Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 April 2012

Candu itu bernama SEPEDA

Setahun terakhir ini saya kembali kecanduan bersepeda. Bukan hanya karena sedang trend tetapi lebih karena sejarah hidup saya tidak pernah jauh dari sepeda.

Pertama kali saya mempunyai sepeda adalah ketika saya masih SD kelas satu. Sepeda mini warna merah dengan keranjang di depan—tipikal sepeda cantik anak perempuan. Mungkin ini bukan sepeda pertama karena seingat saya, saya belajar naik sepeda dengan sepeda Bapak yang lebih besar, kalau tidak salah Phoenix jengki. Harapan Bapak dan Ibuk mungkin saya menaikinya secara wajar, tetapi ternyata salah. Kala itu istilah downhill, dirt jump, atau extreme biking belum sepopuler sekarang tetapi sepertinya saya telah melakukannya :D Bagaimana tidak, sepeda baru berumur dua hari ditangan saya, sudah saya pakai downhill ke sungai dekat rumah. Alhasil rodanya penuh dengan lumpur. Beberapa waktu kemudian, saya memakainya untuk balapan dengan teman-teman saya. Waktu itu dipinggir sungai dekat rumah masih ada rumpun bambu yang sangat lebat dimana jalan dibawahnya agak menurun dan sepi. Saya dan teman-teman balapan ditempat itu. Saking kencangnya, saya hilang kendali. Akibatnya saya terlempar dan menyaruk jalan tanah dibawah rumpun bambu itu....Ouch!! Tetapi saya belum kapok rupanya, saya tetap bersepeda dengan cara saya. Sampai suatu saat saya dua kali tercebur selokan depan rumah dan tertimpa sepeda saya sendiri. Malangnya, ketika saya berteriak minta tolong tidak ada yang mendengar saya karena semua orang sedang berada di belakang rumah T,T Setelah itu sepeda saya pun tidak lagi bisa bertahan lama. Akhirnya Bapak menjualnya ke tukang rongsokan. Meskipun begitu, dengan sepeda mini merah ini hampir setiap hari Minggu saya dan Bapak bersepeda keliling Madiun. Ngomong-ngomong Bapak saya pernah bersepeda dari Madiun ke Borobudur pp waktu masih muda!

Saya tumbuh besar dan saya butuh sepeda yang lebih besar juga. Bapak membeli sepeda Phoenix jengki warna biru. Tetapi saya belum boleh membawanya ke sekolah. Hanya kadang-kadang Ibuk menjemput saya naik sepeda. Baru ketika saya sekitar kelas 5 – 6 saya boleh naik sepeda kesekolah, tetapi hanya sore hari untuk ekstrakurikuler. Dengan sepeda biru ini, saya tidak terlalu brutal seperti ketika saya bersama sepeda mini merah itu. Mungkin karena saya sudah semakin besar, perempuan lagi! Saya memakai sepeda ini sampai SMP. Dan mulailah lagi kebiasaan bersepeda out of control. Buat saya SMP berarti boleh bersepeda sendiri dan jauh-jauh... Dan saya benar-benar melakukannya! Saya sering bersepeda bersama teman-teman saya ke tempat bernama Kresek, Dungus di kaki gunung Wilis arah timur Madiun kira-kira 18 km. Biasanya saya dan teman-teman gowes ke tempat itu pada hari Minggu disertai ransel kecil berisi makanan dan minuman sebagai teman perjalanan. Kami tidak memaksakan diri harus cepat-cepat sampai tempat biasa kami nongkrong, kalau kaki pegal kami berhenti di pinggir jalan dan makan bekal kami. Kala itu juga sudah banyak yang bersepeda ke sana, sepeda mereka bagus-bagus, dan naiknya kencang-kencang pula. Satu keasyikan tersendiri menonton mereka berpacu di jalan menanjak sementara kami duduk di pinggir jalan sambil ngemil jajanan bekal. Sebaliknya ketika kami mulai mengayuh dan sampai tanjakan saya atau teman saya turun kemudian mendorong sepeda kami karena tidak kuat, rombongan pesepeda yang menyalip kami tak jarang menyemangati kami, " Ayo dik!!!!, balapan!" Hohoho.... saat itu saya mulai membayangkan kapan ya punya sepeda seperti mereka dan bisa berpacu secepat mereka. Alon-alon asal kelakon.... maka sampailah saya dan teman-teman di tempat nongkrong kami setiap kali bersepeda di tempat itu, di sebuah gubuk sawah di tepi sungai gunung yang berbatu besar. Seharian kami biasanya bermain di sana sambil melihat para pesepeda yang melaju kencang turun dari puncak trek beberapa kilometer diatas sungai. Tidak banyak kecelakaan dengan sepeda biru ini, hanya treknya jauh-jauh. Selain ke lereng gunung Wilis ini, saya juga beberapa kali gowes ke arah barat (sedikit ke selatan) Kali Madiun ke sebuah bendungan irigasi yang besar, saya lupa namanya. Jaraknya kira-kira 10km dan sepertinya masuk wilayah Magetan. Masih juga sepeda biru ini menemani saya. Pada saat yang sama kakak laki-laki saya punya sepeda balap, saya lupa mereknya. Karena dia sudah lulus sekolah dan kerja di luar kota, maka sepedanya menganggur. Dan saya lah pemakai selanjutnya. Saya merasa sangat keren dengan sepeda ini, karena pada saat itu belum banyak anak perempuan yang naik sepeda balap. Sayangnya tidak lama kemudian sepeda ini dijual Bapak karena mungkin dia pikir tidak cocok untuk saya. Padahal saya suka lho, karena pertama kalinya naik sepeda yang ada pemindah giginya.

