Kenapa harus Dragonforce?
Beberapa minggu terakhir saya sering
membombardir status wasap dengan dikit-dikit Dragonforce, dikit-dikit Herman
Li, dikit-dikit Dragon-dragonan entah di rumah dengan gadget atau di kantor
dengan layar lebar pinjaman. Mungkin ada yang sampai mblenger stalking
status saya lalu di-mute-lah saya.
Saya melakukan itu bukan karena pingin terlihat keren dan dikira masih
kinyis-kinyis, updatenya metal-metalan. Bukaaaannn….kalo pengen terlihat muda
dan keren, status saya pasti tentang adik-adik BTS yang mukanya
kempling-kempling itu. Ada beberapa alasan saya melakukan hal yang tidak
sepantasnya dilakukan buibu 40+ yang bentar lagi gantung sepatu ini.
Seperti kita tahu beberapa bulan
terakhir ini terjadi perubahan besar-besaran di tatanan kehidupan seluruh dunia
tak terkecuali hidup saya yang cuma sekedar remahan kaastengel di lembah
toples. Salah satu perubahan yang sangat
nyata adalah cara bekerja saya yang mulanya harus bertemu muka dengan orang
lain dan tidak dituntut cepat-cepat, leda-lede pun boleh, menjadi harus serba
digital, daring, dan harus cepat selesai.
Untuk itu saya butuh sesuatu yang bisa memacu adrenaline saya untuk
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan tetap enjoy meskipun lebih
banyak tekanan.
Mungkin yang belum menjalani
perubahan ini akan berpikir digital kok malah banyak tekanan. Jangan salah
Ferguso!! Setiap hari gawai saya dibanjiri ratusan teks PDF dan segala turunannya,
serta image/foto yang berisi informasi tentang apa yang harus saya kerjakan. Satu
gawai rasanya tidak cukup untuk semua itu, laptop, tablet, pil, dan puyer,
semua terpakai. Belum lagi kalau
kehabisan kuota, tekanan semakin berat. Semua
harus onlen, beb….onleeen. Yaaa…
meskipun kadang masih nebeng wifi kantor, kalau kuota internet habis
rasanya ada yang hilang.
Itulah mengapa adrenaline saya
yang kadang berlimpah ruah ini belum cukup untuk membabat semua pekerjaan itu. Saya
masih butuh sesuatu yang lain untuk memompa lebih banyak adrenaline. Salah
satunya adalah dengan memilih genre music yang tepat karena menurut saya musik yang
saya dengarkan ketika bekerja akan mempengaruhi hasil kerja saya.
Pilihan saya
jatuh pada Dragonforce.
Saya jatuh hati dengan beat genre
yang dibawakan Herman Li dan kawan-kawan ini.
Dragonforce, grup music dari Inggris ini mengusung musik bergenre Power
Metal dengan beat yang lebih tepatnya sangat cepat dan terlalu enerjik. Untuk sebagian
orang beat Dragonforce memang tidak umum.
Permainan gitar Herman Li yang cukup edyan speed dan tekniknya
menghasilkan bunyi-bunyian yang tidak umum muncul di permainan gitar, misalnya
nada-nada aneh seperti di game Nintendo. Udah gitu masih ada gitaris satu lagi, Sam Totman, kombinasi
keduanya bisa bikin mual dan pusing yang
gak biasa mendengar. Belum lagi gebukan drum mas Gee Anzalone yang pinter masak
itu bisa bikin jantungan karena nyaris gak ada jedanya.
Seperti dari beberapa bacaan yang
saya dapat, genre ini disebut power metal, music metalnya Eropa. Salah satu
band populer yang membawakan genre ini adalah Helloween yang terkenal dengan
lagu bucin Forever and One itu. Bahkan
sang gitaris Dragonforce sendiri di sebuah wawancara dengan sebuah majalah musik
menyebut musik mereka extreme power metal, persis seperti nama album terakhir
mereka tahun 2019, Extreme Power Metal. Udah
power metal itu genre music yang gak ada santai-santainya masih ditambah
extreme pula. Klean gak akan kuat, cukup saya aja yang dengerin.
Beat sedemikian itulah sepertinya
yang kemudian tersinkronisasi sempurna dengan ritme jantung saya ketika bekerja
sehingga saya bisa menyelesaikan segala pekerjaan dengan cepat dan tepat. Intinya
begitulah yang saya rasakan ketika bekerja diiringi dengan petikan gitar mas
Herman Li dan suara merdu merayu vokalisnya yang ganti-ganti melulu, saya
sampai lupa namanya.
Kenapa pilihan
saya jatuh ke Dragonforce padahal di playlist saya ada banyak music yang war
wer wor? Saya punya Slayer, Lamb of God, Burgerkill, dan Metallica tapi itu
terlalu berat untuk menemani kerja bikin slide power point dan lesson
plan. Takutnya salah ketik misuh-misuh di slide karena terbawa ikut
berdendang. ASDFGHJKL:”!!! Ada
pula serentetan lagu-lagu puitis dari Dream Theater. Ini mengkhawatirkan untuk
didengarkan ketika bikin lesson plan. Karena liriknya yang dalam, takut
kepikiran kenapa si Victoria bertengkar dengan Nicholas atau ada apa dengan
Anna Lee. Ada lagi downloadan video Megadeth, musiknya OK sih…tapi polah gitaris
barunya itu bikin gak konsentrasi, terlalu menggemaskan untuk jadi gitaris
metal menemani Eyang Dave Mustaine.
