Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Juli 2017

REUNION BLUES



REUNION BLUES
Pertanyaan-pertanyaan hahingan seputar reuni
(non-single mode)


Bulan Syawal gini, topik yang paling hot  dibicarakan dan dibuat update status adalah reuni. Ya, reuni atau kumpul-kumpul dengan teman lama.   Hampir semua akun teman-teman di sosial media mengunggah foto-foto mereka ketika bersua dengan teman-teman lama. Settingnya beragam, mulai dari yang sekedar kumpul-kumpul di warung lesehan sampai yang bertempat di sebuah convention hall dengan backdrop MMT segede gaban bertuliskan angkatan sekolah mereka. Bahkan ada pula yang dibela-belain pake seragam. Sangat menarik dan membahagiakan meskipun hanya melihat foto-fotonya. Pada dasarnya reuni adalah sesuatu yang membahagiakan asal tidak muncul pertanyaan-pertanyaan hahingan yang kerap muncul dan bikin baper setelah reuni.


Pertanyaan hahingan pertama yang biasa muncul adalah “Anaknya mana kok gak ikut?”. Itu belum seberapa hahingan sih, tetapi kalau kemudian berlanjut dengan pertanyaan ini,”Loh, belum punya momongan to? Emang udah berapa tahun nikah? Udah konsultasi kemana aja? Udah pake treatment apa aja?”. Huhuhu...hungguh hahingan orang yang bertanya sebanyak ini. Tapi kenyataan di luar sana banyaaaak orang yang seperti ini. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga banyak sekali pertanyaan yang harus saya jawab.  Dan pula, apa untungnya buat mereka tahu informasi pribadi sedetil itu. Cuma mau  bilang, “Yang sabar ya... nanti pasti diberi kok. Berdoa aja. Tetap semangat” ? Eh badala...sok tau pula. Kapan situ di kontak sama Tuhan kok tahu saya mau dikasih surprise. Kok tau juga saya gak pernah berdoa? Hmm.... Sebenarnya teman seperti ini perlu diapresiasi lho... Dia adalah teman yang baik karena memberi semangat kepada sesama temannya yang masuk kategori “difabel” ini.   Buat saya pribadi, sebisanya tidak bertanya topik ini ketika bertemu dengan teman lama siapapun itu.  Karena saya tahu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah tidak mudah dan tidak nyaman. Saya mengalaminya berulang kali. Kadang-kadang saya berpikir sebaiknya saya memakai sandal jepit kemana-mana, sehingga kalau suatu kali bertemu dengan kawan yang semacam ini langsung saja angkat itu sandal dan plaak!... Pedes khan? 


