Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Agustus 2015

Omong Kopi



Omong  Kopi
A cup of coffee a day keeps the doctors away.
(Syarat dan ketentuan berlaku)

Kopi telah menjadi bagian dari hidup saya sejak lama, bahkan sejak saya masih kanak-kanak.  Bukan tanpa cerita kalau saya sampai sekarang sangat menggemari minuman berwarna hitam dengan rasa pahit dan beraroma harum itu.

Cerita kopi saya dimulai ketika saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1983an, ketika saya sudah paham dolan dengan teman. Sayangnya pada saat itu tidak banyak anak seusia saya  disekitaran rumah karena beberapa bagian kampung saya masih berupa sawah, tegalan, dan tanah kosong. Jadi saya lebih banyak dirumah saja. Tetapi satu dua kali ikut ngelayap juga dengan kakak laki-laki saya. Sampai suatu saat kenal dengan anak pemilik warung belakang rumah yang seusia kakak saya. Mereka adalah dua gadis ABG pada saat itu. Karena saya miskin teman perempuan, maka saya jadi sering bermain dengan mbak Wati dan mbak Sri. Mereka berdua sangat rajin. Setiap hari bergantian membantu orang tua mereka di warung. Mbak Wati tugasnya menggoreng cemilan semacam tempe, tahu, ketela, pisang dan lain-lain. Sementara mbak Sri yang lebih muda bertugas membuatkan minuman membantu si bapak, Mbah Kenya, untuk pengunjung warung.  Lek Pithi, ibu mereka  berada di garis depan melayani pelanggan yang makan ditempat atau yang pesan bungkus.  Makanan utama di warung itu adalah  khas Madiun, nasi pecel.  Menu sampingannya adalah cemilan gorengan. Warung mungil itu selalu padat dengan pembeli setiap hari mulai pukul 5:30an, dan seingat saya akan selalu buka sampai sore tetapi tanpa nasi pecel, hanya kopi dan cemilan.
gilingan kopi jadoel
Warung kecil bercat biru itu terletak dibelakang  rumah saya dan berbatasan langsung dengan rel kereta pengangkut tebu ke pabrik gula. Sementara rumah mbah Kenya berada agak jauh dibelakang warung dekat diantara rumah saya dan warungnya.  Rumah itu kecil, berdinding bambu dan berlantai tanah, tetapi saya suka berlama-lama disana untuk ikut –ikutan ngobrol dengan mbak-mbak itu, padahal juga saya belum paham apa obrolan mereka.  Kalau saya sudah mulai dicuekin karena mereka asyik dengan teman-teman sebayanya, saya mulai bergerilya mencari kegiatan sendiri.  Satu benda yang sangat menarik perhatian saya ketika bergerilya adalah  sebuah alat penggiling kopi!!! Alat penggiling kopi yang sudah cukup tua, terbuat dari besi baja yang cukup keras dan berat. Warnanya gelap sesuai usianya, mungkin lebih tua daripada saya pada saat itu.  bentuknya mirip dengan alat penggiling kopi tradisional jaman sekarang, tetapi lebih besar dengan sebuah bagian berbentuk corong lebar dibagian atas, sepasang roda besi bergerigi atau apalah itu didalamnya yang bergerak menggerus biji kopi, serta sebuah tuas penggerak yang dipakai untuk memutar penggiling. Bagian terakhir inilah yang sangat menarik buat saya. Saya selalu bermain dengan tuas itu, berpura-pura menggiling kopi. Kadang-kadang masih ada sisa bubuk kopi yang keluar dari penggiling itu. Saya mengambilnya untuk bermain pasaran. Kalaupun tidak ingin bermain pasaran, saya cuma mengambili bubuk kopi itu dan mencium-cium aroma harumnya sambil mondar- mandir disekitar mbak-mbak yang lagi ngerumpi....(*kasihan anak kecil dicuekin...)

Karena mbak Wati dan mbak Sri harus membantu orang tua mereka, kadang-kadang mereka juga tidak sempat hang out di rumah mereka seperti biasanya. Tetapi tetap saja setiap sore saya main kerumah mereka, kadang juga diwarungnya.  Ketika mbak-mbak sedang sibuk, sasaran saya adalah bapak mereka, Mbah Kenya.  Si Bapak yang asli Ponorogo ini berperawakan kekar khas warok dan berkulit gelap, tetapi seingat saya tidak berkumis sebagaimana para warok. Meskipun begitu si bapak cukup ramah dengan anak-anak. Kalau saya tidak punya teman bermain, saya suka menungguinya menggiling kopi disore hari.  Sebelum digiling, kopi disangrai dulu oleh Lek Pithi atau si mbak.   Entahlah, saya juga menunggui proses yang panas ini, didapur dengan tungku berbahan bakar kayu.  Biji kopi tidak boleh dibiarkan diam karena bisa gosong, jadi harus terus dibolak-balik sampai mencapai kematangan yang dimaksud supaya tidak pahit dan berbau sangit.  Setelah disangrai, kopi dianginanginkan di sebuah tampah sampai cukup dingin.  Satu dua kali saya iseng menggigit biji kopi yang telah disangrai.....weeek....pahit bow! Hahahaha.... Lalu setelah itu,  bagian yang paling saya suka, menggiling! Yippee... Mbah Kenya dengan kostum kebesarannya, celana warok hitam dan kaos singlet putih, segera nangkring di singgasananya, sebuah dingklik tinggi dibelakang penggiling kopi. Dengan sigap, ia mengisikan biji-biji kopi yang telah disangrai kemulut penggiling dan mulailah ia memutar tuas penggerak gilingan. Suara biji kopi tergerus roda besi ini cukup menarik buat saya, seperti musik. Aroma kopi yang freshly roasted membuat fly... (*hahaha...lebay ) Saya betah sekali berlama-lama menunggui mbah Kenya menggiling kopi. Kadang saya iseng ikut-ikutan memutar tuasnya, yang ternyata berat karena penggilingnya berisi biji kopi.  Bubuk kopi yang keluar dari penggiling tidak langsung bisa dibuat kopi tetapi masih harus diayak lagi karena masih sedikit kasar. Sisa ayakan di giling lagi, demikian beberapa kali dilakukan sampai halus semua. Sungguh proses yang panjang untuk secangkir kopi.
sarapan ideal (foto koleksi pribadi)
Didaerah Madiun dan sekitarnya, budaya ngopi pagi cukup kuat.  Hampir setiap laki-laki berusia produktif, selalu menyempatkan diri ngopi diwarung kopi di pagi hari sekedar untuk bertegur sapa dan bertukar cerita dengan tetangga atau sekalian sarapan juga.  Saya lahir dan tumbuh besar di Madiun, kota kecil hampir di ujung barat wilayah Jawa Timur.  Saya menyaksikan kebiasaan ini hampir setiap pagi sejak saya harus bisa membeli sarapan sendiri (*maksudnya sudah bisa disuruh beli-beli).  Saya selalu membeli sarapan nasi pecel diwarung mbah Kenya belakang rumah saya. Sambil mengantri, saya secara tidak sadar mengamati kebiasaan minum kopi bapak-bapak tetangga saya. Sambil asyik riuh bercerita, mereka meneguk secangkir kecil kopi hitam hasil gilingan Mbah Kenya sore sebelumnya dengan disertai gangguan dari saya ...hahahaha... Saya dengan seragam merah putih dengan patuh mengantri di dingklik panjang disamping lek Pithi yang dengan terampil meracik nasi pecel dan membungkusnya dengan daun pisang segar. Selama masa pengantrian inilah mungkin secara tidak sadar saya menyerap kebiasaan minum kopi orang-orang disekitar saya. Mungkin pada saat itu saya sendiri belum minum kopi, tetapi saya sudah sangat familiar dengan aroma dan proses pembuatan bubuk kopi secara tradisional.  Keluarga saya pun bukan coffee drinker, bapak ibu saya adalah peminum teh.  Bapak saya mungkin adalah pengecualian dari bapak-bapak yang ada disekitaran rumah yang ngopi tiap pagi. Bapak saya tidak pernah nongkrong di warung, apapun. Entah saya tidak pernah menanyakan alasannya.  Mungkin karena bapak saya dulunya adalah guru yang harus berangkat ke sekolah pagi-pagi sehingga tidak sempat ngopi-ngopi.  Tetapi kebiasaan ngopi-ngopi ini dilakukan dua kakak laki-laki saya. Setiap pagi dan sore  mereka nongkrong diwarung kopi untuk sekedar ngobrol dengan teman sejawat mereka. Sayangnya saya perempuan jadi saya tidak bisa ikut mereka. Bukannya dilarang sih, cuma jarang ada perempuan yang ikut nimbrung di tongkrongan para lelaki di warung kopi. Jadi hanya saya mengamati kebiasaaan ini dari jauh saja.  Kebiasaan ngopi pagi itu masih berlangsung sampai hari ini dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Madiun dan sekitarnya, meskipun mungkin sudah jarang yang melakukan proses panjang untuk mengolah kopi seperti mbah Kenya dulu.  Rupanya budaya kopi instan tidak begitu berpengaruh dengan budaya nongkrong kami. :D Apapun kopinya, yang penting bisa ngopi pagi bersama kawan.

Saya sendiri tidak begitu ingat kapan pertama kalinya saya benar-benar meminum kopi. Seingat saya hanya satu dua kali kadang ibu saya membuat segelas kopi pagi-pagi dan saya ikut meminumnya. Awal pengalaman minum kopi saya sebenarnya  berhubungan dengan perlawanan saya terhadap hal-hal berbau klenik. Whaa???? Betul. Bapak ibu saya orang Jawa asli yang masih mempraktekkan tradisi leluhur. Contohnya setiap malam Jumat selalu membeli bunga untuk di taruh di gelas berisi air, entah untuk apa saya tidak tahu. Dan yang paling dipatuhi adalah membuat sesajen ketika ada hajatan. Di keluarga saya sering ada kenduren/ kenduri/ selamatan untuk memperingati hari meninggalnya kakek nenek saya atau sekedar syukuran. Saya yang pada saat itu sekolah di madrasah, mendapat pelajaran bahwa sesajen dan sebangsanya itu tidak boleh. Saya masih ingusan, kalau melawan frontal pasti akan dimarahi orang serumah. Maka saya memutar akal bagaimana membuat mereka sadar bahwa sajen itu tidak perlu dan hanya buang-buang makanan. Akhirnya saya dapat ide. Suatu ketika ada hajatan peringatan meninggalnya kakek atau nenek saya lupa. Seperti biasa, satu tampah sajen telah siap, berisi nasi beserta lauk pauk komplit, kopi, teh, rokok klobot, dan bunga.  Sajen ini biasanya diletakkan dikamar bapak, diatas buffet. Ketika semua orang, tamu undangan dan keluarga saya,  berkumpul untuk berdoa di ruang tengah bersama pak modin, saya menyelinap ke kamar bapak. Karena saya pendek, saya memanjat kursi untuk bisa meraih tampah sajen. Saya bingung mau pilih apa, kalau nasi pasti makannya lama, belum selesai bisa-bisa ketahuan nih... akhirnya saya pilih minumannya saja. Saya coba teh...bweeeh!!!!!....teh tubruk tanpa gula!!! Saya batal meminumnya. Akhirnya saya ganti coba minum kopi...aaaah manis....langsung tenggak habis! Pas habis, pas doa selesai, orang-orang lalu sibuk membagi berkat (*makanan untuk dibawa pulang) sayapun selesai dengan misi saya.  Saya pura-pura ikut sibuk biar perbuatan saya tidak ketahuan. Ketika semua selesai, rumah sudah sepi, kesibukan sudah berhenti, barulah bapak saya sadar, gelas tehnya tutupnya tidak ditempat dan kopinya habis ! Bapak marah sih...tetapi saya bilang kan itu diminum oleh Mbah. Hahahaha....entah bapak saya jadi marah betulan atau tidak mendengar jawaban saya.... Itu awal pengalaman saya menginjeksikan kafein kedalam darah saya. Selanjutnya berita si Mbah yang pulang setiap hajatan untuk minum kopi tersebar sampai ke tukang masak yang sering membantu dirumah. Lek Yah yang selalu menyiapkan ubo rampe sajen pun selalu menyiapkan kopi manis untuk si “Mbah”. Si “Mbah” ini pun gembira dan selalu menghabiskan kopi yang disediakan. Hingga suatu saat muncul mbah yang lain, dengan misi yang berbeda, yang tak lain adalah kakak laki-laki saya. Misinya adalah tumpas habis ayam ingkung.... wah kalau ini Mbah yang mainstream.
Saat ini, kalau saya harus transfusi darah, mungkin akan sama sulitnya dengan orang-orang dengan darah bertype Rh-(negatif).  Orang dengan darah Rh- tidak bisa menerima transfusi dari sembarang darah, harus sama-sama Rh-. Begitu pula dengan saya, mungkin saya harus mencari darah Caffeine+, kafein positif,  karena 50% plasma darah saya mengandung kafein :D

(Gambar gilingan kopi dari http://kedaibarangantik.blogspot.com/
(Gambar sesajen dari  http://patke.heck.in/makna-simbolik-di-balik-sesaji.xhtml)