Kira-kira tahun 1990 an awal, mountain bike mulai populer di kota saya. Banyak anak sekolah yang menaikinya ke sekolah. Saya jadi kepingin juga. Tapi sepeda biru saya masih bagus, alhasil Bapak tidak kunjung membelikan saya mountain bike. Saya punya trik jitu untuk ini, setiap hari saya bicara tentang betapa bagusnya sepeda gunung, bahkan saya pasang gambar nya di kamar. Lama-lama bapak saya risih mungkin hingga suatu siang saya diajak ke toko sepeda di dekat perempatan Tugu Madiun. Saya sangat senang karena boleh memilih sendiri sepeda yang saya mau. Kali ini saya pilih hardtail warna hijau tua metalik merek Diamond Back. Saya sebenarnya pada waktu itu ingin yang bermerek Federal karena yang paling populer tetapi harganya mahal. Kantong Bapak tidak menjangkau harga Federal, tetapi saya sudah cukup senang dengan yang saya pilih. Ketika di toko sepeda, saya terkagum-kagum dengan harga sepeda yang mahal-mahal seperti harga sepeda motor kala itu. Sepeda gunung inilah yang paling lama menemani saya. Pertama kali saya memakainya ketika SMP kelas 2 sampai lulus kuliah dan mencari kerja. Karena cukup lama bersama, cukup banyak pula insiden berdarah dengan sepeda ini. Meskipun begitu inilah sepeda kesayangan saya. Dengan sepeda ini pulalah saya hampir gegar otak dan patah tulang kering. Salah satu insiden berdarah yang paling parah adalah ketika kelas 3 SMP saya ikut latihan pencak silat. Latihannya malam hari. Saya selalu bersepeda ke tempat latihan seminggu dua-tiga kali. Jarak padepokan dengan rumah kira-kira 7 km. Ketika saya mulai masuk SMA, jarak bersepeda saya semakin panjang. Selain setiap hari bersepeda ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 5 km dari rumah, pulang sore hari lalu berangkat lagi latihan pencak silat. Pada suatu malam, seperti biasa saya berangkat menuju padepokan silat dengan sepeda dan bisa dipastikan dengan kecepatan tinggi supaya tidak terlambat tiba di padepokan atau harus menerima hukuman push up 10 kali. Saya melewati jalur yang setiap hari saya lewati, tetapi ketika saya melaju kencang di ruas jalan yang agak gelap tak jauh dari sekolah, tiba-tiba ada gundukan material didepan jalur sepeda saya ketika hendak menyalip sebuah becak dari arah kiri. Karena laju sepeda yang sangat kencang dan suasana gelap tidak sempat menghindar, terbanglah saya bersama sepeda saya dan mendaratlah pipi kanan saya dengan sangat mulus di atas aspal. Hal terakhir yang saya ingat saat itu adalah cahaya sangat terang, mungkin berasal dari lampu jauh sebuah mobil, yang membutakan sesaat sebelum saya menabrak gundukan pasir atau kerikil, lalu saya tidak ingat lagi. Ketika bangun saya sudah dikerubungi orang-orang. Hal pertama yang saya cari adalah sandal jepit, karena masih baru. Dan sepeda saya yang rusak setangnya bengkok, tapi untung tidak ada yang patah. Luka goresan aspal itu masih tersisa di pipi kanan saya sampai sekarang. Selain bekas luka, saya juga masih menyimpan sedikit trauma-- tapi lebih tepatnya dendam—pada pengendara motor atau mobil yang menyalakan lampu jauh tidak pada tempatnya dimalam hari ditempat tanpa penerangan. Itu sangat membahayakan karena menyilaukan orang yang berpapasan.

