Total Tayangan Halaman

Sabtu, 01 Maret 2014

SHARE



SHARE
share (v) 5 [T] to tell someone else about your thought s, feelings, ideas, etc.  {Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, third edition, 2008}


Semenjak kemunculan media social di internet , orang-orang dengan mudah share –membagikan—informasi kepada komunitasnya.  Diawali dengan chat room, milis, dan forum-forum di internet yang kemudian disambung dengan Friendster, Hi5, MySpace, Facebook, Tumblr, Twitter, Google+,  Instagram, dan yang sejenisnya, orang semakin mudah meluncurkan ide-idenya ke segala penjuru.  Pada awal munculnya media ini, orang berbagi informasi yang tidak mudah didapat di dunia nyata dengan kadar kebenaran yang cukup bisa dipercaya karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa mengakses internet. Informasinyapun menyebar hanya di seputaran komunitas tertentu.  Kalaupun pada akhirnya tersebar keluar dunia maya,  medianya akan berubah pula, misalnya secara lisan atau cetak dan reaksi orang-orang pun belum secepat sekarang—membagikannya ke orang lain lagi. 
Waktu berputar dengan cepat,  demikian pula perkembangan media social yang kemudian memunculkan sang fenomenal, Facebook.  Sejak adanya Facebook, orang jauh lebih mudah berkomunikasi dengan sesamanya yang jauh maupun dekat.  Suasana hati, menu makan siang, status pernikahan, doa-doa, sampai sumpah serapah pun dengan mudah di “share” ke public – teman pengguna akun.  Sampai suatu ketika beberapa orang yang terluang waktunya membuat tulisan atau gambar yang diragukan kebenarannya dan membagikannya kepada teman-temannya.  Mereka kemudian membaginya lagi kepada teman dalam lingkaran yang lain lagi, begitu seterusnya.  Sehingga kemudian tidak diketahui lagi siapa sebenarnya pembuat asli tulisan atau gambar yang telah tersebar tersebut karena mungkin salah satu mata rantai penyebar lupa mencantumkan darimana asal tulisan atau gambar tersebut.  Bahkan tidak mustahil tulisan dan gambar itu akan kembali lagi ke pemilik aslinya selama ia masih termasuk dalam mata rantai yang membentuk mata rantai yang lebih besar lagi. 
Pasca Facebook dan media social yang hanya bisa diakses dengan komputer, bermunculan media social berbasis internet yang tanpa harus bersentuhan dengan PC atau notebook.  Cukup dengan handphone dengan spesifikasi tertentu orang sudah bisa dengan mudah memiliki akun media social yang lebih mobile – bebas bergerak kemana-mana—misalnya  versi-versi mobile Facebook, Twitter, YM.  Ditambah dengan masuknya Blackberry dan Android, hampir semua orang memiliki akun media social minimal satu.  Sebagai akibatnya adalah arus penyebaran dan perputaran informasi semakin tidak terbendung lagi.  Segala macam informasi berupa kata-kata, tulisan, gambar, dan video dengan mudah menyebar ke lingkaran-lingkaran kelompok pengguna tanpa diminta.  Secara otomatis, sebagian penerima akan membagikannya  ke lingkaran kelompok yang lain dimana ia juga termasuk dalam lingkaran itu.  Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan berbagi karena itu adalah perilaku alami manusia.  Tetapi ketika ada satu bagian mata rantai lingkaran yang alpa, misalnya tidak mengerti benar apa isi informasi tersebut dan asal membagikannya, pastilah akan menimbulkan masalah bagi yang lain misalnya, kepanikan, keresahan, bahkan yang lebih buruk adalah perilaku anarkis yang spontan.  Emosi bisa tersulut tanpa harus bersentuhan fisik seperti jaman dahulu, lewat posting-an di media social pun jadilah. 
Yang menjadi masalah bukanlah media sosialnya atau siapa yang membagi informasi, tetapi kebenaran isi dari informasi tersebut.  Contoh mudah adalah ketika gunung Kelud meletus tanggal 14 February 2014 lalu, spontan di media social muncul posting-posting yang simpang siur, misalnya informasi gempa dan letusan setelah sekian jam bla…bla….bla… dengan menyertakan alamat situs abal-abal. Ada saja yang membagikannya kemana-mana tanpa memeriksa kebenaran keberadaan situs tersebut.  Begitu pula dengan sebuah posting yang memakai  angka ayat-ayat Al-Quran yang diotak-atik gathuk, yang katanya letusan Kelud telah diramalkan dalam Al-Quran sesuai dengan angka-angka tersebut.  Tanpa harus dicuplikkan semacam teka-teki numeric begitu, Al Quran sungguh telah memuat semuanya.  Sungguh ironis, disaat yang lain panik menyelamatkan diri ada saja yang sempat-sempatnya membuat dan membagikan hal yang sekiranya tidak perlu.  Positifnya adalah si pembuat mungkin ingin mengingatkan diri sendiri akan kuasa Alloh terhadap semua kejadian alam semesta dengan cara mengunggahnya ke media social supaya diamini banyak orang.  ( Bukannya Tuhan punya akun media social? Buktinya banyak orang berdoa dan meminta kepada Tuhan disitu.)  Teman si pembuat membaca dan setuju, dan membagikannya ke yang lain tanpa harus tahu dari siapa untuk apa, demikian tak ada habisnya. 
Adalah kita yang bisa mengendalikan dan menyaring arus informasi.  Seyogyanya dengan bijaksana kita pilah mana informasi yang perlu kita bagi atau kita simpan sendiri lalu buang.  Langkah pertama adalah baca dengan mata terbuka, cerna dengan logika, periksa sumbernya kalau ada. Kalau ternyata tidak perlu, buang saja. Jangan mudah percaya, banyak orang pintar otaknya tetapi mati hatinya.


Notes:
(Terinspirasi atas perdebatan saya dengan beberapa orang di grup Whatssap yang men-share perilaku pemusik hardcore yang disebut sesat dan memuja iblis dll.  Ketika saya bilang hendaknya kita bisa menyaring informasi yang kita terima dan tidak langsung membaginya kalau kita tidak tahu benar salahnya, si pengunggah marah-marah.  Tambah marah lagi ketika saya sarankan menyertakan sumbernya. Mungkin saja kata-kata yang saya pilih terlalu keras buat si pengunggah.  Salah sendiri bahas music hardcore...jelas “hard” pilihan kata-kata saya untuk mengomentarinya J.  Mohon maaf )