Total Tayangan Halaman

Kamis, 31 Januari 2013

MENYABUNG NYAWA DI JALAN RAYA

"Nek ra ngedan, ra entuk dalan"

Pagi-pagi maunya membeli jajan pasar untuk sarapan, malah kena omelan seorang ibu pengendara mobil hanya karena saya naik sepeda dan menyalip sebuah becak.  Holly@#$%$#@! Geli tapi juga jengkel.  Geli karena mungkin si ibu takut sepeda saya menggores mobilnya, jengkel karena kenapa juga harus marah-marah padahal jalan masih tersisa lebar dann tidak terlalu ramai. Jumlah roda, sekali lagi, menentukan derajat kita di jalan raya.  

Itu satu contoh tentang perilaku berkendara di jalan raya yang jamak terjadi di jaman ini.  Jaman sekarang saya menyebutnya jaman "nek ra ngedan ra entuk dalan".  Bagaimana tidak? Lihat saja setiap hari orang-orang menggila di atas roda kendaraan mereka entah mau kemana, ke pasar, sekolah, beli makan, bahkan E** pun mungkin harus naik motor dulu baru sampai.  Semua melaju dengan kecepatan tinggi, berebut jalan "uyel-uyelan" di jalan raya.  Bukan masalah berapa kecepatannya sih, tetapi perilakunya itu lhooo yang jadi masalah besar.  Lampu merah di terobos, mau belok tidak menyalakan lampu tanda, ada orang mau menyeberang malah diklakson dan menambah kecepatan, jalan malam di gang tidak pakai lampu atau malah menyalakan lampu jauh.  Saya jadi bertanya-tanya, apa kendaraan bermotor buatan terbaru ini tidak seperti yang dulu-dulu ya? Mungkin ketika beli kendaraan bermotor , khususnya sepeda motor, sekarang bisa pesan  "gak usah pake rem, gak usah pake spion, dan gak usah lampu tanda belok" -- cukup gas dan klakson saja biar murah. Istilah kerennya "customized" :D

Setiap hari saya menyabung nyawa di jalan raya menuju ke kantor dan selalu bertemu dengan mereka-mereka ini -- yang motornya (bukan motornya sih tapi otaknya) customized.  Kalau saya pelan malah di klakson suruh cepat-cepat, kalau saya mau menyalip si dia tidak terima di salip.  Lampu hampir merah seharusnya mengurangi laju kendaraan, tetapi pada kenyataanya malah semakin kencang.  Sini yang mau tertib, malah terancam, kalau memutuskan mengurangi laju kendaraan atau berhenti pasti disambar kendaraan lain dari belakang. Bisa-bisa belum sampai kantor sudah tamat riwayatnya.  Saat ini berkendara tertib itu ternyata malah membahayakan diri sendiri karena orang-orang disekitar menganggap yang tertib itu malah salah.  Yang benar ya ngedan itu tadi...... 

Selain para pengendara yang memutuskan ngedan, yang tak kurang membahayakan adalah para "rookie" -- baru bisa naik motor dan yang matic lagi, bisanya tarik gas, tekan klakson, dan rem mendadak.  Nha.... yang ini pasti pesannya yang gak ada spionnya... berhenti semena-mena tanpa melihat kiri-kanan depan-belakang.  Kalu suatu saat ketabrak dari belakang yang disalahkan pasti yang nabrak.  Piye jal?  Saya jadi ingin tahu mereka ini kursus naik motor dimana, kok skill-nya minimalis banget. Biaya kursusnya mungkin  paket yang murah banget jadi paketnya minimalis :-D Bahkan ada teman saya yang kategori berkendaranya masih "rookie" dengan bangganya menunjukkan SIMnya, padahal kalau lihat cara dia naik motor ngeri banget deh.... Jadi punya SIM itu bukan jaminan selamat di jalan, apalagi SIM hasil tembakan.   Lampu merah jalan teruuus....:-D

Beberapa kejadian yang pernah saya alami selama menjadi salah satu pengendara yang ikut-ikutan "ngedan" membuat saya menyimpulkan bahwa yang salah bukan kendaraannya yang kurang lengkap tetapi otak pengendaranya yang kurang lengkap karena tidak mampu menggunakan features yang tersedia di semua kendaraan bermotor.  Tidak usah bangga mempunyai SIM kalau cara mendapatkannya dengan membeli, karena bisa beli SIM belum tentu bisa memiliki keterampilan berkendara yang benar.  Berkendara dengan tertib itu penting, tetapi ingat tidak semua pengendara tahu tata tertib berkendara.  Jadi untuk saat ini dimana semua orang sudah "ngedan", selamat adalah nomor satu, tertib nomor sekian.  Buat apa tertib kalau mematikan.  Jadi, nek ra ngedan ora entuk dalan.....Happy riding crazily (but safely).

Kamis, 17 Januari 2013

Terima Kasih, Thank you, Matur nuwun, Danke schon, Arigato, Xie xie, Muchas gracias, Khawp khun kha, Syukran.......

 Terima kasih...........
Ingatkah kapan terakhir kali kita mengatakan itu kepada seseorang? Satu frase yang sangat sederhana tetapi sarat makna.  Sayangnya banyak yang lupa kapan harus mengatakannya.

Beberapa menit sebelum saya menulis ini, saya masih berjuang di jalan raya menuju kantor.  Di sebuah traffic light tak jauh dari rumah terjadilah sebuah insiden yang hanya berlangsung beberapa detik tetapi cukup membuat "train of thought" saya berjalan kencang.  Sewaktu lampu merah menyala di traffic light itu, saya berhenti di belakang sebuah motor berpenumpang dua orang, seorang ibu dan bapak.  Si Ibu membawa sebuah "kruk" ( alat bantu berjalan). Si Ibu menurunkan kruk-nya dan saat itu juga lampu menyala hijau, si Bapak rupanya tergesa-gesa menarik gas sehingga motor tersentak dan jatuhlah kruk si Ibu tepat di depan saya.  Karena menghalangi motor, saya turun dan mengambilkan kruk si Ibu meskipun di belakang ada mobil yang sudah membunyikan klakson. D*** #^!  Si Ibu sepertinya sedang bersitegang dengan si Bapak sehingga melihat sayapun tidak ketika saya mengulurkan kruknya.  Dengan demikian lupalah si Ibu pada frase ajaib itu. terima kasih.  Tetapi sudahlah, mungkin karena terburu-buru dan diklakson mobil-mobil dari belakang, hilanglah hafalan atas kata terima kasih si Ibu.   Bukan sekali ini saja saya mengalami hal seperti itu.  Beberapa saat yang lalu, seorang Bapak yang terlihat berduit buru-buru keluar dari bilik ATM ketika saya mengantri.  Ketika saya masuk, mesin ATM masih berbunyi karena rupanya katru si Bapak itu ketinggalan. saya cepat-cepat ambil dan saya kejar si Bapak yang sudah hampir "nyengklak" motornya. Diambillah kartu itu dari tangan saya dan wushhh........ lupa juga si Bapak dengan frase ajaib itu.  Untung saya tidak suka mengambil milik orang lain, kalau saja saya usil, pasti sudah habis uang si Bapak.  Tetapi tidak tahu juga kalau ATMnya sudah tidak ada isinya sehingga dengan cerobohnya meninggalkan ATM tanpa memeriksa lagi. Mungkin melihat saya bertampang "devilish-demonic angel" jadi malas orang-orang bilang terima kasih ke saya :-D

Bukan kata terima kasih yang saya harap ketika saya tiba-tiba berbaik hati menolong orang, tetapi saya hanya merasa itukah yang kita pelajari sejak kecil? Seingat saya, di pelajaran PMP atau selama indoktrinasi di Penataran P4  jaman dulu, ada disebutkan supaya kita mengatakan terima kasih kepada yang telah menolong kita.  Tetapi kenyataannya, tak banyak yang ingat itu ketika telah terjun ke masyarakat.  Sekarang ketika saya telah mempunyai lisensi mengajar (punya ndak ya?) saya bertemu dengan anak-anak segala umur.  Sebagian dari mereka telah terbentuk sangat baik, selalu mengatakan "Thank you, Miss" setelah pelajaran usai.  Sebagian lagi sama persis dengan moyangnya terdahulu, selalu lupa, bahkan ketika mendapatkan hadiah atau pujian dari guru mereka (ngomong-ngomong, saya guru bukan ya?)

Tidak usahlah berkoar-koar dengan rencana memberikan pendidikan berkarakter di sekolah, mulailah dari diri sendiri untuk membiasakan mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang memberikan jasa kepada kita meskipun hanya sedikit, kepada petugas pom bensin, ibu penjual di pasar, tau kepada orang-orang terdekat kita.  Terima kasih telah membaca tulisan saya.