Diamond Back (bukan merek yang asli) hijau tua metalik saya ini paling setia menemani saya sampai saat saya lulus kuliah dan harus cari kerja. Pada masa-masa mengirim CV kesana kemari, sepeda inilah yang mengantar saya ke kantor pos setiap kali. Sebagai catatan, meskipun sejak SD saya sudah bisa mengendarai motor, saya tidak pernah mengendarai motor sendiri kecuali ketika kuliah di Malang, itupun karena pinjam teman. Apalagi Bapak saya pada waktu itu belum mampu membelikan saya motor baru. Selain itu saya tidak punya SIM :D Jadi sepeda lah transportasi utama saya meskipun sebagian besar teman-teman saya sudah beralih naik sepeda motor kemana-mana. Masa-masa puasa bersepeda adalah ketika saya kuliah di Malang dan di Solo. Itu hanya karena saya tidak punya sepeda di tempat kos. Tetapi hal itu tidak mematikan kesukaan saya bersepeda. Setiap liburan saya pulang ke rumah, saya selalu bersepeda kemana-mana ( karena ndak punya motor hahahaha....) Suatu ketika ada sepeda lain dirumah. Bapak membeli satu sepeda unta (Solo: pit kebo) milik pedagang beras yang sering mengantar pesanan beras kakak saya ke rumah. Waktu itu harganya Cuma Rp 125.000,- Hingga akhir hayatnya Bapak sering naik sepeda itu ke bank untuk mengambil uang pensiun atau sekedar gowes cuci mata. Saya kurang cocok dengan sepeda ini karena diameter rodanya yang sangat besar tidak sesuai dengan ukuran tubuh saya yang kurang tinggi ini. Saya jarang naik sepeda ini jauh-jauh, paling-paling di halaman rumah atau ke lapangan bola dekat rumah. Sayangnya sepeda ini akhirnya dijual kakak saya ketika Bapak sudah meninggal dan saya harus pindah ke Solo. Tak hanya itu kakak saya juga akhirnya menjual Diamond Back kesayangan saya hanya karena tidak ada yang memakainya. Sungguh sangat tidak paham sejarah! Lama sepeninggal Diamond Back hijau itu saya sempat vakum bersepeda karena tidak punya yang lain lagi.

Hampir 7 tahun saya tidak punya sepeda lagi. Tetapi disela-sela waktu itu, saya sempat bersepeda dengan sebuah sepeda hadiah dari kantor Bapak mertua saya. Sepeda 24'' warna merah model hardtail. Saya tidak bisa jauh-jauh memakai sepeda itu karena onderdilnya mengkhawatirkan, terlihat tipis-tipis. Jangan-jangan kalau dinaiki jauh-jauh bisa rontok semua. Saya hanya sebentar memakai sepeda ini karena akhirnya di preteli adik ipar saya dan tidak dirakit lagi. Setelah itu, saya berhenti lagi bersepeda karena tidak ada lagi sepeda di rumah mertua saya di Solo. Hingga akhirnya, Ibu mempekerjakan seorang Mbak Atik untuk bersih-bersih rumah setiap pagi. Dan Mbak Atik ini setiap hari naik sepeda. Kesempatan naik sepeda lagi nih...... Saya pun sering meminjam dengan dalih beli makanan buat sarapan Bapak mertua. Padahal saya cuma ingin bisa bersepeda lagi. Sepeda mbak Atik adalah sepeda mini seperti milik saya ketika kecil, tetapi berwarna biru dan agak besar. Bukan masalah, yang penting saya bisa bersepeda meskipun cuma pinjaman. Lalu suatu saat, saya dan suami saya harus mengontrak rumah disebuah perumahan di pinggiran sawah. Jarak kemana-mana tanggung, jauh nggak, dekat juga nggak. Kalau jalan kaki lumayan jauh dan harus melewati sawah yang panasnya minta ampun di siang hari, kalau naik motor terlalu dekat boros bensinnya. Solusi yang terbaik adlah sepeda sebenarnya. Tetapi karena keuangan yang belum stabil, maka baru setahun kemarin saya menemukan jodoh saya lagi. Saya bisa mempunyai sepeda lagi seperti dulu berkat arisan yang diadakan bersama teman-teman kantor saya. Sekarang saya di temani Polygon Monarch3. Bukan sepeda mahal apalagi canggih, tetapi cukup bisa membuat saya berkeringat dan muda kembali! Betul, muda kembali. Karena kalau saya pergi naik motor, saya selalu dipanggil "Bu", tetapi kalau lagi gowes anak STM yang lagi nongkrong didepan sekolah mereka pun bersuit-suit.... =D :P Dengan Monarch3 ini saya sering gowes ke kantor yang jaraknya cuma 8 km dari rumah. Lumayan basah kuyup berkeringat ketika sampai kantor, tetapi itu bukan halangan selama masih ada pedagang es degan yang buka di sepanjang jalur bersepeda dan toilet di kantor airnya lancar. Karena saya selalu mandi lagi ketika sampai kantor atau murid-murid saya akan pingsan semua. Sejauh ini tidak ada insiden berdarah dengan Monarch3 saya, hanya beberapa kali sport jantung karena pernah dipepet bis Mira yang segede gambreng. Diam-diam suami saya ter-racuni juga oleh kebiasaan saya ini. Akhir-akhir ini beberapa kali dia juga pinjam sepeda saya untuk liputan atau ke kantor dan mulai berpikir untuk memiliki satu lagi supaya kami bisa bersepeda bersama. Sinyal yang bagus untuk kedepan. Apalagi Solo sudah mulai disusupi toko-toko sepeda dengan koleksi yang bisa membuat penggemar sepeda gelap mata. Selain itu sudah bermunculan komunitas berbasis sepeda. Tetapi saya masih bermimpi ada jalur khusus bersepeda dari kota-kota satelit Solo menuju pusat kota Solo supaya kalau bersepeda ke kantor aman dan tidak perlu was-was disambar bis kota atau Sumber Kencono.