Biasanya di acara reuni, teman-teman seangkatan akan duduk bersama sementara anggota keluarga ada di satu bagian barisan yang berbeda.  Nah, kalau sudah gitu pasti akan akan ada pertanyaan,” Yang mana anakmu? Yang mana suamimu/ istrimu?” Pertanyaan yang cukup biasa, ringan dan tidak menyakitkan siapapun. Asaaaal....tidak diikuti pertanyaan ini,”Oh, itu anakmu? Kok beda banget sama kamu dan suamimu?” Hasyuuu... Daripada pusing-pusing dan bikin baper, jawab aja dapet beli di online shop. Titik.  Penting ya tahu asal usul anak saya? Mikir dong, kalau pertanyaan itu didengar si anak, sampai rumah bisa jadi dia akan bertanya,”Ibu, apakah benar saya bukan anak Ibu dan Bapak? Kata tante tadi saya gak mirip Ibu Bapak?” Lhoooh...bahaya khan? Jangan sampai muncul sinetron “Aku Mirip Siapa?”.  Belum lagi kalau pertanyaan kedua itu muncul,”Yang mana suami/istri mu? Yang itu ya? Kok kelihatan lebih tua dari kamu? Emang selisih berapa tahun?” Eeeeer, kapan-kapan kita ketemuan saya bawain KK dan surat nikah aja ya. Biar jelas semua. Kok ada ya yang tega bertanya seperti itu? Adaaaa.... Dan lagi saya mengalaminya juga. Teman saya yang mulia ini menanyakan mengapa suami saya terlihat lebih tua dari saya. Maunya saya jawab serius, tetapi dengan guyonan saya jawab aja, saya dikutuk awet muda. Parahnya, dia tidak cuma mengkomentari suami saya seorang , tetapi juga teman-teman yang lain.  Harap maklum juga sih, bojonya dia teman sekelas kami juga. Wajar dong kalo masih sama-sama terlihat “muda”. Tetapi dari nada bicaranya dia membanggakan suaminya lebih dari suami-suami teman lain. Ya iyalah... masak  mau membanggkan suami tetangga. Yang mengganjal di saya adalah saya bisa menerima itu kalau suaminya segagah mas Leonardo DiCaprio dimana semakin berumur semakin (*“cemakot”. Tetapi...yaah... kenyataannya standar aja tuh, skor paling 5-6 poin lah. Yang saya semakin tidak mengerti definisi dari “tua-muda”nya dia itu adalah selama kami bertemu dan bercanda dengan sesama teman lama, berulang kali dia menghentikan guyonan kami dengan sebuah kalimat,”Wis ah, wis tuwa. Wis ra pantes. Diguyu sing enom-enom ngko”. (Sudah...sudah. Kita sudah tua, tidak pantas. Nanti ditertawakan yang muda-muda”). Saya kemudian berpikir keras apa sebenarnya maksud dia mengkomentari suami saya dan beberapa teman kami terlihat tua. Asuudahlah... Tua muda adalah kata sifat yang sangat subyektif, tergantung generasi mana yang berbicara (*benerin kacamata plus).


Reuni kadang secara tidak kentara menjadi ajang unjuk bukti kesuksesan selama kurun waktu tertentu. Sukses dalam segala hal, mulai dari sukses menggaet gebetan semasa sekolah, sukses beranak banyak, sukses bertransformasi dari seorang tomboy hahindul menjadi mamah-mamah cantik nan menggemaskan, sukses dalam pekerjaan, dan masih banyak lagi.  Mungkin banyak yang mengatakan kalau kehadiran kami, saya, anda,  tidak untuk menunjukkan semua itu. Tetapi apakah mungkin kita datang di acara nan agung itu dengan wujud “awul-awulan”? Nggak mungkin khan?  Bisa-bisa kita malah ditangkap aparat karena memasuki area nan gemerlap dengan tampang yang ahsudahlah.  Suatu kali nun di sebuah acara reuni beberapa tahun lalu, tersebutlah sebuah percakapan antara saya dengan seorang kawan lama. “Eh, kamu tinggal dimana sekarang? Perumahan ya? KPR?” Dalam percakapan itu terceplos dari mulut saya bahwa saya masih punya kriditan KPR. Eh..badalah....komen dia apa coba? “Masak sih udah kerja 10 tahun lebih rumah masih kridit aja”. Astaga, saya tidak siap dengan kosakata pisuhan yang saya kuasai. Maka dengan santai saya jawab, “Yo maklum, sing mampu kredit ki biasane malah sing duite akeh”. (Maklum aja, yang mampu kredit itu cuma orang berduit).  Kalau dipikir bener juga lho, kita kredit sesuatu dalam jangka waktu sekian tahun, harga barang yang kita beli tersebut jadi berlipat-lipat kan? Duitnya banyak khan? Cumaaaannn...duitnya gak di kita. Itu aja. Hahaha...syu. Apapun alasan dia menanyakan dan mengkomentari saya sedemikian adalah dengan tidak langsung menunjukkan bahwa dia sudah selesai dengan hutang-hutangnya, sudah gak kridit-kridit lagi. Keren khan? Tapi buat saya, jaman sekarang hidup tanpa kredit itu seperti minum kopi pake cup Setarbak tapi isinya kopi sasetan beli dua dapat satu. Ngapusi luar dalam.  Hahaha...



