabuh di genre ini untuk menemani perjalanan hidup saya sampai saat ini. Jadi kalau ada yang kemudian komen ,”Duh, udah ibuk2 kok masih sok metal ya? Malu dong sama anak cucunya” saya anggap saja dia gak ngerti sejarah. Dah gitu aja. Kalau mau dijelaskan ini bisa panjaaang, bisa jadi satu artikel sendiri. Buat saya pilihan musik itu sangat personal seperti memilih baju, cocok buat saya belum tentu cocok buat yang lain, begitu pula sebaliknya. Jadi kalau saya tidak ikut-ikutan memuja cowok cantik masa kini yang pinter joget-joget  itu bukan karena mereka tidak lebih bagus daripada rocker 80an yang sekarang sudah mapan + matang dan tetap gondes, tetapi lebih kepada genre musik yang ra mashook buat saya dan faktor ah sudahlah yang lain. (Haha bisa jadi artikel lain juga nih…tapi siap-siap dihujat pemujanya)

Biarkan saya cukup memuja Herman Li dan permainan gitarnya yang bikin adrenaline saya tumpah ruah. Dan biarkan saya ikut mendendangkan liriknya yang saya tak kunjung hafal.


In my heart in my soul I am out of control
Fly across the mountains and towards the distant sun



(referensi; Wikipedia, dragonforce.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar