Total Tayangan Halaman
Rabu, 14 September 2016
Kambing Blues Part-2 (Pak Osro continues....)
Kambing Blues Part-2
(Pak Osro continues....)
Di bagian satu Kambing Blues kemarin saya ceritakan tentang
huru-hara pembagian daging kurban yang melibatkan anggota masyarakat non-muslim
yang rumahnya dijadikan tempat pembagian daging kurban. Pagi ini saya kebetulan
bertemu dengan kawan-kawan dari grup WA yang kemarin beradu pendapat tentang
sah tidaknya daging kurban yang dibagikan dari tempat yang dipinjam dari
pemilik non muslim. Saya yang masih
penasaran akhirnya bertanya langsung ke Parto yang melihat langsung kejadian di
TKP. Sebagai sedikit pendahuluan,
kejadian ini pada dasarnya hanya pergolakan politik tingkat RT saja, dan
kebetulan melibatkan unsur agama.
Awalnya hewan kurban disembelih di areal masjid seperti
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk pendistribusiannya diserahkan ke salah satu
warga, sebut saja ibu Mukini, yang dalam susunan kepanitiaan adalah sebagai
seksi distribusi. Entah bagaimana
awalnya hingga tiba-tiba rumah bu Mukini tidak jadi digunakan sebagai tempat
distribusi. Selain itu juga terjadi perubahan sistem distribusi dimana
tahun-tahun yang lalu daging kurban diantarkan oleh panitia ke rumah semua
warga kampung XX, tetapi tahun ini warga mendapat pembagian kartu girik
pengambilan daging kurban. Parahnya ....
di kartu girik tersebut ada tanda tangan dan stempel pak Osro yang ternyata
tidak punya jabatan apa-apa di kampung XX dan telah dibagikan ke warga beberapa
hari sebelumnya. Lho piye jaaaal????
Usut punya usut, ternyata terjadi kekosongan pimpinan dalam
kepanitiaan. Pak Ketua Panitia ternyata eh ternyata sedang tindak ke Baitullah. Naaah....satu kesalahan sudah terjadi. Sudah
tahu beliaunya tidak berada ditempat ketika hari pelaksanaan kurban, mengapa
masih dipilih jadi ketua? Hallooo...warganya pada mikir apa aja sampe hal seperti
ini tidak dipikirkan. Bukankah seorang ketua adalah yang berhak memutuskan ini
dan itu? C’mooon.... tetapi sebelum lebih jauh, mari saya tunjukkan dulu
keadaaan dilapangan dan data demografinya. Kampung XX ini berpenduduk mayoritas
para pensiunan pegawai kantor. Catat, pensiunan. 60% penduduk aslinya adalah
pensiunan, sisanya adalah anak-anak mahasiswa kos dan pengontrak muda macam
saya, Parto, Wagino, dan Sumini. Jadi bisa dilihat disini bahwa yang namanya
pensiunan itu dimanapun menjalani hidup sehari-harinya
dengan selow, dan malas repot-repot,
cukup menikmati masa tuanya dengan santai.
Satu lagi mengapa kasus pak Osro itu bisa terjadi adalah karena para inhabitant kampung XX ini sudah pasrah
bongkokan ke panitia, tau beres aja.
Kembali ke perpolitikan tingkat RT... Karena terjadi
kekosongan pimpinan di panitia, maka wakil atau sekretarislah yang menggantikan
pak Ketua. Dari sini muncullah satu tokoh lagi yang ternyata eh ternyata adalah
tersangka nomor satu dari kasus ini, sebut saja bu Nyenuk. Ibu ini sudah hajjah, dan umroh berkali-kali,
orang terpandang di kampung XX karena koleksi rumahnya di kampung XX ini cukup
banyak. Beliau ini selalu tampil paling
depan disemua lini kegiatan, apapun beliau bisa. Nyanyi? Oke.... Senam? Ayo!
..... MC? Ha, kecil thok no!.... jadi kalau ada acara di kampung XX tidak perlu
menyewa MC, penyanyi, bahkan instruktur senam. Tetapiiiii ....saking aktifnya,
beliau ini sering “crossing the boundaries” ,yang bukan wewenangnya dibabat
jugak! Gile lu Ndro!.... Nah...menurut
seorang sesepuh kampung XX yang tidak termasuk panitia, bu Nyenuk ini ternyata
anggota sindikat kegiatan RT bersama dengan pak Osro dan beberapa orang lain.
Jadi setiap kegiatan yang memutuskan ini itunya adalah kalau bukan bu Nyenuk, ya Pak Osro. Horok..ngeri
tho? Sampai ada sindikat segala. RT lho ini...RT! Entah kalau levelnya
negara...kayak apa ruwetnya.
Kembali ke pak Sepuh ini yang adalah bapaknya si Parto.
Naaaah...menurut pak Sepuh ini, bu Nyenuk inilah yang menyebabkan kekacauan
pembagian daging kurban ini. Pak Sepuh menerima susunan kepanitiaan yang
menyebutkan bahwa bu Nyenuk tugasnya hanya mengiris daging, sementara
distribusi ada ditangan bu Mukini. Sekali
lagi, bu Nyenuk bukan wakil ketua ataupun sekretaris, catat. Akan tetapi...karena bu Nyenuk adalah orang
yang berpengaruh maka bu Mukini pun mundur ketika tugasnya diserobot bu Nyenuk.
Apalah daya bu Mukini yang hanya pemilik warung wedangan dibanding bu Nyenuk yang hobinya koleksi rumah dan pergi
umroh. Kebetulan hari itu Parto sedang
mengunjungi orang tuanya, dan pak Sepuh berkisah tentang kejadian tersebut,
berangkatlah Parto mencari sisik melik
insiden memalukan ini. Pertama Parto menanyai bu Nyenuk apakah benar tempat
pembagian daging kurban dipindah ke rumah pak Osro. Bu Nyenuk menolak menjawab.
Parto mulai meradang, pergilah ia ke ketua Ta’mir masjid dan bertanya apakah
benar keputusan memindahkan tempat pembagian daging kurban itu adalah kesepakatan
panitia. Pak Ketua Ta’mir menjawab bahwa hal tersebut adalah kesepakatan
panitia. Parto masih belum puas juga, dia kejar pak Ketua Ta’mir mengapa
pindahnya harus dirumah warga yang tidak berkepentingan, alias non muslim,
padahal 80% warganya adalah muslim dan sebagian telah berhaji. Kurang apa coba?
Akhirnya setelah Parto mengusut semua panitia yang
bersangkutan atas carut marutnya pembagian daging kurban, pembagian dipindahkan
kerumah bu Doyok yang muslim. Panitia
kemungkinan merasa kewalahan juga karena tidak satupun warga mengambil haknya di rumah pak Osro, yang
kebetulan Kristen itu. Setelah dipindah
ke tempat bu Doyok, beberapa warga mengambil haknya, tetapi beberapa masih
enggan dan terpaksa diantarkan ke rumah masing-masing. Warga enggan mengambil
bagian daging kurbannya karena harus mengantri dengan memakai girik buatan pak
Osro tadi. Selain karena faktor pak Osro pribadi, sangat kurang sopan kiranya meminta para warga yang sepuh
mengantri mengambil daging disiang hari yang terik. Jauh lebih baik apabila
panitia mengantarkan ke rumah para warga sambil silaturahmi. Setelah kekacauan pagi itu, pak Sepuh yang
bapaknya Parto mendatangi salah satu anggota panitia seksi purchasing (*beli hewan kurban), sebut saja pak Owi, yang pada saat
kejadian sedang tidak berada ditempat karena ada kepentingan. Pak Sepuh
menanyakan apakah benar kejadian pemindahan tempat pembagian daging kurban itu
adalah kesepakatan panitia dan ta’mir masjid.