Selanjutnya, pertanyaan hahindul yang biasanya muncul dengan spontan terutama di kalangan mamah-mamah adalah, ”Hey, kamu hamil ya? Kok badanmu gendutan? Wah, hidupmu makmur ya? Kamu kurus amat sih? Kamu kecapekan ya?” (**Demi merk netbuk saya dalam bentuk single!) Pertanyaan-pertanyaan  ini sungguh sangat ringan, tetapi sangat menyakitkan untuk dijawab sebagian individu.  Saya tahu maksudnya adalah membandingkan wujud fisik ketika dulu masih sekolah jaman the Smiling General berkuasa dengan sekarang jamannya The Working Vlogger. Ya jelas beda atuh Mamah... Dulu kurus kering karena malas makan.   Di rumah dipaksa makan dengan sayur bayam yang akhirnya tidak dimakan sementara mau jajan steak, burger , atau kue pastry hibrida milik para artis itu belum ada yang jualan.  Sekarang? Males makan sayur bayam, tinggal order online, makanan lezat bisa langsung datang ke depan pintu kita setiap saat.  Jadi beda ukuran ya wajar laaah...kalau tetap ukuran semula ngeri dong! Emangnya kita hidup di Neverland- negeri dimana bisa menjadi anak-anak selamanya-? Faktor  usia dan gaya hidup adalah salah dua yang membentuk fisik kita saat ini.  Jadi sangat tidak adil kalau ada yang mengkomentari bentuk badan seorang teman lama.  Helloo...maem banyak, males olah raga, umur sudah hampir 40, maunya langsing aja? Bagus. Ambil bantalnya sana.....


Terakhir, dan semoga pertanyaan ini tidak akan pernah muncul lagi sampai kapanpun.  Sebagian orang datang ke reuni dengan full squad, suami, istri, anak, cucu, kakek, nenek... Sebagian yang lain merasa baik-baik saja datang seorang diri. Saya adalah salah satu yang merasa lebih nyaman datang sendiri. Bukan karena apa-apa, tetapi lebih memberi kebebasan suami saya untuk ikut saya atau tidak. Kebetulan dia tidak tahan duduk diam lama-lama hanya mendengarkan ini itu, ya sudah saya biarkan dia jalan sendiri sementara saya ngumpul dengan teman-teman. Keadaan inipun menimbulkan satu pertanyaan dari seorang teman yang Alhamdulillaah sangat “perhatian” kepada yang lain. Karena ini pertanyaan yang sangat langka, maka diapun bertanyanya dengan bisik-bisik dan sangat rahasia. “Eh, kamu nggak “itu” khan?” Saya kurang tahu maksud dari  kata “itu”. Bertanyalah saya.  Ooooh...maksudnya dia tanya apakah saya masih “straight” karena saya hampir tidak pernah terlihat datang dengan suami saya di setiap acara, plus sampai kiamat hampir datang saya tidak juga menggendong satu bayipun.  Pertanyaan ini adalah satu yang tidak saya jawab, tetapi saya balik bertanya ke dia, “Menurutmu?”  Bener-bener baru kali ini saya mendapat pertanyaan yang sangat menohok. Saya memang tidak se-“chic” mamah-mamah yang lain, tapi Say,...guweh  tuh masih doyan cowok kaliiik....  Bukannya saya benci dengan mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, tetapi saya hanya berpikir apa untungnya teman saya ini untuk tahu itu. Sungguh hahingan, khan? Atau jangan-jangan dia sendiri naksir saya.... Setelah peristiwa itu, dia memutus pertemanan di sosial media. Badalaaaa....maksudnya bagaimana ya? Sudahlah. 



