Total Tayangan Halaman

Senin, 26 November 2012

Harus saya beri judul apa tulisan ini?


"Pemuda Indonesia Vs Pemuda Palestina"

Pemuda indonesia bangun jam 2 subuh buat nonton bola
pemuda palestine bangun jam 2 subuh buat sholat tahajud
.....................
Pasti tidak setiap Pemuda Indonesia seperti tadi. Apalagi pemuda2 Indonesia yang punya hati & jiwa untuk tidak mau berdiam diri melihat saudara2 nya di Palestina dibantai & dibinasakan.

Mereka pasti bergerak, walau hanya bisa dengan doa2.
Doa2 yang tulus & keluar dari kesadaran hati terdalam, yang insyaAllah akan di dengar Sang Maha Kuat & Maha Pemilik Semesta Alam, Aamiin Yaa Robbal'alamiin.

Cuplikan diatas berasal dari sebuah link yang di - shared oleh seorang kawan di sebuah jejaring sosial. Menarik dan cukup membuat saya berpikir. Apakah benar pemuda Indonesia hanya bisa seperti itu? Bisa bikin panas ini status! Untungnya kalimat-kalimat itu  ditutup dengan sebuah kesimpulan yang sangat bijaksana.  Akan tetapi link itu diawali dengan satu kalimat dari yang empunya account -- yang tidak perlu saya cuplik disini—yang bisa  memerahkan telinga kita sebagai orang Indonesia.  Sebenarnya kalimat itu yang sangat mengganggu, dan terkesan meng”gebyah uyah” (generalisasi).

Tidaklah adil apabila semua yang tertulis di status tersebut tanpa memberikan pengecualian.  Contohnya adalah kalimat penutup yang  mengingatkan kita akan apa yang jamak terjadi di sekitar kita.  Orang mulai tidak peduli dengan sekitar karena sudah merasa nyaman dan bangga dengan segala yang ada padanya.  Kalaupun kadang peduli dan ingin memberikan dukungan malah kadang berlebih a.k.a lebay.  Perbandingan – perbandingan di atas sangatlah kontras.  Tetapi apa mau dikata, keadaan  memang sangat bertolak belakang.  Mereka yang ada di Gaza, Palestina bertaruh nyawa setiap detiknya untuk membela negeri tercinta.  Apa saja ditinggalkan, demi mempertahankan negara mereka yang hendak diambil paksa.  Sementara, kita di Indonesia dikelilingi sumber daya melimpah dan perdamaian yang kadang ternoda oleh ulah bangsa sendiri.  Sudah saatnya kita sejenak melihat diri kita, sudah seberapa banyak kenyamanan yang kita punya sehingga kadang membuat lupa.
Kembali ke status update diatas.... ketika kemudian saya memberikan satu komentar bahwa kita tidak bisa memungkiri bahwa kita lahir sebagai orang Indonesia dan dijawab yang punya account bahwa kita tidak bisa memilih tempat lahir kita, warna kulit kita.... tetapi jangan pasrah, karakter bisa dibentuk, tetapi mau dan berani atau tidak? Begitu katanya.  Saya kemudian berusaha mencerna jawaban ini yang seakan-akan sudah sangat putus asa dengan apa yang terjadi di sini.  Saya jawab balik bahwa mau tidak atau berani tidak itu adalah masalah personal.  Cara berjuang kita dan pembangunan karakter kita sangatlah berbeda dengan saudara kita yang ada di medan perang Gaza.  Jadi sangatlah tidak adil ketika sebagian pemuda-pemuda kita diharapkan menjadi seperti pejuang disana, menggugat apa saja yang disangka mendukung penjajah tanpa tahu benar tidaknya.  Banyak yang berbuat lebih dari sekedar simpati.  Saya jadi terbayang mereka yang dengan sukarela membangun sebuah rumah sakit di Gaza dan bertahan di bawah desingan rudal yang bisa saja jatuh diatas kepala mereka setiap saat. Sebuah pengorbanan konkret yang luar biasa tanpa harus mengecilkan martabat bangsa sendiri.  Saya yakin mereka sangat bangga bisa melakukan itu dan saya sendiri juga sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan disaat negara lain tidak ada yang bisa melakukannya.  Juga mungkin mereka tidak akan terpikir menggugat siapapun karena yang ada hanya bagaimana menjalankan tugas mulia.  Kalaupun ada yang ingin membantu secara fisik ke medan perang, itu baik-baik saja tetapi bukan dengan angkat senjata, karena itu perang mereka.  Kalau kita ikut-ikutan angkat senjata disana apa bedanya kita dengan negara yang setiap hari kita hujat karena menyokong penjajahan?  Bolehlah secara fisik hadir disana, tetapi untuk membantu meringankan derita mereka seperti yang dilakukan 28 orang istimewa dari Indonesia yang bertaruh nyawa di Gaza. 

Saya membandingkan dengan mereka yang hanya berkata hancurkan ini hancurkan itu tanpa bisa membuat sesuatu yang nyata untuk membantu, bahkan malah kadang merusak obyek-obyek yang tidak berhubungan.   Saya tidak akan menghakimi mereka yang kemudian dengan berlebihan mendukung dan kemudian mengecilkan bangsa sendiri.  Karena dengan begitu mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka termasuk didalamnya.  Perjuangan kita disini juga sangat berat... Ketidakadilan, keserakahan, ke-tidak punya malu-an, kebodohan, ke-lebay-an, ke-ngawur-an harus diperangi.   Bukan dengan senjata tetapi dengan pembangunan karakter seperti yang diunggah kawan saya di komentarnya.  Tetapi jangan pernah tanyakan berani atau tidak, karena dengan begitu akan menunjukkan ketidakyakinan akan kemampuan bangsa sendiri.  Yang masih hedonis dan kapitalis biarkan saja, biarkan mereka menyiarkan kesenangan mereka dimana-mana.  Waktu yang akan menyadarkan mereka dan tentunya Sang Pencipta yang akan memberi pelajaran bagi mereka. Bukan kita yang harus memberi pelajaran  karena kita sekali lagi harus melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah terlepas dari cela sehingga berani menggugat mereka.   Janganlah cepat-cepat berprasangka.  Yang mungkin sehari-hari terlihat hedonis, kapitalis, atau is- is yang lain, siapa tahu dalam hatinya selalu memanjatkan doa untuk mereka yang sedang menanggung derita dan memberikan bantuan material tanpa sepengetahuan kita.  Menurut saya, berdoa atau bersedekah tidak perlu ada orang lain yang tahu, apalagi berdoa di jejaring sosial, karena itu adalah urusan kita dan Alloh saja.

Pemikiran saya ini muncul akibat jenuh melihat banyaknya respon terhadap apa yang terjadi di medan perang Gaza dan kadang terasa berlebihan, sampai-sampai berani mengatakan bangsa ini pecundang hasil dari didikan kapitalis hedonis mlekithis.  Mungkin pemikiran saya ini terkesan mengambang dan cari aman, atau malah ngawur.  Sebenarnya tidak. Saya sama sekali tidak aman karena dengan adanya pemikiran seperti ini, mungkin ada kelompok tertentu yang akan mengatakan saya liberal karena tidak mendukung semangat perjuangan mereka.   Liberal tidaknya saya, adalah urusan saya dan pencipta saya, tidak seharusnya orang lain menghakimi. Kalaupun benar ada yang mengatakan saya termasuk golongan ‘anu’ misalnya,  jawaban saya adalah seperti iklan rokok, yang mungkin juga termasuk produk kapitalis, “Go ahead”.  Saya hanya risi dengan sebutan mental pecundang dalam update status tersebut.  Bisa-bisanya menyebut pecundang atas bangsa sendiri.  Saya tidak menutup mata dengan semua yang terjadi di negeri ini, tetapi pilihlah kata-kata yang lebih pantas.  Sekali lagi, penutup yang cukup bijaksana dari penulis di situs tersebut bisa sedikit meredakan kedongkolan saya. 

Kedamaian dan peperangan adalah cobaan yang harus disikapi dan dihadapi dengan cara yang berbeda.  Bersyukurlah karena kita berada di tempat yang damai.  Bersyukurlah kita karena kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang sedang berjuang tetapi jangan pernah menyebut bangsa sendiri pecundang.  Perjuangan kita dan perjuangan mereka adalah jauh berbeda tetapi bertujuan sama, menumbangkan kebatilan.  

Rabu, 12 September 2012

Matah Ati , Pamedan Mangkunegaran Solo, 8-10 September 2012

The Beginning

Matah Ati berkisan tentang perjalanan cinta dan perjuangan pemimpin prajurit perempuan bernama Rubiyah ‘Matah Ati’ yang kemudian melahirkan garis keturunan Mangkunegaran. Rubiyah yang setelah dipersunting R.M.Said diberi nama RAY. KUSUMA MATAH ATI atau dikenal juga RAY. KUSUMA PATAH ATI. Nama beliau memiliki dua versi dengan arti yang sama yaitu Matah atau Patah yang dalam bahasa Jawa artinya melayani. Dalam hal ini, penulis memilih judul ‘Matah Ati’ berdasarkan pemikiran bahwa selain memang Rubiyah dilahirkan di desa Matah juga dapat memberikan kesan yang lebih positif daripada Patah Ati yang dapat juga diartikan sebagai patah hati (broken heart) yang sesungguhnya sangat berbeda dengan makna sebenarnya, yaitu ‘melayani hati sang pangeran’. 

“Matah Ati” adalah sebuah kisah perjalanan dan perjuangan cinta yang terjadi di Jawa pada abad ke-18 tentang gadis desa bernama Rubiyah. Beliau kemudian menjadi bagian dalam masa perjuangan R.M.Said melawan penjajahan Belanda di tanah Jawa dimana ia menarik perhatian seorang ksatria ningrat Jawa yaitu R.M. Said yang juga dikenal Pangeran Sambernyowo yang kemudian jatuh cinta kepadanya. 

The Prayer
Hingga 16 tahun peperangan dan pemberontakan usai dengan kekalahan lawan, maka jadilah Raden Mas Said menjadi Raja bergelar Mangkunegara 1 dan Rubiyah menjadi istri dengan nama RAY KUSUMA MATAH ATI karena lahir di desa Matah dan bisa juga diartikan ‘Melayani hati sang pangeran’, melalui beliaulah turun generasi raja-raja Mangkunegaran. 

Rubiyah, the Brave
Raden Mas Said adalah cucu dari Amangkurat 4, pada waktu itu hasil dari peperangan dan pemberontakan akhirnya menghasilkan perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.  Perundingan perdamaian itu  menjadikan kerajaan di Jawa terbelah  menjadi empat yaitu Kasultanan  Jogjakarta dan  Pakoealam  Jogjakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran Surakarta (Solo). Cerita  indah ini dirajut dengan tema cinta, belas kasih, keberanian, keputusasaan dan sukacita.
The Encounter
 ‘Matah Ati’ menampilkan keagungan dan perjuangan wanita serta merupakan suatu fakta historis bahwa pada abad ke-18 sudah ada pejuang- pejuang wanita yang tangguh untuk menumpas keangkara murkaan dan ketidakadilan. Dengan kata lain, peran Rubiyah tidak hanya menjadi seorang istri/ibu yang selalu berada di wilayah  urusan  domestik (rumah tangga) dan wanita tani yang bisa menarikan tarian Jawa, seperti Srimpi, Bedaya dan lain-lain; melainkan juga mampu mendampingi R.M.Said dalam  memimpin perang serta memimpin 40 prajurit wanita di medan perang layaknya laki-laki. (sumber: Siaran Pers Pentas Tari Matah Ati di Esplanade Theater Singapura , 22-23 Oktober 2010  http://lists.indymedia.org/pipermail/imc-jakarta/attachments/20100919/43650cc5/attachment-0001.htm)


Pada tanggal 8-10 September 2012, Matah Ati di pentaskan di kota asalnya, Solo,  tepatnya di lapangan Pamedan Mangkunegaran. Foto-foto ini diambil pada tanggal 9 September 2012, hari kedua pementasan di kota Solo.

The Admission




The Training with Raden Mas Said


The Women Army

The Battle

The Aftermath

The Wedding of RM Said and Rubiyah, the Brave

 Closing

Rabu, 15 Agustus 2012


Mencari Mudik



Seumur-umur, belum pernah saya menjalani mudik yang sebenarnya meskipun bertahun-tahun tinggal di luar kota kelahiran saya.  Beberapa kali saya mencoba menjalani percobaan mudik tetapi rasanya masih kurang greng karena jarak yang kurang jauh dan hampir selalu tidak tepat waktu.


Pertama kali saya melakukan percobaan mudik adalah ketika saya masih kelas 1 SMA.  Pada waktu itu saya dimudikkan orang tua saya ke desa nenek moyang saya di perbukitan kapur di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebelah selatan, yaitu Punung, Pacitan.  Waktu itu saya diantar almarhum ibu naik bis dari Madiun ke Ponorogo, lalu lanjut dengan bis kecil jurusan Ponorogo-Pacitan.  Seingat saya ketika itu hanya dua atau tiga hari menjelang Idul Fitri.  Bis Aneka Jaya yang saya naiki dari Ponorogo ke Pacitan sangat penuh sesak.  Penumpangnya beragam mulai dari penumpang swasta macam saya, pedagang, orang mau belanja ke pasar, ayam dan pisang yang mau dijual, sampai orang yang mau mencuci di sungai.  Bisa dibayangkan suasananya, baunya, dan suhu udaranya.   Menakjubkan....    Pada jaman itu hanya ada satu atau dua armada bis yang melayani trayek ini, yaitu Aneka Jaya dan Jaya.  Jadi kalau ada musim-musim seperti mudik atau liburan pasti penuh sesak.  Sampai di Pacitan saya harus masih naik bis lagi jurusan Pacitan- Solo, karena desa nenek moyang dari ayah saya terletak di jalur Pacitan –Solo dan hanya beberapa kilometer dari perbatasan.  Penuh lagi...... namanya juga mudik.  Sampai di desa saya bertemu dengan sanak saudara yang juga ada yang telah tiba dari kota-kota besar seperti Jakarta.  Meskipun saya sudah melalui perjalanan yang tidak mudah, tapi saya merasa ini belum bisa disebut mudik yang sebenarnya. 
Percobaan mudik kedua saya adalah ketika saya telah lulus kuliah dan bekerja di Madiun.  Waktu itu beberapa bulan setelah bapak meninggal yang didahului ibu sepuluh bulan sebelumnya.  Saya mencoba mudik sendiri kali ini karena saya berpikir buat apa di rumah toh juga tidak ada siapa-siapa lagi, hanya satu kakak saya.  Kali ini saya mudik ke Magelang, ke tempat kakak sulung saya.  Setelah sholat Ied dan khotbah belum usai, saya langsung kabur mengambil backpack saya dirumah dan berangkat dengan bis Mira AC ke arah Jogja.  Sepanjang jalan Madiun- Ngawi, saya melihat masih banyak warga yang menjalankan sholat Ied.  Tapi sayang, mudik kali ini terlalu mudah, bagaimana tidak bis yang saya naiki kosong melompong.  Hanya ada saya dan tiga atau empat penumpang yang turun di Jogja.  Seperti bis pribadi pokoknya. Saya duduk paling depan dan ngobrol dengan pak Sopir dan pak Kondektur yang terheran-heran dengan saya yang pergi sendirian di hari raya Idul Fitri.  Rupanya saya salah jadwal mudik, kalau pas hari-H ternyata tidak ada lagi yang bepergian.  :D Mudik yang gagal... karena terlalu mudah dan nyaman. Dari Jogja ke Magelang pun juga tidak terlalu melelahkan, saya naik bis jurusan Jogja- Semarang yang kebetulan berpendingin udara dan tidak terlalu penuh meskipun banyak penumpang.  Setelah percobaan mudik yang gagal itu sepertinya saya tidak melakukan mudik lagi.  Setiap hari Raya saya habiskan di rumah kakak laki-laki saya yang satu lagi.  Kebetulan dia tinggal di pinggir kota jadi masih ada tradisi berkunjung ke tetangga, lumayanlah masih ada suasana Idul Fitri.
Beberapa tahun setelah mudik gagal itu, saya menikah dan menetap di Solo sampai sekarang.  Di sini ada tradisi kumpul keluarga besar dari suami saya setiap hari raya Idul Fitri, tepatnya hari kedua. Keluarga besar itu memang benar-benar besar. Semua keluarga dari segala penjuru tanah air berkumpul di sebuah rumah di Kampung Gajahan, Solo.  Wow, pengalaman pertama saya mengikuti tradisi yang sangat baru buat saya.  Saya harus berkenalan dengan semua orang yang hingga saat inipun saya tidak ingat betul ini siapa itu siapa dari keluarga mana. Merekalah the true mudikers karena setiap tahun mereka bersusah payah melakukan perjalanan sangat jauh dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Tegal, bahkan seingat saya ada yang dari luar Jawa juga hanya untuk datang ke Solo dan bersilaturahmi dengan keluarga besar.  Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika bisa sampai di Solo setelah meniti jalan aspal berkilo-kilometer dibawah terik matahari. Tetapi untungnya mereka bermobil semua.  Karena ada acara tahnan ini, sayapun mengalah menunda mudik pribadi saya. Saya mudik setelah selesai acara, jadi ceritanya lebih parah....  Mudik melawan arus.  Bagaimana tidak, ketika orang-orang dari arah Jawa Timur balik ke barat, ke arah Jakarta, saya dan suami saya baru mudik ke timur.  Jadi tahun lalu saya tidak mudik ke timur, tetapi ke barat, ke Magelang ke rumah kakak sulung saya. Saya masih belum kapok mencoba mudik.  Saya berangkat setelah acara kumpul keluarga besar seperti biasa.  Kira-kira jam 4 sore dari arah Kartosuro saya menuju ke arah barat menuju Boyolali.  Sepanjang jalan saya beriringan dengan mudikers yang sudah mulai balik ke Jakartadan kota sekitarnya.  Saya mengambil jalur Selo – Ketep – Magelang.  Karena saya berangkat sore hari, alhasil saya sampai di Selo sudah senja dan mulai gelap.  Udara dingin pun mulai menyerang karena kabut sudah saatnya turun.  Tetapi saya menikmati perjalanan ini karena baru pertama kalinya melewati jalur ini di tengah gelap malam.  Agak seram sih, apalagi ketika bertemu penjual sate Madura di kegelapan jalan yang berliku.... tidak terjadi apa-apa cuma kaget dan heran.  Siapa yang beli sate ya? Padahal tempat berpapasan dengan penjual sate krincing itu jauh dari pemukiman.  Setelah habis jalur berliku, tibalah saya memasuki jalan raya Jogja –Magelang.  Banyak kendaraan di kedua arah, tetapi tidak macet.  Saya hanya semalam di Magelang, esok siangnya saya harus kembali ke Solo.  Atas rekomendasi keponakan saya, saya mencoba jalur Kopeng.  Jalur ini baru buat saya, tetapi pernah sekali ketika saya masih kecil saya naik bis lewat jalur ini.  Sepanjang Magelang – Kopeng – Salatiga tidak ada masalah berarti, jalur cukup lancar. Begitu lepas jalur berliku itu, tibalah saya di arena kemacetan luar biasa sepanjang Salatiga – Ampel, Boyolali.  Dua arah jalan sulit bergerak. Kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk bercampur dengan motor dan mobil pribadi yang berebut jalan.  Saat itu kira-kira jam dua siang, bisa dibayangkan rasanya, panas terik dan debu yang beterbangan.  Macet itu berlangsung sekitar 10 kilometer lebih, sampai motor harus turun ke bahu jalan yang terbuat dari tanah sehingga makin kental debu yang berhamburan.  Beberapa pemuda setempat menawarkan jasa jalur alternatif melewati jalan desa. Dari yang saya temukan di ujung macet, saya tidak menemukan kejadian apa-apa yang menyebabkan macet.  Lalu kenapa bisa macet ya?  Lepas Ampel, Boyolali, jalur mulai ramah lagi balik menuju Solo.  Tetapi saya belum juga menemukan the true mudik.



Setiap tahun orang dari segala penjuru melakukan mudik ke kampung halaman. Mengapa?  Apa yang dicari? Terlepas dari agama apapun, mudik adalah masalah spiritual.  Orang mengejar kepuasan rohani dengan menembus belantara macet di atas jalan raya. Macet, panas, kendaraan mogok , kehilangan, akan terbayar sah ketika sampai di kampung halaman.  Tidak ada yang bisa menukar rasa ini.  Bertemu dengan keluarga yang lama tidak berjumpa, berbakti kepada orang tua, bertukar cerita, ngemil makanan nenek moyang, adalah secuil dari proses mudik.  Tidak usahlah berpikir negatifnya mudik, yang kecelakaanlah, yang jauhlah, yang pamerlah, yang tidak ada tuntunannya dalam agamalah....  Pikirkan saja apa yang bisa didapat dari sebuah perjalanan spiritual ini.  Mudik adalah tradisi yang dimiliki semua orang, tidak terbatas orang muslim.  Kalau ada yang mengatakan mudik tidak ada dalam syariat, biarkan saja. Saya pikir tradisi dan syariat adalah hal terpisah.  Kita tinggal di tempat yang berbeda pasti punya kebiasaan yang berbeda. Tidak bisa disamakan satu tempat dengan yang lain.  Kalau di negara Arab sana lepas sholat Idul Fitri langsung balik kerja, biarkan saja karena mereka tidak punya tradisi seperti kita.  Kalau ada yang berusaha menghapuskan tradisi ini, itu adalah orang yang telah mati rasa, terlepas dari apa yang dipercayainya.  Mudik adalah milik kita.
Jadi, selamat mudik Kawan-kawan. Hati-hati di jalan.  Semoga Selamat sampai tujuan.

Minggu, 15 Juli 2012

WASPADALAH... WASPADALAH!!!!


WASPADALAH... WASPADALAH!!!!


Berhati-hatilah kalau kamu seorang perempuan yang suka bersepeda atau jalan-jalan sendirian.  Penjahat cabul masih ada dimana-mana. Tak peduli pakaian yang kamu kenakan atau penampilan fisik kamu, pikiran kotor itu selalu ada dalam otak mereka. 
Beberapa jam yang lalu saya mengalaminya sendiri. Saya tidak sedang dimana-mana, hanya 10 meter dari rumah.  Saya pulang dari membeli sarapan dengan naik sepeda lipat.  Hari-hari kemarin saya juga selalu melakukan hal yang sama hampir setiap pagi dan tidak pernah terjadi apa-apa. Tetapi pagi ini kesialan sedang menimpa saya.  Di sebuah tikungan 20 meter dari rumah, saya berpapasan dengan motor yang dikendarai oleh seorang ibu. Sayapun melambatkan laju sepeda saya dan berbelok. Dari arah belakang, ada sebuah motor dengan laju yang lambat. Saya masih tenang-tenang saja ketika motor itu mengikuti dibelakang , sayapun agak minggir memberi jalan.  Saya berpikir itu adalah salah satu teman saya yang tinggal di perumahan sebelah yang suka menyapa saya ketika bertemu di jalan. Saya masih belum berpikir apa-apa ketika motor itu hendak menyalip saya. Tapi jarak motor dan sepeda saya sangat dekat sehingga membuat saya menoleh untuk melihat siapa pengendaranya. Belum penuh kepala saya menoleh, tangan terkutuk pengendara motor itu sudah melayang ke dada saya dan sempat mencubit. Whatta @$$%m^&*()*&^%#@!!! Sekejap darah saya melonjak naik ke ubun-ubun. Saya marah  dan jengkel luar biasa! Maksud hati ingin mengejar dan menghajarnya tapi sayang ketika itu saya hanya naik sepeda lipat, mengejarpun tak akan ada gunanya hanya akan melukai diri sendiri.  Saya hanya bisa berteriak “Maling...Maling.....! sekuat tenaga disertai kosa kata segala macam nama binatang dan kata-kata “suci” .  Sialnya saat itu tak ada siapapun yang bisa menolong saya.  Hanya ada satu bapak yang sedang memperbaiki mobilnya tak jauh dari rumah yang kemudian bertanya kenapa, satu lagi bapak yang juga bertanya kenapa, dua orang pesepeda yang kebetulan lewat, seorang ibu tetangga, dan beberapa anak kecil yang terbengong-bengong melihat tante cantik mereka bersumpah serapah. Sialnya lagi suami dan beberapa warga sedang kerja bakti membersihkan masjid yang agak jauh dari rumah sehingga suara sumpah serapah saya tidak terdengar oleh mereka.  Rasanya darah saya mendidih karena saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan penjahat primitive itu. Hanya sumpah serapah dalam hati dan kutukan-kutukan tujuh turunan yang bisa saya mohonkan dalam hati. D A M N!  Saya tidak bisa mengingat wajah pelaku karena mengenakan helm hitam. Yang saya ingat hanya motor yang dinaikinya, Honda Grand 1994an, jaket kulit hitam lusuh, dan celana pendek. Pelaku berperawakan kurus. Nomor polisi motornya pun tidak terdeteksi karena sudah buram dan pelaku melaju kencang ke arah jalan pintas ditengah sawah setelah saya berteriak-teriak.  Satu pengalaman yang membuat saya sangat jengkel, karena baru kali ini saya mengalami pelecehan dan tidak bisa melawan. Sebuah pelajaran penting untuk lebih berhati-hati.
Pelecehan seksual sebenarnya bukan semata-mata kesalahan satu pihak saja, laki-laki atau perempuan. Buktinya saya perempuan dengan pakaian tertutup masih juga menjadi korban. Sementara sebaliknya gadis-gadis pengunjung mall yang kadang berbaju kurang bahan aman-aman saja.   Lalu salah apanya? Salah siapa?  Masih juga menjadi perdebatan. Tidak usahlah menyalahkan si ini si itu sampai demo-demo segala yang penting adalah bagaimana kita bisa melindungi diri sendiri ketika tidak ada yang bisa menolong kita. Mau berpakaian mini, silahkan saja asal mau menerima konsekuensinya dan syukur-syukur bisa melawan ketika mengalami pelecehan.  Dan kalau memutuskan untuk menutup aurat, jangan setengah-setengah, perilaku bahenol juga harus dihilangkan.  Percuma tertutup kalau masih kegatalan..... :D.  Cobalah tengok kembali kasus-kasus pelecehan dengan korban perempuan yang tidak lagi muda dan mungkin tidak lagi bahenol. Apakah mereka menjadi korban karena pakaian dan penampilan mereka? Saya rasa tidak.  Otak pelakulah yang sakit. Otak mereka hanya penuh dengan hal-hal kotor dan menyakitkan. Entah darimana mereka mendapatkan sampah yang mereka selalu simpan diotak seumur hidup.  Mereka puas ketika orang lain merasa sakit dan menderita.  Sulit untuk mengatakan siapa yang berperan atas kerusakan otak mereka karena akan melebar ke banyak hal. Pendidikan? Keluarga? Agama? Lingkungan? Teknologi?  Insting dasar? Gender? Sebutkan saja.... semua bisa menjadi penyebabnya. Tidak usah menyalahkan gender karena semua berpotensi menjadi pelaku meskipun hanya dalam batas minimal, pelecehan secara verbal misalnya, meskipun insiden dari pihak sebaliknya jarang terangkat karena mungkin korban malu atau jangan-jangan malah menikmati :D   Hanya satu yang bisa mengurangi bahkan menyembuhkan kerusakan otak tersebut, kontrol diri.  Semua orang memiliki kontrol diri, hanya saja satu dengan yang lain berbeda kekuatannya. Sekali lagi banyak faktor yang mempengaruhinya. Undang-undang apapun tidak akan bisa menghentikan pendosa-pendosa itu selama mereka masih mengalami kerusakan otak. Karena saya bukan ahli psikologi, hukum, atau agama, apalagi saya bukan feminis, maka saya tidak punya jawaban atas apa yang harus dilakukan untuk melindungi korban dari kelakuan terkutuk para penjahat primitive.  Saya hanya berusaha supaya saya sendiri tidak menjadi korban mereka, kalau saya bisa menolong orang  lain atau syukur-syukur bisa menghajar dan membuat jera para penjahat cabul, itu hanya bonus saja.
Saya hanya bisa berbagi apa yang sering saya lakukan ketika saya sedang tidak dalam perlindungan orang terdekat. Pertama, jangan pernah kosong pikiran dimana saja, melamun misalnya.  Ketika saya mengalami kejadian diatas, saat itu saya sedang melamunkan sebuah sepeda bagus yang beberapa saat lalu berpapasan dengan saya sehingga saya tidak waspada. Kedua, selalu waspada dengan orang yang ada diluar jangkauan penglihatan kita, dibelakang atau samping kiri kanan.  Berpikir positif itu bagus, tetapi waspada itu lebih penting.  Kalau orang itu mendekat dan kita merasa tidak nyaman, ikutilah perasaan kita. Menjauhlah.  Kalau tidak memungkinkan, siap-siaplah dengan segala kemampuan untuk melawan. Jangan terlihat takut.  Ketiga, narsis atau ingin menjadi pusat perhatian itu manusiawi, tatapi bersiaplah dengan konsekuensinya. Pakaian yang kita pakai dan cara kita membawa diri  kadang menarik perhatian orang lain, apalagi kalau terlihat beda.  Lagipula siapa sih yang tidak senang di perhatikan? Dicelah itulah pelaku kejahatan biasanya memanfaatkan. Karena terlena dengan pandangan kagum yang lain, yang bermaksud jahat dan sudah mendekat bisa-bisa tidak terdeteksi.  Tadi saya mungkin juga salah, belanja ke warung bersepeda adalah hal yang jarang dilakukan ibu-ibu di perumahan saya, saya merasa berbeda dengan apa yang selalu saya lakukan setiap hari.  Atau mungin  pelaku tertarik dengan jaket bulukan saya, sehingga penasaran ingin memegang jaket saya kemudian kebablasan? Kalau ini edan namanya..... Mungkin pelaku sudah pernah melihat saya sehingga tadi pagi memutuskan untuk mengeksekusi saya  karena kebetulan suasana sepi.  Tetapi mungkin juga impulsif, lihat langsung sikat. Itulah hebatnya otak penjahat, bisa bekerja dengan cepat.  Keempat, manfaatkan suara keras kita untuk melawan kalau melawan secara fisik tidak memungkinkan. Meskipun kemungkinan pelaku tertangkap kecil tetapi paling tidak ada orang yang mengetahui.  Tidak usah malu kalau kita bukan penyebab kita sendiri  menjadi korban.  Kalau ada yang menolong, alhamdulillah. Tetapi kalau kejadiannya seperti saya tadi, ada orang yang melihat tetapi hanya terbengong-bengong, ya resiko.  Hidup itu penuh resiko, tidak mau menghadapi resiko mati saja. Terakhir, jangan lebay. Tidak perlu menangis tersedu-sedu karena dicolek penjahat cabul.  Marah, jengkel, trauma itu biasa dan bisa diatasi. Selanjutnya, hadapilah tantangan menjadi perempuan dengan berani dan bijak. Hanya kita yang tahu harus bagaimana supaya tidak menjadi korban. Kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya tetapi karena ada kesempatan.  Waspadalah, waspadalah!

Rabu, 27 Juni 2012


HARGA DIRI DI ATAS RODA


Bagaimanakah rasanya ketika anda sedang melaju di jalanan di atas moda transportasi impian anda? Apa rasanya ketika banyak mata memandangi kendaraan anda dengan kagum ketika anda berhenti di traffic light? Apa yang ada di pikiran anda ketika melihat sesama pengguna jalan yang naik kendaraan yang tidak lebih bagus daripada milik anda? Pasti akan timbul efek “WOW”...

Saya juga pernah merasakan itu. Jauh sebelum saya punya kendaraan baru, saya terbiasa menunggangi kyai Kebo Ijo, Honda SuperCub 1982, kemanapun saya pergi.  Banyak yang kagum dengan tunggangan saya itu. Entah kagum karena sudah tua masih bisa jalan, atau kagum karena betapa jaman sekarang masih ada orang yang tidak mampu beli motor baru. Itu dulu. Sekarang saya harus naik si Hijau yang lain karena sang Kyai sudah uzur, betapa tidak umurnya hanya selisih beberapa tahun dengan saya. Kalau saja ia masih sehat saya pasti masih setia bersamanya. Dengan si Hijau yang baru ini, pertama kali naik rasanya memang wow! Maklum seumur-umur baru kali ini saya beli motor baru.  Tetapi satu dua hari saya merasa itu bukan lagi sesuatu yang istimewa.  Buanyaaaak sekali orang lain yang bisa membeli seperti milik saya, bahkan yang jauh lebih bagus dan lebih mahal dari milik saya. Bahkan orang-orang yang sehari-harinya bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu banyak yang memaksakan untuk membeli satu motor baru.  Saya beberapa kali melihat kenyataan itu. Ketika melewati rumah-rumah kos kelas bawah, yang terkesan kumuh, disitu terparkir motor-motor keluaran terakhir yang sangat kinclong. Padahal saya melihat anak-anak penghuninya dekil dan tidak terurus. Pernah suatu kali saya sedang bersepeda dan melewati sebuah rumah yang jauh dari yang namanya bagus atau terawat, didalamnya terparkir sebuah motor matik yang harganya hampir dua kali si Hijau. Setahu saya penghuninya bukanlah orang yang bekerja kantoran atau yang kerjanya membutuhkan kendaraan. Sebenarnya bukan apa pekerjaan si pemilik motor itu yang jadi masalah, tetapi lebih karena apa tujuan utama ia memiliki motor itu.

Menurut saya, jaman sekarang tujuan banyak orang memiliki kendaraan itu bukan lagi murni hanya karena membutuhkan alat transportasi pribadi tetapi lebih karena HARGA DIRI. Dengan naik kendaraan itu, orang lain yang melihat tidak akan tahu apa dan siapa dia, yang jelas tunggangannya baru dan, kalau untung, sedikit berkelas. Dengan begitu ia tidak akan dipandang sebelah mata oleh pengguna jalan yang lain.  Lain halnya kalau ia hanya naik kendaraan keluaran 10-30 tahun yang lalu, tak akan ada yang meliriknya sekalipun ia sebenarnya seorang berpunya.

Jangan senang dulu.  Motor baru bukan berarti harga diri sudah tinggi dan bukan jaminan tidak di “bully” pengguna jalan yang lain.  Harga diri di jalan tidak hanya ditentukan apakah kendaraan anda baru atau tidak, juga oleh jumlah dan ukuran roda!  Tidak percaya? Coba naiklah sepeda sekali waktu. Rasakan bedanya ketika anda naik motor atau mobil, atau malah kalau perlu truk tronton.  Di atas roda mana anda merasa berkuasa? Pasti di atas roda yang lebih besar dan lebih banyak.  Ketika anda naik sepeda yang beroda paling kecil dan paling sedikit diantara moda transportasi, motor, mobil dan kendaraan lain akan dengan semena-mena menyalip bahkan memepet anda sepanjang jalan. Tak jarang masih juga di aniaya secara verbal oleh pengguna jalan yang lain padahal jelas-jelas naik sepeda itu pasti mengalah dari pengguna jalan yang lain. Nasib memang belum berpihak kepada pesepeda meskipun kadang harga sepedanya mungkin bisa dua atau tiga kali motor baru.  Tetapi sekali lagi karena ukuran dan jumlah rodanya, sodara-sodara!
Jadi kalau anda ingin dihargai di jalan raya, belilah truk tronton yang baru. Dijamin semua orang bahkan tetangga anda akan ber”WOW” sepanjang hari! Bagaimana? Sebenarnya dihargai atau tidak, yang penting adalah bagaimana kita mengendarai tunggangan kita di jalan raya. Meskipun kendaraan kita up-to-date dan mahal kalau dijalan raya tidak paham aturan lalu lintas sama sekali tidak akan ada bedanya dengan naik kerbau yang membajak di sawah. Masih mending naik kerbau pembajak sawah karena menghasilkan karya, sementara kebut-kebutan di jalan raya hanya menghasilkan celaka.

Sabtu, 21 April 2012

Candu itu bernama SEPEDA

Setahun terakhir ini saya kembali kecanduan bersepeda. Bukan hanya karena sedang trend tetapi lebih karena sejarah hidup saya tidak pernah jauh dari sepeda.

Pertama kali saya mempunyai sepeda adalah ketika saya masih SD kelas satu. Sepeda mini warna merah dengan keranjang di depan—tipikal sepeda cantik anak perempuan. Mungkin ini bukan sepeda pertama karena seingat saya, saya belajar naik sepeda dengan sepeda Bapak yang lebih besar, kalau tidak salah Phoenix jengki. Harapan Bapak dan Ibuk mungkin saya menaikinya secara wajar, tetapi ternyata salah. Kala itu istilah downhill, dirt jump, atau extreme biking belum sepopuler sekarang tetapi sepertinya saya telah melakukannya :D Bagaimana tidak, sepeda baru berumur dua hari ditangan saya, sudah saya pakai downhill ke sungai dekat rumah. Alhasil rodanya penuh dengan lumpur. Beberapa waktu kemudian, saya memakainya untuk balapan dengan teman-teman saya. Waktu itu dipinggir sungai dekat rumah masih ada rumpun bambu yang sangat lebat dimana jalan dibawahnya agak menurun dan sepi. Saya dan teman-teman balapan ditempat itu. Saking kencangnya, saya hilang kendali. Akibatnya saya terlempar dan menyaruk jalan tanah dibawah rumpun bambu itu....Ouch!! Tetapi saya belum kapok rupanya, saya tetap bersepeda dengan cara saya. Sampai suatu saat saya dua kali tercebur selokan depan rumah dan tertimpa sepeda saya sendiri. Malangnya, ketika saya berteriak minta tolong tidak ada yang mendengar saya karena semua orang sedang berada di belakang rumah T,T Setelah itu sepeda saya pun tidak lagi bisa bertahan lama. Akhirnya Bapak menjualnya ke tukang rongsokan. Meskipun begitu, dengan sepeda mini merah ini hampir setiap hari Minggu saya dan Bapak bersepeda keliling Madiun. Ngomong-ngomong Bapak saya pernah bersepeda dari Madiun ke Borobudur pp waktu masih muda!

Saya tumbuh besar dan saya butuh sepeda yang lebih besar juga. Bapak membeli sepeda Phoenix jengki warna biru. Tetapi saya belum boleh membawanya ke sekolah. Hanya kadang-kadang Ibuk menjemput saya naik sepeda. Baru ketika saya sekitar kelas 5 – 6 saya boleh naik sepeda kesekolah, tetapi hanya sore hari untuk ekstrakurikuler. Dengan sepeda biru ini, saya tidak terlalu brutal seperti ketika saya bersama sepeda mini merah itu. Mungkin karena saya sudah semakin besar, perempuan lagi! Saya memakai sepeda ini sampai SMP. Dan mulailah lagi kebiasaan bersepeda out of control. Buat saya SMP berarti boleh bersepeda sendiri dan jauh-jauh... Dan saya benar-benar melakukannya! Saya sering bersepeda bersama teman-teman saya ke tempat bernama Kresek, Dungus di kaki gunung Wilis arah timur Madiun kira-kira 18 km. Biasanya saya dan teman-teman gowes ke tempat itu pada hari Minggu disertai ransel kecil berisi makanan dan minuman sebagai teman perjalanan. Kami tidak memaksakan diri harus cepat-cepat sampai tempat biasa kami nongkrong, kalau kaki pegal kami berhenti di pinggir jalan dan makan bekal kami. Kala itu juga sudah banyak yang bersepeda ke sana, sepeda mereka bagus-bagus, dan naiknya kencang-kencang pula. Satu keasyikan tersendiri menonton mereka berpacu di jalan menanjak sementara kami duduk di pinggir jalan sambil ngemil jajanan bekal. Sebaliknya ketika kami mulai mengayuh dan sampai tanjakan saya atau teman saya turun kemudian mendorong sepeda kami karena tidak kuat, rombongan pesepeda yang menyalip kami tak jarang menyemangati kami, " Ayo dik!!!!, balapan!" Hohoho.... saat itu saya mulai membayangkan kapan ya punya sepeda seperti mereka dan bisa berpacu secepat mereka. Alon-alon asal kelakon.... maka sampailah saya dan teman-teman di tempat nongkrong kami setiap kali bersepeda di tempat itu, di sebuah gubuk sawah di tepi sungai gunung yang berbatu besar. Seharian kami biasanya bermain di sana sambil melihat para pesepeda yang melaju kencang turun dari puncak trek beberapa kilometer diatas sungai. Tidak banyak kecelakaan dengan sepeda biru ini, hanya treknya jauh-jauh. Selain ke lereng gunung Wilis ini, saya juga beberapa kali gowes ke arah barat (sedikit ke selatan) Kali Madiun ke sebuah bendungan irigasi yang besar, saya lupa namanya. Jaraknya kira-kira 10km dan sepertinya masuk wilayah Magetan. Masih juga sepeda biru ini menemani saya. Pada saat yang sama kakak laki-laki saya punya sepeda balap, saya lupa mereknya. Karena dia sudah lulus sekolah dan kerja di luar kota, maka sepedanya menganggur. Dan saya lah pemakai selanjutnya. Saya merasa sangat keren dengan sepeda ini, karena pada saat itu belum banyak anak perempuan yang naik sepeda balap. Sayangnya tidak lama kemudian sepeda ini dijual Bapak karena mungkin dia pikir tidak cocok untuk saya. Padahal saya suka lho, karena pertama kalinya naik sepeda yang ada pemindah giginya.

Kira-kira tahun 1990 an awal, mountain bike mulai populer di kota saya. Banyak anak sekolah yang menaikinya ke sekolah. Saya jadi kepingin juga. Tapi sepeda biru saya masih bagus, alhasil Bapak tidak kunjung membelikan saya mountain bike. Saya punya trik jitu untuk ini, setiap hari saya bicara tentang betapa bagusnya sepeda gunung, bahkan saya pasang gambar nya di kamar. Lama-lama bapak saya risih mungkin hingga suatu siang saya diajak ke toko sepeda di dekat perempatan Tugu Madiun. Saya sangat senang karena boleh memilih sendiri sepeda yang saya mau. Kali ini saya pilih hardtail warna hijau tua metalik merek Diamond Back. Saya sebenarnya pada waktu itu ingin yang bermerek Federal karena yang paling populer tetapi harganya mahal. Kantong Bapak tidak menjangkau harga Federal, tetapi saya sudah cukup senang dengan yang saya pilih. Ketika di toko sepeda, saya terkagum-kagum dengan harga sepeda yang mahal-mahal seperti harga sepeda motor kala itu. Sepeda gunung inilah yang paling lama menemani saya. Pertama kali saya memakainya ketika SMP kelas 2 sampai lulus kuliah dan mencari kerja. Karena cukup lama bersama, cukup banyak pula insiden berdarah dengan sepeda ini. Meskipun begitu inilah sepeda kesayangan saya. Dengan sepeda ini pulalah saya hampir gegar otak dan patah tulang kering. Salah satu insiden berdarah yang paling parah adalah ketika kelas 3 SMP saya ikut latihan pencak silat. Latihannya malam hari. Saya selalu bersepeda ke tempat latihan seminggu dua-tiga kali. Jarak padepokan dengan rumah kira-kira 7 km. Ketika saya mulai masuk SMA, jarak bersepeda saya semakin panjang. Selain setiap hari bersepeda ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 5 km dari rumah, pulang sore hari lalu berangkat lagi latihan pencak silat. Pada suatu malam, seperti biasa saya berangkat menuju padepokan silat dengan sepeda dan bisa dipastikan dengan kecepatan tinggi supaya tidak terlambat tiba di padepokan atau harus menerima hukuman push up 10 kali. Saya melewati jalur yang setiap hari saya lewati, tetapi ketika saya melaju kencang di ruas jalan yang agak gelap tak jauh dari sekolah, tiba-tiba ada gundukan material didepan jalur sepeda saya ketika hendak menyalip sebuah becak dari arah kiri. Karena laju sepeda yang sangat kencang dan suasana gelap tidak sempat menghindar, terbanglah saya bersama sepeda saya dan mendaratlah pipi kanan saya dengan sangat mulus di atas aspal. Hal terakhir yang saya ingat saat itu adalah cahaya sangat terang, mungkin berasal dari lampu jauh sebuah mobil, yang membutakan sesaat sebelum saya menabrak gundukan pasir atau kerikil, lalu saya tidak ingat lagi. Ketika bangun saya sudah dikerubungi orang-orang. Hal pertama yang saya cari adalah sandal jepit, karena masih baru. Dan sepeda saya yang rusak setangnya bengkok, tapi untung tidak ada yang patah. Luka goresan aspal itu masih tersisa di pipi kanan saya sampai sekarang. Selain bekas luka, saya juga masih menyimpan sedikit trauma-- tapi lebih tepatnya dendam—pada pengendara motor atau mobil yang menyalakan lampu jauh tidak pada tempatnya dimalam hari ditempat tanpa penerangan. Itu sangat membahayakan karena menyilaukan orang yang berpapasan.

Diamond Back (bukan merek yang asli) hijau tua metalik saya ini paling setia menemani saya sampai saat saya lulus kuliah dan harus cari kerja. Pada masa-masa mengirim CV kesana kemari, sepeda inilah yang mengantar saya ke kantor pos setiap kali. Sebagai catatan, meskipun sejak SD saya sudah bisa mengendarai motor, saya tidak pernah mengendarai motor sendiri kecuali ketika kuliah di Malang, itupun karena pinjam teman. Apalagi Bapak saya pada waktu itu belum mampu membelikan saya motor baru. Selain itu saya tidak punya SIM :D Jadi sepeda lah transportasi utama saya meskipun sebagian besar teman-teman saya sudah beralih naik sepeda motor kemana-mana. Masa-masa puasa bersepeda adalah ketika saya kuliah di Malang dan di Solo. Itu hanya karena saya tidak punya sepeda di tempat kos. Tetapi hal itu tidak mematikan kesukaan saya bersepeda. Setiap liburan saya pulang ke rumah, saya selalu bersepeda kemana-mana ( karena ndak punya motor hahahaha....) Suatu ketika ada sepeda lain dirumah. Bapak membeli satu sepeda unta (Solo: pit kebo) milik pedagang beras yang sering mengantar pesanan beras kakak saya ke rumah. Waktu itu harganya Cuma Rp 125.000,- Hingga akhir hayatnya Bapak sering naik sepeda itu ke bank untuk mengambil uang pensiun atau sekedar gowes cuci mata. Saya kurang cocok dengan sepeda ini karena diameter rodanya yang sangat besar tidak sesuai dengan ukuran tubuh saya yang kurang tinggi ini. Saya jarang naik sepeda ini jauh-jauh, paling-paling di halaman rumah atau ke lapangan bola dekat rumah. Sayangnya sepeda ini akhirnya dijual kakak saya ketika Bapak sudah meninggal dan saya harus pindah ke Solo. Tak hanya itu kakak saya juga akhirnya menjual Diamond Back kesayangan saya hanya karena tidak ada yang memakainya. Sungguh sangat tidak paham sejarah! Lama sepeninggal Diamond Back hijau itu saya sempat vakum bersepeda karena tidak punya yang lain lagi.

Hampir 7 tahun saya tidak punya sepeda lagi. Tetapi disela-sela waktu itu, saya sempat bersepeda dengan sebuah sepeda hadiah dari kantor Bapak mertua saya. Sepeda 24'' warna merah model hardtail. Saya tidak bisa jauh-jauh memakai sepeda itu karena onderdilnya mengkhawatirkan, terlihat tipis-tipis. Jangan-jangan kalau dinaiki jauh-jauh bisa rontok semua. Saya hanya sebentar memakai sepeda ini karena akhirnya di preteli adik ipar saya dan tidak dirakit lagi. Setelah itu, saya berhenti lagi bersepeda karena tidak ada lagi sepeda di rumah mertua saya di Solo. Hingga akhirnya, Ibu mempekerjakan seorang Mbak Atik untuk bersih-bersih rumah setiap pagi. Dan Mbak Atik ini setiap hari naik sepeda. Kesempatan naik sepeda lagi nih...... Saya pun sering meminjam dengan dalih beli makanan buat sarapan Bapak mertua. Padahal saya cuma ingin bisa bersepeda lagi. Sepeda mbak Atik adalah sepeda mini seperti milik saya ketika kecil, tetapi berwarna biru dan agak besar. Bukan masalah, yang penting saya bisa bersepeda meskipun cuma pinjaman. Lalu suatu saat, saya dan suami saya harus mengontrak rumah disebuah perumahan di pinggiran sawah. Jarak kemana-mana tanggung, jauh nggak, dekat juga nggak. Kalau jalan kaki lumayan jauh dan harus melewati sawah yang panasnya minta ampun di siang hari, kalau naik motor terlalu dekat boros bensinnya. Solusi yang terbaik adlah sepeda sebenarnya. Tetapi karena keuangan yang belum stabil, maka baru setahun kemarin saya menemukan jodoh saya lagi. Saya bisa mempunyai sepeda lagi seperti dulu berkat arisan yang diadakan bersama teman-teman kantor saya. Sekarang saya di temani Polygon Monarch3. Bukan sepeda mahal apalagi canggih, tetapi cukup bisa membuat saya berkeringat dan muda kembali! Betul, muda kembali. Karena kalau saya pergi naik motor, saya selalu dipanggil "Bu", tetapi kalau lagi gowes anak STM yang lagi nongkrong didepan sekolah mereka pun bersuit-suit.... =D :P Dengan Monarch3 ini saya sering gowes ke kantor yang jaraknya cuma 8 km dari rumah. Lumayan basah kuyup berkeringat ketika sampai kantor, tetapi itu bukan halangan selama masih ada pedagang es degan yang buka di sepanjang jalur bersepeda dan toilet di kantor airnya lancar. Karena saya selalu mandi lagi ketika sampai kantor atau murid-murid saya akan pingsan semua. Sejauh ini tidak ada insiden berdarah dengan Monarch3 saya, hanya beberapa kali sport jantung karena pernah dipepet bis Mira yang segede gambreng. Diam-diam suami saya ter-racuni juga oleh kebiasaan saya ini. Akhir-akhir ini beberapa kali dia juga pinjam sepeda saya untuk liputan atau ke kantor dan mulai berpikir untuk memiliki satu lagi supaya kami bisa bersepeda bersama. Sinyal yang bagus untuk kedepan. Apalagi Solo sudah mulai disusupi toko-toko sepeda dengan koleksi yang bisa membuat penggemar sepeda gelap mata. Selain itu sudah bermunculan komunitas berbasis sepeda. Tetapi saya masih bermimpi ada jalur khusus bersepeda dari kota-kota satelit Solo menuju pusat kota Solo supaya kalau bersepeda ke kantor aman dan tidak perlu was-was disambar bis kota atau Sumber Kencono.

Sepeda itu laksana candu. Sekali mencoba pasti akan mengulanginya lagi dan lagi. Apapun alasan bersepeda bukan masalah. Jangan berpikir merek (tapi sebenarnya kalau punya yang bermerek ya lebih bagus =Q :D ) tetapi yang lebih penting adalah bersepedanya. Jangan berbangga karena bisa beli sepeda berharga mahal tetapi hanya untuk hiasan garasi dan pamer merek tetapi tidak pernah dinaiki. Sekali bersepeda, tetap bersepeda....

Senin, 02 April 2012

Harus berjudul apa ya?

Libur term kali ini membawa saya pada beberapa pengalaman yang tidak biasa. Saya berkesempatan mengunjungi dua teman lama saya semasa SD dan SMP. Dari mereka berdualah saya memperoleh wawasan lain, yaitu semangat dan motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan sepenuh hati. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan sekedar mendengarkan uraian motivasi dari orang-orang yang verbally smart.

Yang saya kunjungi pertama adalah Dian. Saya dan Dian bersekolah di SD yang sama. Kami sering menghabiskan waktu bersama baik di sekolah, kegiatan ekstra-kurikuler, atau kegiatan gila-gilaan khas anak-anak. Waktu berlalu dan kamipun terpisah oleh sekolah dan kegiatan yang kami jalani di kemudian hari. Terakhir bertemu Dian adalah ketika ia hadir di acara pernikahan saya tahun 2004. Waktu yang tidak sebentar hingga Kamis minggu lalu saya bertemu lagi untuk sekedar berbagi cerita. Selepas SMA, Dian tidak sempat melanjutkan kuliah tetapi hanya mengikuti kursus keterampilan yang membawanya menjadi seorang penjahit pakaian. Yang membuat saya kagum padanya adalah keuletannya mempertahankan toko tas warisan orang tuanya. Semasa kecil, saya sering membeli tas sekolah di toko Dian. Toko milik orang tua Dian itu kecil dan penuh dengan tas aneka model dan terletak di jantung kota tepat berseberangan dengan pasar besar kota. Tempat yang sebenarnya amat strategis untuk berdagang. Tetapi kehadiran mall dan toko-toko dengan modal besar mungkin membuat toko-toko semacam milik Dian ini tersisihkan. Boleh saja terpinggirkan, tetapi semangat Dian yang mewarisi toko ini sungguh mengagumkan. Saya melihat usahanya yang ulet untuk tetap membuat orang menginjakkan kakinya ke toko miliknya meskipun belum tentu membeli tasnya. Dian bercerita pada awalnya ia menambah usahanya dengan menjual pulsa telepon seluler, kemudian ketika ada yang menanyakan rokok maka ia pun menyediakan rokok. Sadar bahwa lokasi tokonya jauh dari pompa bensin, suaminya berinisiatif menjual bensin eceran di depan toko. Tak hanya itu, ketika warung sebelah kehabisan gas elpiji, Dian pun sudah siap dengan stok gas elpiji di belakang tokonya. Sungguh jeli Dian melihat peluang. Dari obrolan kami sepanjang 3 gorengan dan segelas teh, saya melihat sebuah perjuangan hidup. Mungkin bagi sebagian orang yang mendambakan kemapanan (menjadi kaya), apa yang dilakukan Dian tidaklah termasuk usaha yang bisa membuat orang hidup mapan karena mungkin mereka akan berpikir dari dulu tokonya begitu-begitu saja tidak ada perkembangan. Tetapi bagi saya mempertahankan adalah lebih sulit daripada membangun. Dan Dian mampu melakukan itu.

Teman saya yang satu lagi adalah Susan. Semasa SMP ia terkenal paling cerdas diantara saya dan teman-teman lain. Selain kemampuan akademisnya yang cemerlang, Susan memiliki bakat yang tidak semua orang memilikinya. Ia sangat terampil dalam hal membuat kerajinan apapun. Semasa SMP, Susan selalu mendapatkan nilai terbaik dalam bidang keterampilan. Ternyata inilah yang membuatnya sukses saat ini. Saya mengatakan sukses bukan karena ia punya usaha yang besar atau kaya raya. Tetapi lebih karena apa yang ia lakukan dengan keterampilannya ini. Lagi-lagi teman saya ini juga pintar menjahit. Sejak masih di bangku SMA ia telah membantu Ibunya menjalankan usaha jahit miliknya. Sama seperti Dian, Susan juga tidak sempat berkuliah. Susan sempat bekerja di sebuah lembaga milik pemerintah yang menurutnya sangat tidak produktif karena di tempat itu ia tidak memiliki tugas yang jelas. Kalaupun ada, misalnya membuat laporan proyek, kadang tidak jadi dipakai karena menurut atasannya masih salah. Dan lebih parahnya lagi, tahu ada kesalahan, atasannya tidak memberi instruksi untuk merevisinya dan hanya mengatakan biar saja salah. Karena Susan tidak mendapatkan kepuasan kerja di instansi ini, maka ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan melanjutkan usaha sang Ibu. Perjalanannya belum berhenti, ketika terjadi krisis tahun 1997, usaha jahitnya sempat seret. Tetapi bukan Susan kalau menyerah. Ia bersama ibunya membuat baju anak-anak dari kain sisa jahitan dan menjualnya dengan harga murah dan pastinya laku terjual. Sampai minggu lalu ketika saya berkunjung ke rumahnya, Susan masih setia dengan usaha jahitnya. Tak hanya itu, Susan membagi ruang tamu mungilnya, sebagian untuk mesin jahit dan perlengkapannya, sebagian lagi untuk toko kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Selama satu jam lebih saya duduk di sana, Susan melayani tak kurang 10 pembeli yang datang silih berganti. Keuntungannya mungkin hanya sebatas recehan, tetapi inilah kesempatan untuk mendapatkan lebih dari sekedar recehan. Sepanjang obrolan saya dengan Susan, saya menangkap sebuah mimpi besar darinya. Suatu hari ia ingin memiliki sebuah butik pakaian (Amin). Mungkin sekarang Susan hanya penjahit kampung, tetapi saya percaya mimpinya pasti akan nyata karena seorang Susan bukanlah seorang yang hanya bisa duduk diam.

Sepulang dari liburan, saya menghadiri kegiatan training leadership yang diselenggarakan lembaga tempat saya bekerja. Jujur saja saya tidak tertarik dengan acara seperti ini meskipun pembicaranya dari satu lembaga motivasi papan atas. Tetapi karena lembaga saya sebagai tuan rumah, saya mengalah untuk menghadirinya meskipun dengan setengah hati. Saya sengaja datang terlambat -- sebuah aktifitas yang hampir tidak pernah saya lakukan. Begitu datang di tempat acara, suasana gelap menyapa, hanya terlihat display dari LCD projector dan suara sang motivator yang dibuat-buat yang mengajak peserta membayangkan ini itu, kalau begini begitu maka bagaimana. Saya hanya mengikuti acara ini beberapa jam saja karena saya merasa tidak perlu mendapatkan suntikan motivasi, spiritualitas apapun namanya lagi. Hidup saya sudah normal, kerja saya baik-baik saja, spiritualitas saya tidak ada masalah. Saya tidak burn out, saya menikmati hidup saya. Saya masih banyak ide untuk melanjutkan hari-hari saya. Yang saya tangkap dari materi pelatihan ini adalah bagaimana tetap menjaga semangat kerja dan mencintai tempat kerja kita sehingga tidak berorientasi uang saja. (Lalu hubungannya dengan spiritualitas apa ya? Apa karena mencuplik dari ayat-ayat dari Al Qur'an lalu di-match dengan teori motivasi atau manajemen ? .....)

Wow! Kerja bukan untuk mendapatkan uang? Mulia sekali. Kalau saya setuju dengan ide tersebut maka saya munafik. Saya bekerja untuk mendapatkan penghasilan sebagai sarana untuk menjalani hidup. Kalau saya kemudian bekerja dan saya mau dibayar berapa saja, alangkah bodohnya saya. Buat apa saya sekolah tinggi kalau tidak bisa menetapkan standar diri. Boleh saja kita mencintai tempat kita bekerja tetapi bukan berarti kita "pasrah bongkokan" berapapun bayarannya tidak masalah. Itu konyol namanya. Saya rasa pelatihan itu salah sasaran. Yang membutuhkan pelatihan ini adalah mereka yang dalam struktur organisasi (kalau ada) berada di atas saya dan kawan-kawan saya. Mereka yang galau setiap akhir bulan karena harus mengeluarkan uang untuk menggaji karyawan. Mereka yang selalu galau karena berusaha mencari alasan supaya gaji saya dan kawan-kawan bisa dikurangi satu dua rupiah. Mereka yang selalu galau karena saya dan kawan-kawan selalu kehabisan kertas, tisu, atau tinta untuk mengajar. Sementara apa yang terjadi dengan saya dan kawan-kawan? Kami baik-baik saja, kami selalu punya ide untuk bersemangat menjalani pekerjaan kami. Kalaupun ada salah-salah hitung di akhir bulan, kamipun selalu berpikir positif; mungkin mereka yang diatas sana lagi sibuk jadi salah-salah. Besok-besok bisa direvisi, begitu pikir kami. Terlepas dari semua niatan mereka untuk mencurangi kami, kami selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dalam menjalankan tugas kami. Kami juga tidak pernah berusaha memotong waktu kami mengajar dengan alasan bayarannya salah hitung. Dari situ sebenarnya bisa dilihat siapa yang sebenarnya perlu diberi pelatihan anti-galau semacam itu? Apapun bentuknya saya rasa saya belum membutuhkan semua omong-omong tentang kecerdasan spiritualitas yang saya dengarkan beberapa hari lalu. Saya visual dan kinesthetic learner yang mampu belajar dari sekitar, jadi kalu cuma mendengarkan orang berbicara saja bisa dipastikan saya cepat lupa. Lebih banyak yang bisa saya lihat dan coba lakukan di luar sana daripada sekedar duduk mendengarkan suara yang kadang dibuat-buat supaya saya terhanyut dan meratapi keberadaan dan dosa-dosa saya. Dunia luar lebih nyata daripada sekedar membayangkan dan menuliskan misi ,visi, dan nilai hidup yang saya sendiri belum tentu paham apakah itu benar-benar diperlukan supaya bisa hidup lurus. Jadi menurut saya pelatihan ini lebih cocok untuk mereka yang setiap hari dikelilingi meja, komputer, kalkulator dan lembaran rupiah karena benda-benda itu tidak bisa melawan apapun perlakuan yang mereka dapatkan. Sehingga mereka yang diatas sana tidak jarang melihat apa yang sebenarnya terjadi di bawah sini dan diluar sana. Makanya mereka perlu merenungi dan kalau perlu meratapi dosa-dosa yang telah mereka perbuat atas saya dan kawan-kawan saya. Lumayanlah satu dua jam menangis diiringi suara yang dibuat-buat itu dan ilustrasi musik yang membuat merinding, meskipun akhirnya seusai pelatihan langsung lupa lagi.

Jadi, merdekalah Susan dan Dian yang selalu bersemangat dan tidak pernah risau di akhir bulan apakah harus mengeluarkan uang sedikit atau banyak. Beruntunglah mereka karena tidak pernah disangka kurang motivasi atau spiritualitas oleh atasan mereka, karena "they are the bosses themselves". Tolong di koreksi kalau ada yang salah.


 

Kamis, 22 Maret 2012

My four-legged friends


Selamat Jalan Kawan-kawan...

Mimin, Ucrit, Mumun, Kamun, Memet, Boy, Ipin, Unyil, Cuplis, Cimot, Emon, Pepeng, Caplin, Kecil dan mungkin juga Mak Unying....

Mereka hanya kucing-kucing kampung yang terbuang dan kebetulan mampir di kehidupan saya kira-kira setahun terakhir ini. Setiap hari mereka bikin ribut, kotor, dan jengkel tetapi merekalah yang menghibur saya di pagi hari ketika saya belum berangkat kerja dan sendirian dirumah. Mereka pulalah yang menghalau binatang-binatang liar semacam ular dan tikus dari pekarangan rumah kontrakan saya. Beberapa dari mereka tidak sengaja saya temukan di pinggir sawah karena dibuang pemiliknya, ada pula yang tiba-tiba datang sendiri dan ikut makan tidur di rumah. Saya tidak berniat memelihara mereka semua tetapi karena saya pikir mereka akan makan apa dan dimana mereka akan tidur dan berlindung, maka saya buka pintu rumah kontrakan saya untuk mereka. Super duper repot melayani 15 ekor kucing yang semuanya suka makan, manja-manja, dan berisik. Tapi merekalah teman saya.

Sampai suatu siang, seekor kucing liar mampir di pekarangan dan secara tidak sengaja masuk kedalam rumah tanpa sepengatahuan saya. Satu malam ia berada di dalam rumah dan ternyata dalam keadaan sakit. Belum genap dua mampir, hari kucing itu mati mendadak. Saya pikir biasa saja, mungkin luka dalam karena tertabrak motor. Tetap setelah itu, kira-kira satu dua hari setelah kucing asing itu mati, satu persatu kucing-kucing saya sakit. Gejalanya muntah-muntah, tidak mau makan, minum terus, dan tidur-tiduran di tempat lembab karena badannya panas. Dan sejak itulah satu persatu mereka mati mengenaskan, bahkan saya menyaksikan beberapa mengembuskan nafas terakhirnya didepan saya. 11 ekor mati begitu saja dalam waktu kurang dari satu minggu. Saya pikir karena ikan yang saya beli untuk mereka mengandung pengawet yang beracun, tetapi ternyata bukan. Kalau mereka keracunan pastilah mereka akan mati dalam waktu yang bersamaan. Kemudian saya teringat kucing asing yang mati beberapa hari lalu. Mungkinkah ia penyebabnya? Hanya Sang Pencipta para kucing itulah yang tahu. Dan mengapa harus sebanyak itu yang harus mati? Hanya Alloh yang tahu. Dan mengapa mereka harus tinggal bersama saya juga hanya Alloh yang tahu.

Lalu saya coba mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi pada mereka. Tibalah saya pada satu kata, Panleukopenia. Kata yang asing bagi saya tetapi inilah kunci dari kematian kucing-kucing saya. Sebuah penyakit menular yang disebabkan virus dengan masa penularan yang sangat cepat dan efek yang sangat mematikan.

Berikut adalah petikan informasi dari http://www.merckvetmanual.com/mvm/index.jsp?cfile=htm/bc/57100.htm

Feline panleukopenia virus (FPV) is closely related to mink enteritis virus and the type 2 canine parvoviruses (CPV-2, CPV-2a, CPV-2b). FPV can cause disease in all Felids and some members of related families (eg, raccoon, mink, and coatimundi), but it does not harm Canids. Conversely, CPV-2a and CPV-2b have recently been shown to cause a panleukopenia-like illness in domestic cats and large Felids. In a study of German and American cats with a clinical diagnosis of panleukopenia, CPV-2a or CPV-2b, rather than FPV, was isolated from ~10% of cases. In a Vietnamese study, 80% of parvoviruses isolated from healthy cats were canine rather than feline.


 

Virus particles are abundant in all secretions and excretions during the acute phase of illness and can be shed in the feces of survivors for up to 6 wk after recovery. Parvoviruses are extremely resistant to inactivation; they can survive >1 yr in a suitable environment and can be transported long distances via fomites (eg, shoes, clothing). However, parvoviruses are destroyed by exposure to a 6% solution of household bleach (aqueous sodium hypochlorite) for 10 min at room temperature. Peroxygen disinfectants are also highly effective.


 

Cats are infected oronasally by exposure to infected animals, their secretions, or fomites. Most free-roaming cats are exposed to the virus during their first year of life. Those that develop subclinical infection or survive acute illness mount a robust, long-lasting, protective immune response.


 

FPV infects and destroys actively dividing cells in bone marrow, lymphoid tissues, intestinal epithelium, and—in very young animals—cerebellum and retina. In pregnant queens, the virus may spread transplacentally to cause embryonic resorption, fetal mummification, abortion, or stillbirth. Alternatively, infection of kittens in the perinatal period may destroy the germinal epithelium of the cerebellum, leading to cerebellar hypoplasia, incoordination, and tremor. FPV-induced cerebellar ataxia has become a relatively rare diagnosis, because most queens passively transfer sufficient antibodies to their kittens to protect them during the period of susceptibility.


 

Singkatnya, Panleukopenia disebabkan oleh virus mematikan yang menyerang keluarga kucing. Penularannya bisa melalui apa saja; cairan tubuh, berbagi tempat makan minum, kutu, bahkan sentuhan. Virus ini menyerang hampir semua organ penting, sumsum tulang, jaringan limpa, epitel usus. Tak heran hanya dalam hitungan jam, begitu gejala terlihat nyawa mereka sudah tidak tertolong lagi.


 

Tak ada lagi Cuplis yang menyambut saya pulang kantor dan membonceng di jok sepeda motor. Tak ada lagi Emon dan Cimot yang suka membuntuti saya kemana-mana. Selamat jalan Kawan-kawan.... Maaf saya tidak bisa menyelamatkan kalian semua. Sampai jumpa di sana.


 


 

Jumat, 09 Maret 2012

No Action Talk Talk Talk Only

Have you ever happened to see a late nite commercials on TV from one of cigarette brands? A man was talking on an intercom to call a security officer because the gate was closed. At the same time, nobody was at the post. As a result, there was a long line of vehicles in front of the gate waiting for it to open. Out of the blue, another man at the very back line decided to get out of his car, rode his folding bike, and maneuvered amidst the traffic jam. He could then pass the long queue and open the gate. The long line disappeared as the gate opened. However, the first man kept on talking on the intercom without doing anything. In fact, he was the only man left there. Unfortunately, he is around us, or perhaps there is him in ourselves. No action, talk, talk, talk only.

First thing that comes into my mind when watching that commercial is that how spoiled and dependent we are. We tend to be reluctant in doing simple thing when we have been in certain position. Take the man in the commercial for example. He was a young executive so opening the gate is a low-level activity for him. How about us? Arriving at home, we often just stay in the car and and call the maid to open the gate for us. In fact, getting off the car, walking a few meters, and unlocking the gate are not time and energy consuming though. It really shows how lazy we are. We are so spoiled that we are unable to solve a simple problem independently.

God doesn't try to joke by giving us a set of brain that consists of 2 parts (right and left), 2 eyes, 2 ears, 2 arms, 2 legs and 1 mouth for some reasons. We are supposed to use them to finish our problems. Before solving problems, we are supposed to observe, listen and work our brain to find ways. Next, we can try to fix the problem with our hands. Not everyone can do everything though. So, we can walk to find our friends and ask them to help us when we cannot handle the mess ourselves. However, some of us just sit and grumble and often times bother others who are supposed to be disturbed by our mess.

My late mom who wasn't either a scholar nor a supermom used to say, " Nggoleki barang ilang kui nganggo mata karo tangan, ora nganggo cang***". (When you search a lost item, use your eyes and hands, not mouth). She used to say that whenever I grumbled because I couldn't find my lost belonging. That utterance worked and has still been working well on me despite the simple and rather gross vocabulary she made. Now I just realize why she rarely helped me whenever i got upset on losing things.

Therefore, doing something is better than just grumbling. Other people have their own things to do, not just to help us all the time.

Sabtu, 03 Maret 2012

Why should we complain?

Two days ago, I went to buy some "lotek", a kind of vegetable salad, at a stall by the street. It was just 10 in the morning and there weren't many customers yet. Probably I was the first to come. Out of the blue, the seller came up with her complaints all the way from her tiredness to the raised rent fee,. She even told me about her daughter who often gets angry when she asked her to prepare the "warung". Well, I'm just nobody to her, just someone who happened to drop by to buy her food but how could she told me about that? Does she also tell the same things to other people? What I could do was just listening and nodding :D


 

My concern is not how she told me about everything that should be off – the – record but the complaints she made about everything. I just thought how ungrateful this person is. The next hours, I passed her warung again, and there were some people enjoying their lunch. I think she earns more than enough in a day. But she still complains? Since the first time I saw this "lotek" stall until now, I've seen no changes. It even gets messier. If many people keep on coming to her 'warung" , she will be able to get more money and able to improve her "warung". In my opinion, she forgets how to thank.


 

I don't know whether it is just a coincidence. I often see people who complain much and their life is no better than what it's supposed to be. This shows how ungrateful we are towards life. As a result, some of us will never get anywhere in life eventhough we have worked hard. Complaining is normal. Most of us do that even in the smallest form such as complaining about the hot weather. But, have we ever realized the effect towards our lives? We will never feel enough for how much we have. Our life is far from enjoyable. We are so busy to get "something" more and more that we even forget how to feel grateful. Whatever we do will be useless because we always think that what we do is not enough.


 

So, let's learn how to feel grateful for whatever we have.

Sabtu, 28 Januari 2012

Re-blogging

After years of forgetting my first blog, buguru, now I have a new blog.  Welcome my blog....