Pak Owi menjawab tidak ada kesepakatan apapun, seharusnya semua
dilaksanakan seperti tahun kemarin dimana bu Mukini yang berwenang membagikan.
Oke. Jelas sekarang. Semua ini adalah kerja dari sindikat yang digawangi bu
Nyenuk dan Pak Osro. Sungguh TER LHA LHUH......
Dari kejadian ini saya bisa belajar bahwa beragama tidak
perlu dicampur-campur dengan politik.
Ini baru level kampung lho...cuma RT pula...sudah ruwet dan ricuh tidak
terkira. Ada banyak orang-orang yang “sakaw” kalau tidak tampil sehingga semua
diterobos, yang bukan wewenangnya disikat demi ketenaran dan keuntungan
pribadi. Hek cuih!.... Kedua, ranah agama adalah area sensitif, senggol bacok. Seperti ketika Parto yang kemarin langsung menyebut Kristen, bukan
pak Osro secara pribadi. Kekristenan pak Osro bisa jadi tidak terlibat disini,
tetapi nafsu beliau untuk tampillah yang membuatnya hoah- hooh saja ketika bu Nyenuk mencatut namanya. Kalau saja dari awal Parto menyebut pak Osro,
maka debat kami di grup WA akan berbeda topik, bukan lagi tentang agama tetapi
lebih ke politik per-RTan yang jauh lebih aman.
Untungnya, Parto yang sedang dalam proses penemuan spiritualnya lalu
berusaha meluruskan semuanya. Dan itu bagus karena ketika penyimpangan terjadi
tidak satupun muslim yang “cemuwit” (*bahasa
sederhananya speak up) semua tunduk
dibawah kata-kata bu Nyenuk. Tidak heran juga sih....mengapa semua diam. Balik
lagi ke faktor demografinya, mayoritas adalah warga sepuh pensiunan yang sudah
hidup nyaman. Buat apa mengurusi yang
rempong-rempong, bukannya sudah ada panitia. Biar semua diurus panitia, begitu
pikir mereka. Tetapi mereka juga salah
karena begitu tahu ada yang tidak beres, mereka diam. Sayang juga sebenarnya, padahal
hampir separuh dari mereka adalah mantan intelektual di bidang masing-masing,
dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika bu Nyenuk bersabda. Untung ada Parto muda yang masih merasa
bertanggung jawab harus mengembalikan semua tatanan sesuai syariah. Tetapi Parto juga harus berhati-hati untuk
tidak menunjuk agama lain sebagai salah satu penyebab kekacauan kemarin. Bisa
dimaklumi karena mungkin Parto sedang getol-getolnya mencari identitas
spiritualitasnya. Buat saya, Wagino, dan
Sumini, yang tidak terlibat secara langsungpun harusnya lebih cool menanggapi
pertanyaan panas dari Parto. Fiuh..... itulah beratnya hidup di dua alam, di dunia
sosmed dan di dunia nyata, harus seimbang.
Jangan mudah percaya dengan kata-kata dari sosial media karena si pembicara
tidak hadir diantara kita, dimana bisa jadi dia sedang mengadu domba. (*Wis
kaya Mata Najwa rung??)
Pelajaran buat saya pribadi adalah saya tidak boleh terlalu
reaktif dengan hal-hal panas semacam ini. Kemarin otak saya langsung
memerintahkan untuk nulis blog dengan judul Kambing Blues. Tetapi setelah tahu
kejadian sebenarnya, ternyata saya harus menarik simpati saya dari pak Osro
yang ternyata masih gitu-gitu aja, licik bin culas. Terlepas dari agama apapun
yang ia peluk, dengan ini saya nyatakan menarik simpati saya dari pak Osro. Dan
hal yang paling berat yang saya harus tanggung adalah saya merasa harus menulis
blog post ini demi meluruskan semua yang saya ceritakan kemarin..... Padahal
saya sudah lapaaaaaaar....