Ide tulisan ini muncul ketika saya membaca status salah satu teman di jejaring sosial.   Dia mengunggah status tentang mana yang lebih disukai, reuni besar dengan banyak orang bahkan yang mungkin dulu kurang kita kenal semasa sekolah atau sekedar kumpul-kumpul  dengan teman-teman dekat semasa sekolah.  Di satu sisi reuni memang membuat kita bahagia dengan mengingat masa-masa indah ketika dosa kita masih sedikit. Tetapi disisi lain reuni bisa berubah menjadi acara yang hahingan sekaligus hahindul kalau muncul beberapa pertanyaan diatas dari orang-orang dari masa lampau. Saya menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi juga. Jadi kalau ada teman-teman yang merasa berada di dalam cerita saya , mungkin hanya kebetulan saja. Kebetulan pertanyaanmu terpilih jadi ide tulisanku  maksudnya. Ra sah ge-er!! J (tur ojo mbok baleni, nggapleki you know!)



Akhirul kata, sebelum memutuskan menghadiri sebuah reuni atau kumpulan dengan teman lama, pastikan mengingat kembali  kosakata pisuhan atau sebaliknya kalimat-kalimat thoyibah, sehingga ketika muncul pertanyaan-pertanyaan tadi kita bisa kontrol diri kita sebaik-baiknya. Terima kasih.



Notes:
(*cemakot = sesuatu yang menimbulkan perasaan ingin menggigit obyek tersebut
(** mohon maaf hanya untuk guru/ mahasiswa Bahasa Inggris

Sabtu, 04 Februari 2017

AEROBIC

Aerobic
Kebenaran kadang muncul dari sesuatu yang tidak kita sukai.

 

Belum sah rasanya menjadi ibu-ibu kalau belum pernah ikut senam aerobic.  Awalnya saya tidak tertarik dengan olah raga satu ini karena beberapa alasan. Salah satunya adalah gerakannnya yang cenderung pendek-pendek dan terkesan cuma  mental-mentul. Iya kalau punya yang dipentulkan...lha kalau flat, apanya yang bisa mentul? STOP! (*Rasis itu! Bersimpatilah pada yang tipis-tipis.)

  Saya suka olahraga terutama yang bertujuan meningkatkan kelenturan dan stamina. Sejak beberapa tahun lalu, saya melakukan olahraga yoga, kadang di tempat latihan atau lebih seringnya melakukan sendiri di rumah.  Gerakan-gerakan yoga pelan tetapi langsung menyentuh ke pusat sendi dan otot. Menurut saya gerakan-gerakannya lebih efektif dibanding aerobic, meskipun sebenarnya tujuannya memang jauh berbeda.  Selain yoga, saya juga mencoba sedikit pilates, yang tidak jauh beda dimana otot-otot diregangkan secara maksimal untuk pembentukan tubuh. Saya menyukai dua olahraga ini bukan tanpa alasan. Sejak ABG (*eh...saya pernah ABG juga lho.. gimana sih?) saya sudah berlatih pencak silat dimana pada setiap latihan ada satu sesi latihan pernafasan yang gerakannnya beberapa mirip yoga dan pilates.  Jadi sangat mudah buat saya untuk melakukan yoga dan pilates dibandingkan aerobic karena di pencak silat kuda-kuda harus kuat, tidak boleh mental-mentul.  Hahaha....

Kembali ke aerobic.  Beberapa saat terakhir ini saya terpaksa mempelajari aerobic karena ibu-ibu PKK di perumahan saya lagi demen olahraga.  Jadi alasan saya mengikuti senam aerobic ini adalah supaya guweh  gaol ajah dengan tetangga yang mayoritas mahmud. Getoooh.... Awalnya saya dan satu orang mengusulkan yoga, tetapi karena tempatnya outdoor sepertinya tidak mungkin. Bayangkan  ber-savasana beralaskan plesteran semen yang ditumbuhi beberapa jumput rumput....  Mau usul zumba atau body combat atau core bare rasanya tidak mungkin juga, kantong kami ibu-ibu kelas rumah type 36 gak cukup buat bayar instruktur dari fitnessnya selebrity.  Alternatif lain adalah pingpong atau tenis meja.  Kami sudah punya meja pingpong sih...tetapi ingat, di lingkungan perumahan ada segregasi kegiatan berdasarkan jenis kelamin;   yang khusus ibu-ibu dan yang khusus bapak-bapak.  Buat saya, olahraga apapun tidak mengenal jenis kelamin, bahkan pingpong.  Tetapi menimbang “lingkungan” tempat saya tinggal adalah perumahan, yang semuanya berkeluarga, maka tidak etis kiranya saya main pingpong dengan bapak-bapak. Apa kata para mahmud itu ketika saya yang menuju senior ini dikagumi suami-suami mereka karena bisa main olahraga para lelaki.... Waaa bisa-bisa saya didepak dari keanggotaan PKK dong.... Baiklah, saya mengurungkan  niat bermain pingpong.  Setelah melewati percakapan seru, tercetuslah satu kata, aerobic. OK, OK. Saya harus belajar mental-mentul.   Lumayanlah, punya sedikit modal untuk  mentul tetapi sayang koordinasi kaki dan tangan saya masih serasa kacau balau...

Selain gerakan aerobic yang membuat saya agak-agak gimana gitu, musik yang dipakai mengiringi senam rasanya juga sedikit menganggu saya.  Umumnya  musik yang dipakai adalah musik dengan beat yang enerjik semacam musik ajeb-ajeb alias EDM.  Sayangnya kebanyakan yang diputar bukan electronic music yang asli, melainkan remix-an lagu-lagu populer yang kadang temanya mendayu-dayu. Menurut saya lucu sih... Lhah kita senam lompat-lompat dengan hati yang gembira,  tapi lagunya Tenda Biru yang nyanyi Desi Ratnasari, apa ndak jadi malah ngenes? Tidak tercapai itu sehat body and mind-nya.  Bener sih musiknya dibikin ajeb-ajeb... Tapi mau gak mau telinga ini dengar liriknya juga toh? Belum lagi musiknya selalu disetel dengan volume penuh... Badala...sebuah fakta yang sangat kontras bukan? Kenapa gak sekalian aja lagu dangdut koplo yang benar-benar enerjik dari pikiran. Aseloleeey!!! Jos! Dengan begini khan sehatnya bisa luar dalam, body and mind gitu kata penggila kebugaran. Tapi apa mau dikata, sekali lagi kami ibu-ibu penghuni tipe 36, dan saya khususnya, harus menerima kenyataan bahwa musik yang mengiringi senam kami cukup remix-an, bukan lagu-lagu Calvin Harris, Avicii atau David Guetta.  Asal bukan Slayer atau Soulfly aja... Bisa-bisa ibu-ibu malah moshing-mosing-an.  Akkhuuuh Horaaak Popooooh!! AAArrrgh!!!

Singkatnya, dari aerobic ini saya harus mengakui bahwa kadang kebenaran itu muncul dari hal-hal yang tidak kita sukai. Kenyataannya saya tidak suka aerobic, tetapi saya harus mengakui kebenaran bahwa dengan ikut-ikutan senam ini saya bisa lebih akrab dengan mahmud-mahmud tetangga saya.  Serta yang paling penting adalah saya mendapatkan kebugaran  meskipun dengan sengaja ataupun tidak ikut mendengar lirik lagu pengiring yang mendayu-dayu ditingkahi bunyi-bunyian ala EDM dan suara ethes mbak instruktur. 

..... tanpa undangan diriku kau lupakaaaan....
Ayo Ibu-ibu!!... Satu.. Dua.. Satu... Dua... Hap! Hap! Lebih cepat!

Rabu, 04 Januari 2017

KEMINGGRISEN



KEMINGGRISEN
(Maunya) terdengar keren, tapi....