Dragonforce membawa tema-tema optimis
dan penuh semangat juang. Faktor ini
sangat penting mengingat secara tidak sadar ketika mendengar sebuah lagu, otak
kita akan merekam kosa kata yang ada didalamnya beserta nada-nada pembawanya. Pernah
gak mengalami ada satu lagu yang kita samasekali tidak tahu tapi selalu terngiang-ngiang
ditelinga? Bisa jadi karena tetangga sering mutar itu kita tidak sengaja mendengar
dan mancep di otak. Nah…itulah salah satu alasan lain saya jatuh cinta kepada
DragonForce. Tema-tema lagunya selalu optimis
bahkan ketika patah hati dan mengalami ketidak beruntungan. Itulah yang saya
mau, terngiang-ngiang kata-kata penuh semangat dan optimis, bukan mewek dan menye-menye.
Nih ada beberapa contoh lirik
yang penuh optimisme itu.
The Trail of Broken Hearts,
lagu broken heart lho ini….
Here we are, far beyond the distant sky
Seen all the world and how the story will be
over
Through the snow and tainted mountains we have
climbed
Now we have found the light that guides us over
Through the falling rain we travelled far and
wide
And through the blackest darkness, stars above
shining bright
Didalam kegelapan yang amat
sangat, di atas sana bintang masih bersinar terang. Lhoooo… Kurang optimis
gimana? Dalam kegelapan pun masih percaya di luar sana masih ada harapan. Penting
ini!
Masih kurang? Ada lagi nih,
dari Where Dragons Rule.
Sun set in the western sky
The battle’s almost done
The victory will be glorious
Our enemies are gone
Percaya bahwa semua halangan
pasti akan ada akhirnya. Atau butuh
semangat untuk memperbaiki diri? Adaaaa….Razorblade Meltdown. Dari waktu
yang pernah kita sia-siakan, pilihan untuk berubah menjadi lebih baik ada di
tangan kita, gitu katanya.
Seize the day outside the world is wide
We still have one chance left tonight
The choice is ours to make it right
For all the wasted time
Itu cuma sedikit contoh dari
lagu-lagu Dragonforce yang berhari-hari menemani saya bekerja dan bermain. Menurut
pemikiran saya yang sederhana ini, kosa kata semacam seize, battle, victory ,
freedom, glorious dan semacamnya yang selalu muncul di lagu-lagu mereka
mengajarkan betapa saya tidak boleh nglokro dan menyerah terhadap
tekanan sekeras apapun. Entah inspirasinya darimana atau apa maksud sebenarnya
dari lagu-lagu tersebut tidaklah begitu penting untuk saya, yang penting efek
positifnya saya bisa tetap bersemangat. Di mata saya yang awam urusan musik,
Dragonforce sukses membuat tema-tema penderitaan berubah menjadi perjuangan
yang berkobar-kobar. Pokmen I love you, Herman Li!!
Alasan terakhir cukup klise, sih.
Bawaan lahir. Sebagai generasi yang lahir penghujung tahun 70an dimana music rock
sedang mulai berkibar kencang dan tumbuh besar di era 80-90an di mana grup-grup
musik legendaris mulai berkibar kencang, sangat sulit kiranya untuk tidak
mengenal genre musik satu ini beserta turunannya. Sebagai ABG era itu, kalau
gak nge-rock, ya nge-pop. Panggilan hati saya rupanya adalah jalur rock meskipun setiap hari Bapak saya
memutar Nyai Tjondrolukito dan Bu Waldjinah. Di jaman itu radio-radio jamak memutar
lagu-lagu Metallica, Megadeth, Bon Jovi, atau Guns N Roses, atau grup-grup slow
rock dengan personel cowok-cowok cantik semacam Warrant, Poison, atau Skid Row
yang lagu-lagu cintanya mak jleb banget dan bikin menangis darah. Jangan
salah ya, gak cuma cowok Kpop aja yang cantik, rocker 80-90 udah duluan cantik
bahkan sebelum cowok-cowok Kpop dirancang. Hahaha.
Paparan terhadap musik rock yang
kemudian berkembang menghasilkan heavy metal secara tidak langsung mempengaruhi
selera permusikan saya. Setelah mengalami pencarian akhirnya saya berlabuh di
genre ini untuk menemani perjalanan hidup saya sampai saat ini. Jadi kalau ada
yang kemudian komen ,”Duh, udah ibuk2 kok masih sok metal ya? Malu dong sama anak
cucunya” saya anggap saja dia gak ngerti sejarah. Dah gitu aja. Kalau mau
dijelaskan ini bisa panjaaang, bisa jadi satu artikel sendiri. Buat saya pilihan
musik itu sangat personal seperti memilih baju, cocok buat saya belum tentu
cocok buat yang lain, begitu pula sebaliknya. Jadi kalau saya tidak ikut-ikutan
memuja cowok cantik masa kini yang pinter joget-joget itu bukan karena mereka tidak lebih bagus
daripada rocker 80an yang sekarang sudah mapan + matang dan tetap gondes,
tetapi lebih kepada genre musik yang ra mashook buat saya dan faktor ah
sudahlah yang lain. (Haha bisa jadi artikel lain juga nih…tapi siap-siap dihujat pemujanya)
Biarkan saya cukup memuja Herman
Li dan permainan gitarnya yang bikin adrenaline saya tumpah ruah. Dan biarkan
saya ikut mendendangkan liriknya yang saya tak kunjung hafal.
In my heart in my soul I am out of control
Fly across the mountains and towards the distant sun
(referensi; Wikipedia,
dragonforce.com
image dari https://en.wikipedia.org/wiki/Inhuman_Rampage)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar