SHARE
share (v) 5 [T] to tell someone else about your
thought s, feelings, ideas, etc.
{Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, third edition, 2008}
Semenjak
kemunculan media social di internet , orang-orang dengan mudah share
–membagikan—informasi kepada komunitasnya.
Diawali dengan chat room, milis, dan forum-forum di internet yang
kemudian disambung dengan Friendster, Hi5, MySpace, Facebook, Tumblr, Twitter,
Google+, Instagram, dan yang sejenisnya,
orang semakin mudah meluncurkan ide-idenya ke segala penjuru. Pada awal munculnya media ini, orang berbagi
informasi yang tidak mudah didapat di dunia nyata dengan kadar kebenaran yang
cukup bisa dipercaya karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa
mengakses internet. Informasinyapun menyebar hanya di seputaran komunitas
tertentu. Kalaupun pada akhirnya
tersebar keluar dunia maya, medianya
akan berubah pula, misalnya secara lisan atau cetak dan reaksi orang-orang pun
belum secepat sekarang—membagikannya ke orang lain lagi.
Waktu berputar
dengan cepat, demikian pula perkembangan
media social yang kemudian memunculkan sang fenomenal, Facebook. Sejak adanya Facebook, orang jauh lebih mudah
berkomunikasi dengan sesamanya yang jauh maupun dekat. Suasana hati, menu makan siang, status
pernikahan, doa-doa, sampai sumpah serapah pun dengan mudah di “share” ke
public – teman pengguna akun. Sampai
suatu ketika beberapa orang yang terluang waktunya membuat tulisan atau gambar
yang diragukan kebenarannya dan membagikannya kepada teman-temannya. Mereka kemudian membaginya lagi kepada teman
dalam lingkaran yang lain lagi, begitu seterusnya. Sehingga kemudian tidak diketahui lagi siapa
sebenarnya pembuat asli tulisan atau gambar yang telah tersebar tersebut karena
mungkin salah satu mata rantai penyebar lupa mencantumkan darimana asal tulisan
atau gambar tersebut. Bahkan tidak
mustahil tulisan dan gambar itu akan kembali lagi ke pemilik aslinya selama ia
masih termasuk dalam mata rantai yang membentuk mata rantai yang lebih besar
lagi.
Pasca Facebook
dan media social yang hanya bisa diakses dengan komputer, bermunculan media
social berbasis internet yang tanpa harus bersentuhan dengan PC atau
notebook. Cukup dengan handphone dengan
spesifikasi tertentu orang sudah bisa dengan mudah memiliki akun media social
yang lebih mobile – bebas bergerak kemana-mana—misalnya versi-versi mobile Facebook, Twitter,
YM. Ditambah dengan masuknya Blackberry
dan Android, hampir semua orang memiliki akun media social minimal satu. Sebagai akibatnya adalah arus penyebaran dan
perputaran informasi semakin tidak terbendung lagi. Segala macam informasi berupa kata-kata,
tulisan, gambar, dan video dengan mudah menyebar ke lingkaran-lingkaran
kelompok pengguna tanpa diminta. Secara
otomatis, sebagian penerima akan membagikannya ke lingkaran kelompok yang lain dimana ia juga
termasuk dalam lingkaran itu. Pada
dasarnya tidak ada yang salah dengan berbagi karena itu adalah perilaku alami
manusia. Tetapi ketika ada satu bagian
mata rantai lingkaran yang alpa, misalnya tidak mengerti benar apa isi
informasi tersebut dan asal membagikannya, pastilah akan menimbulkan masalah
bagi yang lain misalnya, kepanikan, keresahan, bahkan yang lebih buruk adalah
perilaku anarkis yang spontan. Emosi
bisa tersulut tanpa harus bersentuhan fisik seperti jaman dahulu, lewat
posting-an di media social pun jadilah.
Yang menjadi
masalah bukanlah media sosialnya atau siapa yang membagi informasi, tetapi kebenaran
isi dari informasi tersebut. Contoh
mudah adalah ketika gunung Kelud meletus tanggal 14 February 2014 lalu, spontan
di media social muncul posting-posting yang simpang siur, misalnya informasi
gempa dan letusan setelah sekian jam bla…bla….bla… dengan menyertakan alamat
situs abal-abal. Ada saja yang membagikannya kemana-mana tanpa memeriksa kebenaran
keberadaan situs tersebut. Begitu pula
dengan sebuah posting yang memakai angka
ayat-ayat Al-Quran yang diotak-atik gathuk,
yang katanya letusan Kelud telah diramalkan dalam Al-Quran sesuai dengan
angka-angka tersebut. Tanpa harus
dicuplikkan semacam teka-teki numeric begitu, Al Quran sungguh telah memuat
semuanya. Sungguh ironis, disaat yang
lain panik menyelamatkan diri ada saja yang sempat-sempatnya membuat dan
membagikan hal yang sekiranya tidak perlu.
Positifnya adalah si pembuat mungkin ingin mengingatkan diri sendiri
akan kuasa Alloh terhadap semua kejadian alam semesta dengan cara mengunggahnya
ke media social supaya diamini banyak orang.
( Bukannya Tuhan punya akun media social? Buktinya banyak orang berdoa
dan meminta kepada Tuhan disitu.) Teman
si pembuat membaca dan setuju, dan membagikannya ke yang lain tanpa harus tahu
dari siapa untuk apa, demikian tak ada habisnya.
Adalah kita yang
bisa mengendalikan dan menyaring arus informasi. Seyogyanya dengan bijaksana kita pilah mana
informasi yang perlu kita bagi atau kita simpan sendiri lalu buang. Langkah pertama adalah baca dengan mata
terbuka, cerna dengan logika, periksa sumbernya kalau ada. Kalau ternyata tidak
perlu, buang saja. Jangan mudah percaya, banyak orang pintar otaknya tetapi
mati hatinya.
Notes:
(Terinspirasi atas perdebatan
saya dengan beberapa orang di grup Whatssap yang men-share perilaku pemusik
hardcore yang disebut sesat dan memuja iblis dll. Ketika saya bilang hendaknya kita bisa
menyaring informasi yang kita terima dan tidak langsung membaginya kalau kita
tidak tahu benar salahnya, si pengunggah marah-marah. Tambah marah lagi ketika saya sarankan
menyertakan sumbernya. Mungkin saja kata-kata yang saya pilih terlalu keras buat
si pengunggah. Salah sendiri bahas music
hardcore...jelas “hard” pilihan kata-kata saya untuk mengomentarinya J. Mohon maaf )