Total Tayangan Halaman

Sabtu, 16 April 2016

N A M A



NAMA

Suatu Sabtu sore, saya bersama ibu X dan ibu H berangkat ke arisan PKK bersama-sama. Saya dan ibu X sudah bertetangga beberapa saat, tetapi ibu H pendatang baru.  Sebagai orang baru, Ibu H mengenalkan dirinya dan menanyakan nama kami.  “Saya Ibu H, panjenengan asmanipun sinten?” – ibu berdua namanya siapa?
Ibu X bilang, “Saya bu X (nama suaminya) dan ini Ibu Yudhi (dia sebut nama suami saya)”.
C’moon.. saya bisa ngomong sendiri Bu, gak usah diwakili. Spontan saya timpali, “Maaf nama saya Umi. Saya lebih suka dipanggil dengan nama saya sendiri.”
Ibu X gak mau kalah,”Kan menghormati suami, Bu.”
” Maaf Bu, saya sudah terbiasa dipanggil dengan nama saya sendiri. Bapak saya susah-susah kasih nama bagus masak gak dipakai.”  Saya jawab dengan bercanda padahal sebenarnya agak dongkol juga karena si bu X ini memang orangnya agak sotoy sih... hahahaha....*outoftopic.

Ini bukan kali pertama buat saya mengalami perdebatan masalah nama. Jauh hari ketika saya pertama kalinya ikut kumpulan ibu-ibu PKK di perumahan sebelumnya, saya juga didebat hal yang sama. Saat itu juga saya sempat menuliskannya di medsos tetapi kemudian terhapus ketika bersih-bersih akun.  Sampai sekarang saya kadang masih belum mengerti juga mengapa perempuan harus kehilangan nama sendiri ketika sudah bersuami. 


Saya yakin semua orang tua menamai anak-anak perempuan mereka dengan nama-nama yang cantik dan indah. Tetapi sayangnya nama-nama cantik itu tak akan dikenali lagi ketika para perempuan telah memutuskan untuk menikah.  Memang tidak semua  kehilangan nama, tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang bisa mempertahankan eksistensi  kita sebagai individu yang bernama – tidak sekedar numpang nama suami.  Salah satunya adalah ketika kita perempuan punya profesi, apapun, tidak hanya yang formal.  Misalnya Ibu Rita bekerja sebagai guru, ia tetap akan dipanggil Ibu Rita, bukan dengan  nama suaminya.  Begitu pula dengan mereka yang bekerja sebagai pedagang, Warung Makan Mbok Sri contohnya. Meskipun Mbok Sri bekerja disektor non-formal, tetap ia eksis sebagai individu bernama.
Mindset. Bagi saya, faktor dari dalam ini lebih sangat berpengaruh terhadap eksistensi kita sebagai perempuan merdeka dan bernama. Menikah adalah suatu pilihan untuk hidup bersama orang pilihan kita tetapi bukan berarti menyerahkan segalanya dan cuma “nggandul” suami saja. Sampai-sampai rela menghilangkan karakter pribadi. Menurut saya, nama adalah karakter pribadi. Orang mengenal  dan mengingat kita sebagai “orang- yang- itu”adalah karena nama.  Contohnya, dilingkungan saya ada beberapa yang dipanggil ibu Agus. Kalau misalnya sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan salah satu ibu Agus tadi masih diperlukan informasi tambahan, terlalu banyak bahkan. Ibu Agus yang rumahnya nomer A000 yang suaminya kerja di NNN, itu lho yang rambutnya begini... Khan..akhirnya juga membutuhkan deskripsi individual. Kalau saja si Ibu Agus- Ibu Agus ini menggunakan nama mereka sendiri, pastinya lebih mudah mengenali. Bu Sinta itu bukan bu Lina, beda lagi dengan bu Siti. Mudah khan? Tetapi kembali lagi kepada mindset individu pemilik nama. Boleh-boleh saja sih bangga dengan suami masing-masing ---masak bangga dengan suami tetangga?.... tetapi jangan sampai kita perempuan membunuh karakter pribadi. Ingat, masing-masing dari kita dilahirkan istimewa, tidak ada yang seragam dengan yang lain bahkan selembar rambut pun. Sesama perempuan saja beda-beda, apalagi ini dengan suami kita yang pasti beda gender. Nama mengacu kepada gender. Meskipun dengan embel-embel Ibu, tetap saja lebih afdol menggunakan nama sendiri. Ibu Umi bukan Ibu Yudhi. 


Ibu adalah sebutan untuk perempuan. Lebih pas kalau di pakai dengan nama perempuan. Kalau tidak percaya lihat saja cara penyebutan ibu negara misalnya,  Ibu Iriana Joko Widodo. Nama asli beliau masih disebutkan.  Masih belum paham juga? Ibu Kartini? Cut Nya’ Dien? Dewi Sartika? Bukankah mereka gemilang dengan nama mereka masing-masing?  Cut Nya’ Dien bersuami seorang pejuang yang hebat, tetapi beliau tidak memakai nama suaminya, khan? 


Culture? Saya kurang tahu apakah kebiasaan menggunakan nama suami itu asli dari budaya kita atau nyontek orang Barat. Western people mempunyai kebiasaan menggunakan sebutan Mr & Mrs + family name, bisa nama keluarga suami kalau sudah menikah, misalnya Mrs. Smith. Para perempuan ini akan muncul sebagai individu merdeka hanya ketika mengisi formulir. Mau tidak mau mereka harus menyebutkan nama lahir pemberian orang tua. Lhah khan? Masih butuh nama sendiri to?

Menghormati suami? Well, terlalu dangkal saya bilang. Dalam ajaran agama yang saya anut setahu saya tidak ada yang menyebutkan aturan untuk menggunakan nama suami sebagai salah satu cara menghormatinya. Jadi saya santai saja karena saya tidak melanggar ajaran agama karena bersikeras menggunakan nama sendiri. Malah saya pernah baca, memanggil Papah/ Mamah, Pak/ Bu, Umi/ Abi kepada pasangan kita saja kurang pas artinya. Kita panggil Papah ke ayah kita khan? Masak suami kita selevel ayah kita? Tapi sayangnya adek-adek yang lagi pacaran sudah panggil Papah Mamah ke pasangannya.... *yaelah ....jadian aja baru 3 hari udah papah mamah...paling minggu depan udah putus.


Bagi sebagian orang mungkin pendapat saya ini agak berlebihan dan nyinyir. Biar saja. Saya hanya merasa tidak nyaman ketika karakter pribadi saya serasa dimatikan begitu saja atas nama ikatan pernikahan. Buat saya nama adalah unsur karakter pribadi. Semakin sering nama saya tidak disebut semakin cepat pula orang melupakan siapa saya dan pada akhirnya adalah character assassination. Lalu apa bedanya dengan tahanan yang dikenali dari nomornya saja? Dibilang cuma mau eksis, yaaa...boleh juga. Ibu-ibu lain ngeksis dengan selfie, saya dengan membiasakan memakai nama sendiri ketika bersosialisasi dengan tetangga. 


Sebenarnya dari sekian baris kegalauan saya diatas, hanya satu yang paling saya takutkan. Kalau tidak membiasakan memaki nama sendiri, nama perempuan kita  hanya muncul sesekali  saja ketika anak kita membuka rekening di bank. Itupun kalau ingat. Siapa nama gadis ibu kandung anda? Hanya untuk mengingat nama ibu saja harus buka rekening. Ngeri bukan?