Semenjak saya punya akun BBM, saya jadi sering mengalami “kebanjiran” informasi yang cukup deras dan kadang mematikan – handphone saya. Bagaimana tidak, aplikasi untuk berkomunikasi ini cukup sederhana dan “cepat”, dimana hanya dengan sekali sentuh kita bisa ganti status setiap menit.  Apalagi yang namanya akun milik Buibu seperti saya, setiap gerakan pun bisa dijadikan status BBM. “Aduuh...sambelnya pedes bingit, jadi pengin minum es”, dengan foto seperangkat makan siang yam geprek plus lalapan.   Satu menit kemudian, “Segarnya es degan bawah jembatan....” dengan foto profil yang sudah ikut ganti juga. Itu yang paling sederhana. Belum lagi kegiatan di rumah dengan dedek bayi mereka, suami mereka..... Bayangkan, misal di kontak BBM saya ada 10 orang yang ganti status tiap menit, sudah berapa banyak  informasi yang saya terima dalam satu jam? Bikin Hamblenger khan?  Gak heran kalau sa punya gadget pun ikut-ikutan teler.... Baru buka sebentar,  mak pet...


Bukan aplikasi BBMnya yang bikin saya resah, tetapi kosakata yang mereka pakai di statusnya. Sebenarnya ini tidak cuma terjadi di BBM saja, tetapi hampir di semua lini sosial media. Saya mengambil contoh dari BBM karena menurut saya aplikasi inilah yang sangat pas mewadahi mereka-mereka yang kebelet eksis “sak det sak nyet” (*instantly and immediately), yang bahkan raksasa sosmed Facebook dan Twitter aja masih kalah cepat dan kalah praktis.  


Suatu hari, saya mendapati satu status BBM tentang betapa seorang mahmud yang “adore” anak perempuannya.  Kurang lebihnya begini, “My inces hari ini cantik sekali....” .  Awalnya saya merasa tidak ada yang salah dengan status ini, tetapi insting seorang pengajar bahasa tidak bisa diabaikan  (*pengajar bahasa kucing).  Saya tertegun dengan penggunaan kata “inces”. WTF?? pikir saya (*Astaghfirullaah, saya misuh!)  Saya tahu si mahmud ini maksudnya bilang ,“my Princess hari ini  cantik sekali...”.  Yaaaayaa bisa dimengerti, maksud si mahmud menyesuaikan dengan dunia si anak yang kepayang dengan film-film prinses semacam Frozen atau Barbie.  Dan kebetulan si anak masih kecil, jadilah masih pakai babytalk.  Tetapi saya khawatir kedepannya si anak akan terbiasa dengan bunyi “inces” yang menurut mamah mereka artinya puteri.  Bisa jadi mereka akan berpikir itu sesuatu yang bagus, tentu saja semua akan berubah ketika si anak sudah belajar bahasa asing dengan seksama.  Yang lebih saya takutkan lagi, si mahmud merasa kurang keren dengan hanya menuliskan “inces”, bisa jadi suatu saat akan ada yang menambahkan huruf “t” di akhir kata. Oh tjiidaaaaaaakkkk!! .... (* sambil zoom in zoom out wajah). Coba deh, kalau punya kamus, cek artinya atau minimal tanya Mbahmu (Google ndez, Google!).   Ngeri bukan? Meskipun secara pronunciation, ada sedikit perbedaan bunyi satu konsonan di tengah, yang oleh para mahmud mungkin diucapkan “c” tetapi yang sesuai kamus dibaca “s”.  Jadi, siapapun yang membaca tulisan saya ini, tolong diingatkan itu mahmud-mahmud yang punya anak perempuan untuk menghindari “babytalk” istilah satu itu. Ngeri akibatnya, dan bisa jadi non-human banget, karena kucing saya melakukan itu!!! Plis...