Alamaaakjooon.....rice cooker lupa
dipencet tombol ”cook”.
(*pingsan)
12:50
Nama-nama tokoh di
Kambing Blues dan Kambing Blues Part 2 saya samarkan demi kenyamanan semua.
Apabila ada yang mengalami hal yang sama seperti yang saya tuliskan diblog
entry ini, semua itu memang tentang kamu. Iyyya..... kamu....
Selasa, 13 September 2016
Kambing Blues
Kambing Blues
Aroma gurih
gule kambing, thengkleng, semur daging
sapi, dan masakan-masakan daging sudah menguar disegala penjuru sejak kemarin
sore, sementara saya baru saja mau mengeksekusi daging kurban dari mushola
dekat rumah. Karena saya tidak ahli masak-memasak daging jadilah konsultasi dulu
dengan ahli di dunia maya, Eyang Google. Saya mau masak tongseng. Tetapi
sebelum sowan Eyang, perhatian saya tertuju di notifikasi salah satu grup
WA. Setelah saya buka ternyata seorang
kawan mengutarakan sebuah pertanyaan tentang kurban. Si Kawan ini, sebut saja
Kumbang...eh jangan, Parto saja. Dia
mengutarakan sebuah kasus disuatu tempat telah terjadi pembagian daging kurban
di rumah seorang Kristen dan dia menanyakan pendapat dari kami para anggota grup
yang Muslim semua. Pertanyaan itu rupanya sudah sejak semalam dan belum ada
yang menjawab sampai pagi tadi. Lalu
seorang kawan lain, sebut saja Wagino, memberikan komentar.
Begini kurang
lebihnya isi chat di grup:
Parto: Menurut pendapatmu kalau daging kurban dibagikan dari rumah
seorang kristen itu bagaimana?
Wagino: maksudmu bagaimana? Si pemeluk Kristen ini ikut kurban?
Parto: Bukan. Rumah dia dipakai untuk menyalurkan daging kurban.
Orang-orang diberi kupon untuk mengambil kesitu.
(pause lamaaa..karena saya lagi menunggu mas Sayur yang berjanji
membawakan bumbu pawon hari ini) Sampai
rumah saya buka lagi chatnya, jadi penasaran nih....
Wagino: OOO Cuma tempatnya tho? Yo ndak papa, karena tidak mengganggu
tata cara kurban. Lagipula yang menerima daging kurban adalah semua orang,
bukan yang muslim saja. Jadi menurutku
bagus itu, karena toleransinya jalan.
Anggota grup yang lain hadir juga
akhirnya, sebut saja Sumini.
Sumini: Benar itu, wong yang jelas-jelas muslim aja belum tentu mau
rumahnya dipakai tempat mengurusi daging kurban karena takut bau kambing.
Parto: oooo jadi gitu ya? Tapi toleransi menurutmu dan menurutku
ternyata beda ya?
(Saya mulai gatel ikut chat)
Saya: Lha menurutmu gimana, Bos?
Parto: Jadi begini sodara-sodara, dalam Islam, daging kurban boleh
dibagikan kepada siapa saja termasuk non-muslim, tetapi pembagian sepenuhnya
diserahkan ke lembaga berwenang seperti masjid, dan komunitas orang-orang
muslim, termasuk proses mulai pembelian sampai penyembelihan dan pembagian.
Saya: Tunggu. You bilang yang jadi masalah tempatnya khan, Bro?
Sekarang gini, misalnya ditempat itu musholanya kecil gak punya halaman dan
warga muslimnya tinggal agak jauh dan mungkin enggan jadi tempat pembagian
daging kurban karena rempong, emang salah kalau kemudian ada warga beragama
lain yang berbaik hati menawarkan tempatnya untuk melaksanakan kurban?
Parto: oh pendapat kita beda ternyata. Tetapi menurutku kalo muslim
tentu tidak akan menolak kalau rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban.
Saya: Yakin gitu Bro? ....
(sebelum saya lanjut chat, Sumini menimpali)
Sumini: Lah? Kenapa pas rapat yang muslim diam saja? Khan gak mungkin yang non muslim ikutan rapat
panitia Idhul Qurban. Seharusnya khan
mereka yang mangajukan diri dong, kalau bener-bener muslim sih....
(Saya jadi tambah penasaran ini
insiden TKP nya dimana sih kok jadi panas diskusinya...)
Saya: Bro, ini kejadian dimana sih? Ditempatmu situ? Dan you belum
ceritakan apakah yang mengurusi semuanya adalah muslim dan hanya tempatnya saja
yang bukan milik muslim.
Parto: Ini kejadiannya di Kampung XX (dua aj Xnya kalo tiga
topiknya beda lagi nih...) Masjidnya
besar, punya lapangan dan joglo pertemuan, kenapa harus milih rumahnya non
muslim? Kalau mau netral ya bisa di lapangan atau joglo khan? Coba aku ikut
rapat aku pasti bersedia ketempatan deh.... Akibatnya kemarin banyak yang gak
mau ambil daging kurbannya.
Saya: Yakin? (tapi dalam hati saja, karena saya tau keadaan
rumahnya di lingkungan itu, tidak cukup besar juga.)
Setelah tahu tempat kejadiannya
saya sedikit kaget juga. Saya lama tinggal di Kampung XX itu, tetapi sekarang
tidak lagi. Selama saya disitu setiap
Idhul Qurban, semua pengurusan dari penerimaan hewan kurban sampai pembagian
daging dan memasak untuk para sukarelawan dilakukan dihalaman masjid tersebut.
Entah sejak kapan masjid itu tidak lagi digunakan untuk Idhul Qurban, padahal
sekarang masjid itu memiliki halaman tambahan yang sangat sangat ideal untuk
pelaksanaan kurban. Entahlah...apa yang terjadi pada panitianya kali ini.
Saya: Bro, gini yaaaa... kalo dulu pas rapat sudah tau itu kurban mau
dibagikan darimana, seharusnya ...seharusnya niiiih...gak usah ditawari pun
yang merasa muslim harus tunjuk diri. Jadi gak akan terjadi seperti ini, gak
akan ada kejadian menolak daging kurban. Ngomong-ngomong rumah siapa sih yang
jadi TKP?
Parto: Pak Osro itu lho... beberapa kali ditempat Bu Mukini, tapi
kemarin ini yang pindah ke tempat pak Osro.
Saya: (yang lupa-lupa ingat pak Osro) tapi kalo cuma tempat untuk membaginya saya kira tidak masalah sih,
tidak menganggu aturan kurbannya asal itu tadi yang bertanggung jawab dan
mengurusi harusnya muslim semua, karena ini hajatnya kita para muslim dan
terutama yang sudah naik haji.
Saya: (Cling!! Tiba-tiba sa ingat siapa pak Osro) Tunggu!!! Kamu bilang pak Osro? Omaigaaaaad...Bro! Orang-orang enggan
mengambil daging kurban kesitu bukan karena Kristennya Brooooo....ya karena pak
Osro ituuuuuh....Omaigaaaddd!!!!
Wagino: Wooooo...ngobrong dol Bro! ( Tiba-tiba muncul!) Kamu jangan nyebut agamanya doang dong! Bilang aja rumah pak Osro.
Beser...eh Beres. Case Closed. Kita semua tau siapa pak Osro itu. Lagian itu
panitia kurban jugak gak beres rupanya.
Parto: (masih ngeyel bahwa Kristennya yang jadi penyebab semua itu)
Lalu pak Osro itu orang apa?