Sepeda itu laksana candu. Sekali mencoba pasti akan mengulanginya lagi dan lagi. Apapun alasan bersepeda bukan masalah. Jangan berpikir merek (tapi sebenarnya kalau punya yang bermerek ya lebih bagus =Q :D ) tetapi yang lebih penting adalah bersepedanya. Jangan berbangga karena bisa beli sepeda berharga mahal tetapi hanya untuk hiasan garasi dan pamer merek tetapi tidak pernah dinaiki. Sekali bersepeda, tetap bersepeda....

Senin, 02 April 2012

Harus berjudul apa ya?

Libur term kali ini membawa saya pada beberapa pengalaman yang tidak biasa. Saya berkesempatan mengunjungi dua teman lama saya semasa SD dan SMP. Dari mereka berdualah saya memperoleh wawasan lain, yaitu semangat dan motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan sepenuh hati. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan sekedar mendengarkan uraian motivasi dari orang-orang yang verbally smart.

Yang saya kunjungi pertama adalah Dian. Saya dan Dian bersekolah di SD yang sama. Kami sering menghabiskan waktu bersama baik di sekolah, kegiatan ekstra-kurikuler, atau kegiatan gila-gilaan khas anak-anak. Waktu berlalu dan kamipun terpisah oleh sekolah dan kegiatan yang kami jalani di kemudian hari. Terakhir bertemu Dian adalah ketika ia hadir di acara pernikahan saya tahun 2004. Waktu yang tidak sebentar hingga Kamis minggu lalu saya bertemu lagi untuk sekedar berbagi cerita. Selepas SMA, Dian tidak sempat melanjutkan kuliah tetapi hanya mengikuti kursus keterampilan yang membawanya menjadi seorang penjahit pakaian. Yang membuat saya kagum padanya adalah keuletannya mempertahankan toko tas warisan orang tuanya. Semasa kecil, saya sering membeli tas sekolah di toko Dian. Toko milik orang tua Dian itu kecil dan penuh dengan tas aneka model dan terletak di jantung kota tepat berseberangan dengan pasar besar kota. Tempat yang sebenarnya amat strategis untuk berdagang. Tetapi kehadiran mall dan toko-toko dengan modal besar mungkin membuat toko-toko semacam milik Dian ini tersisihkan. Boleh saja terpinggirkan, tetapi semangat Dian yang mewarisi toko ini sungguh mengagumkan. Saya melihat usahanya yang ulet untuk tetap membuat orang menginjakkan kakinya ke toko miliknya meskipun belum tentu membeli tasnya. Dian bercerita pada awalnya ia menambah usahanya dengan menjual pulsa telepon seluler, kemudian ketika ada yang menanyakan rokok maka ia pun menyediakan rokok. Sadar bahwa lokasi tokonya jauh dari pompa bensin, suaminya berinisiatif menjual bensin eceran di depan toko. Tak hanya itu, ketika warung sebelah kehabisan gas elpiji, Dian pun sudah siap dengan stok gas elpiji di belakang tokonya. Sungguh jeli Dian melihat peluang. Dari obrolan kami sepanjang 3 gorengan dan segelas teh, saya melihat sebuah perjuangan hidup. Mungkin bagi sebagian orang yang mendambakan kemapanan (menjadi kaya), apa yang dilakukan Dian tidaklah termasuk usaha yang bisa membuat orang hidup mapan karena mungkin mereka akan berpikir dari dulu tokonya begitu-begitu saja tidak ada perkembangan. Tetapi bagi saya mempertahankan adalah lebih sulit daripada membangun. Dan Dian mampu melakukan itu.

Teman saya yang satu lagi adalah Susan. Semasa SMP ia terkenal paling cerdas diantara saya dan teman-teman lain. Selain kemampuan akademisnya yang cemerlang, Susan memiliki bakat yang tidak semua orang memilikinya. Ia sangat terampil dalam hal membuat kerajinan apapun. Semasa SMP, Susan selalu mendapatkan nilai terbaik dalam bidang keterampilan. Ternyata inilah yang membuatnya sukses saat ini. Saya mengatakan sukses bukan karena ia punya usaha yang besar atau kaya raya. Tetapi lebih karena apa yang ia lakukan dengan keterampilannya ini. Lagi-lagi teman saya ini juga pintar menjahit. Sejak masih di bangku SMA ia telah membantu Ibunya menjalankan usaha jahit miliknya. Sama seperti Dian, Susan juga tidak sempat berkuliah. Susan sempat bekerja di sebuah lembaga milik pemerintah yang menurutnya sangat tidak produktif karena di tempat itu ia tidak memiliki tugas yang jelas. Kalaupun ada, misalnya membuat laporan proyek, kadang tidak jadi dipakai karena menurut atasannya masih salah. Dan lebih parahnya lagi, tahu ada kesalahan, atasannya tidak memberi instruksi untuk merevisinya dan hanya mengatakan biar saja salah. Karena Susan tidak mendapatkan kepuasan kerja di instansi ini, maka ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan melanjutkan usaha sang Ibu. Perjalanannya belum berhenti, ketika terjadi krisis tahun 1997, usaha jahitnya sempat seret. Tetapi bukan Susan kalau menyerah. Ia bersama ibunya membuat baju anak-anak dari kain sisa jahitan dan menjualnya dengan harga murah dan pastinya laku terjual. Sampai minggu lalu ketika saya berkunjung ke rumahnya, Susan masih setia dengan usaha jahitnya. Tak hanya itu, Susan membagi ruang tamu mungilnya, sebagian untuk mesin jahit dan perlengkapannya, sebagian lagi untuk toko kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Selama satu jam lebih saya duduk di sana, Susan melayani tak kurang 10 pembeli yang datang silih berganti. Keuntungannya mungkin hanya sebatas recehan, tetapi inilah kesempatan untuk mendapatkan lebih dari sekedar recehan. Sepanjang obrolan saya dengan Susan, saya menangkap sebuah mimpi besar darinya. Suatu hari ia ingin memiliki sebuah butik pakaian (Amin). Mungkin sekarang Susan hanya penjahit kampung, tetapi saya percaya mimpinya pasti akan nyata karena seorang Susan bukanlah seorang yang hanya bisa duduk diam.

Sepulang dari liburan, saya menghadiri kegiatan training leadership yang diselenggarakan lembaga tempat saya bekerja. Jujur saja saya tidak tertarik dengan acara seperti ini meskipun pembicaranya dari satu lembaga motivasi papan atas. Tetapi karena lembaga saya sebagai tuan rumah, saya mengalah untuk menghadirinya meskipun dengan setengah hati. Saya sengaja datang terlambat -- sebuah aktifitas yang hampir tidak pernah saya lakukan. Begitu datang di tempat acara, suasana gelap menyapa, hanya terlihat display dari LCD projector dan suara sang motivator yang dibuat-buat yang mengajak peserta membayangkan ini itu, kalau begini begitu maka bagaimana. Saya hanya mengikuti acara ini beberapa jam saja karena saya merasa tidak perlu mendapatkan suntikan motivasi, spiritualitas apapun namanya lagi. Hidup saya sudah normal, kerja saya baik-baik saja, spiritualitas saya tidak ada masalah. Saya tidak burn out, saya menikmati hidup saya. Saya masih banyak ide untuk melanjutkan hari-hari saya. Yang saya tangkap dari materi pelatihan ini adalah bagaimana tetap menjaga semangat kerja dan mencintai tempat kerja kita sehingga tidak berorientasi uang saja. (Lalu hubungannya dengan spiritualitas apa ya? Apa karena mencuplik dari ayat-ayat dari Al Qur'an lalu di-match dengan teori motivasi atau manajemen ? .....)

