(kata2 iklan apa ya? Lupa...pinjam sebentar )
Nun di sebuah kampung dekat tempat tinggal saya, tersebutlah
sebuah warung yang menjual menu-menu tradisional khas Jawa, khususnya makanan
Solo. Warung sederhana ini terletak di
tengah perkampungan, memiliki halaman yang luas, dan dulu ada sebatang pohon
mangga yang cukup besar di depannya sehingga kalau siang sangat teduh. Entah mengapa terakhir saya lewat pohon
mangga itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Ada kurang lebih 3 orang yang mengelola warung ini, Si Ibu, si Mbak, dan
si Bapak. Mereka punya tugas yang
berbeda-beda. Si Ibu dan si Mbak berada
di depan melayani pembeli, dan si Bapak mondar-mandir ke dapur membuat minuman. Setiap hari tepat jam makan siang, warung ini
selalu penuh dengan pembeli sampai-sampai ada yang mengantri dari jendela. Siapa yang tidak tergiur dengan tumpukan
gorengan yang masih hangat, bau segar khas bumbu lotek dan pecel yang berpadu
dengan aroma gurih kuah timlo dan
ketoprak. Saya kurang tahu pasti ada
berapa macam makanan yang dijual di sini, karena terlihat sangat banyak dan
pembelinya juga berjubel sehingga agak sulit mengamati dengan seksama. Belum lagi segala macam kerupuk, karak, dan
rambak yang bergelantungan di atas meja.
Sungguh suasana yang pas untuk makan siang, apa yang dilihat bisa
langsung disikat…..
Namun demikian, seumur hidup saya baru dua kali saya mampir
ke warung itu. Pertama ketika saya
penasaran mengapa warung ini sedemikian ramainya, dan kunjungan saya yang kedua
adalah ketika saya suatu hari ingin makan gado-gado dari warung itu. Saya belum merencanakan kunjungan saya yang
ketiga karena ada hal yang masih mengusik saya hingga detik ini, si Mbak
ternyata orangnya judes dan galak minta ampyuuuun cyiiin….
Saya kemudian bertanya-tanya mengapa bisa warung itu selalu
ramai padahal si Mbak yang jualan juga tidak begitu ramah. Entah pada saat saya makan ke warung itu si
Mbak lagi PMS, jadi maunya marah-marah terus.
Sampai-sampai pada saat itu, ada seorang bapak yang hendak pesan kena
bentak karena terlalu lama mikir mau makan apa. Bukan itu saja, selama saya mengantri gado-gado
saya, si Mbak melayani pembeli dengan muka cemberut dan berbicara dengan
ketus. Herannya, orang-orang yang beli
juga tampaknya tidak begitu terpengaruh dengan perilaku si Mbak. Saya agak keder juga sebenarnya,
sampai-sampai saya lupa tidak jadi beli
kerupuk, habis bayar saya langsung kabur.
Iiihhhhh…syereeeemmm….
Saya pernah membaca sebuah artikel tentang marketing atau
customer service atau apalah namanya.
Artikel itu mengatakan bahwa melayani pembeli itu harus dengan ramah dan
memberikan senyuman supaya pembeli tidak kapok untuk kembali lagi. Ada lagi satu teori tentang pentingnya
tersenyum yang menyebutkan bahwa kalau kita tersenyum, orang lain yang melihat
kita akan tergerak untuk tersenyum juga sehingga terbangunlah suasana
positif. Lhah, lalu?! Si Mbak tadi pasang muka galak dan jutek,
pembeli tetap saja berjubel dan dengan sabar mengantri. Bahkan para pembeli pun memberikan senyuman
termanis mereka kepada si Mbak yang tetap saja merengut. Lalu apa yang salah dengan teori-teori
marketing dan pelayanan dan psikologi itu?
Ini yang membuat saya selalu bertanya-tanya dan belum menemukan jawaban
yang memuaskan. Bukan sekali ini saja
saya menemukan bentuk pelayanan yang “menakutkan” tetapi disisi lain masih
banyak juga yang menggunakan jasa dari si penjual.
Saya kemudian berasumsi.
Satu, orang-orang yang beli di tempat si Mbak tadi adalah orang-orang
yang memiliki level kesabaran tingkat dewa dan selalu berpikir positif. Jadi
meskipun di aniaya secara audial oleh suara si Mbak yang ketus tetap saja mereka
dengan sabar mengantri. Tentu saja saya
adalah pengecualian, karena saya kabur dan tidak kembali lagi ..... Dua, orang-orang tersebut mendapatkan tempat
yang nyaman untuk mendapatkan makan siang atas nama jarak, karena beberapa pembeli yang
saya lihat adalah orang-orang kampung sekitar.
Tiga, mereka telah terpenjara rasa dan harga. Sekali kita merasakan suatu makanan yang
cocok di lidah tanpa membuat kantong hancur lebur , pasti kita akan kembali ke
tempat itu lagi tanpa memikirkan ini dan itu.
Rasa adalah raja, karena selalu akan membuat kita tunduk akan segala
keberadaannya. Orang mencari tempat
makan sampai jauh hanya karena apa? RASA.
Entahlah, apakah asumsi-asumsi saya itu benar atau salah,
saya tidak begitu peduli. Saya cuma ingin
tahu apakah pakar-pakar marketing dan pelayanan bisa menjelaskan fenomena ini,
bahwa rasa adalah segalanya terlepas dari siapa yang menciptanya.