Wagino: (agak jengkel juga kayaknya) Wong lemu! (orang gemuk; Pak Osro memang berbadan cukup
chubby)
Sampai disini
saya tidak tahan lagi melanjutkan chat karena tertawa terpingkal-pingkal
setelah tahu duduk perkaranya dan obyek yang dibicarakan adalah Pak Osro, yang well-known itu. Well,
sebenarnya saya tidak ingin membawa ke ranah personal tapi apa mau dikata,
obyek yang sedang dibicarakan adalah orang yang mempunyai karakter kurang
menyenangkan dan kebetulan saja beragama Kristen, yang jumlahnya kalah bayak
dibanding yang muslim di kampung itu.
Sedikit gambaran, pak Osro adalah seorang aktifis kampung, orangnya baik
tetapi selalu mempunyai motivasi lain dibalik kebaikan beliau. Sudah rahasia
umum kalau beliau ini suka memanfaatkan kegiatan apapun untuk keuntungan
pribadi. Agama yang dianutnya sama
sekali tidak menyebabkan pak Osro tidak disukai, tetapi perilakunyalah yang
membuatnya dihindari bayak orang. Kalaupun dia muslim tetap saja orang enggan
mendekatinya karena perilakunya yang licik.
Sekarang yang
menjadi perhatian adalah bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini yang cepat
sekali membakar. Parto mungkin terlalu men-generalisir keadaan, dengan menyebut
agama saja ketika menanyakan pendapatnya. Bisa jadi Parto sedang ikut tren
“yang beda agama, jauhi saja” . Pak Osro adalah hanya satu dari jutaan penganut
Kristen, kebetulan saja beliau punya perilaku tidak terpuji. Jadi bukan berarti semua orang Kristen
seperti pak Osro. Kedua, perlu
investigasi khusus untuk mencari tahu mengapa sampai masjid yang sebesar itu
dengan fasilitas komplit tidak dipakai untuk melaksanakan kurban seperti yang
telah lalu. Panitianya harus bisa
bertanggung jawab terhadap kejadian ini.
Mereka harus bisa menjelaskan ke warga apa alasannya mengalihkan tempat
pelaksanaan kurban ke rumah pak Osro. Mungkinkah (*baca dengan nada presenter
gosip, pliz) ... anggota panitia kurban adalah kroni-kroni pak Osro? Siapa saja
yang menjadi panitia juga penting untuk diketahui. Sulit memang untuk hanya
fokus ke WHAT tanpa tahu WHO nya. Dan yang tak kalah penting adalah, warga
muslim kampung XX sendiri. Mengapa
mereka diam saja ketika tahu bahwa pelaksanaan kurban akan dilaksanakan di
rumah pak Osro? Bukankah rumah mereka banyak yang lebih besar dan lapang
dibanding rumah pak Osro. Atau kalaupun takut rumahnya bau kambing, cukup
usulkan pelaksanaan kurban dilapangan atau joglo pertemuan saja. Mudah kan??? Lalu juga mereka yang sudah naik haji, mereka
juga diam saja? Kemana saja mereka? Tidak ingatkah mereka Idul Adha adalah hari dimana mereka pernah
berjuang di Tanah Suci ditengah teriknya sinar mentari gurun untuk hadir di
Baitullah. Mereka lupakan begitu saja setelah gelar Haji/Hajjah menempel didepan
nama masing-masing? Mungkinkah mereka terlalu gengsi, lha wong sudah haji kok
ikut memotong daging kurban, nanti khan tangannya bau kambing tujuh hari tujuh
malam....
Tetapi terlepas
dari apapun motivasi pak Osro bersedia rumahnya dipakai untuk mengurusi daging
kurban kita yang muslim, baik kiranya mengapresiasi sedikit atas apa yang
dilakukan pak Osro dimana pada saat yang sama tak seorangpun yang mengaku
muslim ditempat itu tergerak untuk menawarkan rumahnya menjadi tempat pembagian
daging kurban.
Ahssuuuudahlah.....saya mau masak
tongseng dulu. Eh....sowan Eyang dulu. Bumbu tongseng....enter.....
Voila! This is it!!!
Langganan:
Postingan (Atom)