Selain “babytalk”, yang populer disosmed adalah menggunakan kata-kata bahasa Inggris tetapi dengan logat (*tulisan) dibikin cadel (*eh mirip kali ya? Wis ben. Lanjut) Masih mending ditulis sesuai bunyinya, misalnya “good night” jadi “gut nait”. Itu masih bisa dikenali bunyi dan artinya. Lha tetapi kalau ejaan plus pengucapannya dua-duanya jadi beda? Itu baru jadi masalah. Ada satu teman di sosmed yang gemar menggunakan istilah-istilah bahasa asing yang di-Indonesiakan, misal edifikasi, klarifikasi dll.  Suatu ketika si teman ini update status, “Pagi plants. Semangat yaaaa...” Wow!! Saya terlonjak kaget, ternyata sosial media tidak hanya meracuni manusia, tetapi tumbuh-tumbuhan juga!! Terpujilah Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Mike Lazaridis, dan Jan Koum beserta seluruh pencipta aplikasi komunikasi semacamnya. Kini tidak hanya kita, anggota “animal kingdom”,  yang bisa menggunakanya, tetapi juga anggota “plant kingdom”!!!! Subhanallah!

Serius kaget saya....teman saya bisa dengan hangat menyapa tetumbuhan di satu pagi yang cerah itu.  Iseng saya komentari statusnya dengan hanya satu kata,”Tumbuhan?” Eh...sewot dia. Aduh jadi salah khan?  Dia lalu menjelaskan maksudnya adalah “friend”  atau teman.  Dia minta maaf karena gak bisa bahasa Inggris.  Tapi setelah saya rasa-rasakan bukan minta maaf ding, tetapi ngedumel menyindir saya yang secara intensif belajar bahasa asing ini. Tapi wis ben lah...  Maunya saya menyarankan kenapa gak pake kata “teman” “kawan”, atau kalau mau terdengar keminggris, “fren” gitu.  Tetapi saya urungkan niat itu, saya memakluminya. Kalaupun saya jelaskan secara detil, malah nanti sa dikira sok serius dan sok pintar, karena teman saya ini tidak belajar bahasa secara khusus. Yaaa sudahlah, akhirnya begini nih...malah jadi tulisan panjang dan teman saya masih kadang menggunakan kosakata nginggrisnya yang bikin puyeng pala dedi. Belum lagi nanti kalau dia tulis statusnya begini ”Good morning, Plants. Piss selalu untukmu”. Piss? Iyuh, emoh saya..


Jadi, sebagai seorang yang belajar bahasa asing  dan menggunakannya sebagai mata pencaharian, saya hanya bisa menyarankan kepada yang baca tulisan saya ini beberapa hal. Satu, jangan pernah salahkan sosial media apabila kemudian statusmu menjadi bulan-bulanan teman-temanmu hanya karena kamu keminggrisen. Jangan mau disejajarkan dengan Mas-mas yang berambut putih yang katanya dosen tetapi menyalahkan Facebook karena katanya video yang dia upload disebar-sebarkan oleh Facebook dan mengakibatkan pergerakan massa yang cukup massif tahun lalu. Dua, hindari menggunakan bahasa yang tidak kamu kuasai.  Apalagi mengadaptasinya ke lidahmu sendiri supaya terdengar lebih keren, padahal artinya jadi beda jauh.  Tidak ada salahnya belajar bahasa asing dengan caramu sendiri, tetapi ingat, kamu harus setangguh Mbak Artis yang posting foto ulang tahun Prinsesnya di  Instagram dengan caption bahasa Inggris yang a bit mawood. Dia dibully segenap netizen, tetapi tetep aja endhel binti menthel...  


Terlepas dari prinsip belajar bahasa asing yang berbunyi “Exposure does matter” (yang ingin tahu maksudnya apa silahkan hubungi nomer 0878367xxxxx, harga nego),  lebih baik menggunakan bahasa sendiri yang kita tahu betul artinya, tidak semata  biar terlihat keren,  bahkan untuk misuh sekalipun. Camkan itu.  Karena sesungguhnya keren tidaknya seseorang itu tergantung amal perbuatan.


Sorry for being  keminggrised, yes... I only follow follow you.
(Maaf sok nginggris ya, saya cuma ikut-ikutan situ)