Wow! Kerja bukan untuk mendapatkan uang? Mulia sekali. Kalau saya setuju dengan ide tersebut maka saya munafik. Saya bekerja untuk mendapatkan penghasilan sebagai sarana untuk menjalani hidup. Kalau saya kemudian bekerja dan saya mau dibayar berapa saja, alangkah bodohnya saya. Buat apa saya sekolah tinggi kalau tidak bisa menetapkan standar diri. Boleh saja kita mencintai tempat kita bekerja tetapi bukan berarti kita "pasrah bongkokan" berapapun bayarannya tidak masalah. Itu konyol namanya. Saya rasa pelatihan itu salah sasaran. Yang membutuhkan pelatihan ini adalah mereka yang dalam struktur organisasi (kalau ada) berada di atas saya dan kawan-kawan saya. Mereka yang galau setiap akhir bulan karena harus mengeluarkan uang untuk menggaji karyawan. Mereka yang selalu galau karena berusaha mencari alasan supaya gaji saya dan kawan-kawan bisa dikurangi satu dua rupiah. Mereka yang selalu galau karena saya dan kawan-kawan selalu kehabisan kertas, tisu, atau tinta untuk mengajar. Sementara apa yang terjadi dengan saya dan kawan-kawan? Kami baik-baik saja, kami selalu punya ide untuk bersemangat menjalani pekerjaan kami. Kalaupun ada salah-salah hitung di akhir bulan, kamipun selalu berpikir positif; mungkin mereka yang diatas sana lagi sibuk jadi salah-salah. Besok-besok bisa direvisi, begitu pikir kami. Terlepas dari semua niatan mereka untuk mencurangi kami, kami selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dalam menjalankan tugas kami. Kami juga tidak pernah berusaha memotong waktu kami mengajar dengan alasan bayarannya salah hitung. Dari situ sebenarnya bisa dilihat siapa yang sebenarnya perlu diberi pelatihan anti-galau semacam itu? Apapun bentuknya saya rasa saya belum membutuhkan semua omong-omong tentang kecerdasan spiritualitas yang saya dengarkan beberapa hari lalu. Saya visual dan kinesthetic learner yang mampu belajar dari sekitar, jadi kalu cuma mendengarkan orang berbicara saja bisa dipastikan saya cepat lupa. Lebih banyak yang bisa saya lihat dan coba lakukan di luar sana daripada sekedar duduk mendengarkan suara yang kadang dibuat-buat supaya saya terhanyut dan meratapi keberadaan dan dosa-dosa saya. Dunia luar lebih nyata daripada sekedar membayangkan dan menuliskan misi ,visi, dan nilai hidup yang saya sendiri belum tentu paham apakah itu benar-benar diperlukan supaya bisa hidup lurus. Jadi menurut saya pelatihan ini lebih cocok untuk mereka yang setiap hari dikelilingi meja, komputer, kalkulator dan lembaran rupiah karena benda-benda itu tidak bisa melawan apapun perlakuan yang mereka dapatkan. Sehingga mereka yang diatas sana tidak jarang melihat apa yang sebenarnya terjadi di bawah sini dan diluar sana. Makanya mereka perlu merenungi dan kalau perlu meratapi dosa-dosa yang telah mereka perbuat atas saya dan kawan-kawan saya. Lumayanlah satu dua jam menangis diiringi suara yang dibuat-buat itu dan ilustrasi musik yang membuat merinding, meskipun akhirnya seusai pelatihan langsung lupa lagi.

Jadi, merdekalah Susan dan Dian yang selalu bersemangat dan tidak pernah risau di akhir bulan apakah harus mengeluarkan uang sedikit atau banyak. Beruntunglah mereka karena tidak pernah disangka kurang motivasi atau spiritualitas oleh atasan mereka, karena "they are the bosses themselves". Tolong di koreksi kalau ada yang salah.