Mencari Mudik
Seumur-umur, belum pernah saya menjalani mudik yang
sebenarnya meskipun bertahun-tahun tinggal di luar kota kelahiran saya. Beberapa kali saya mencoba menjalani
percobaan mudik tetapi rasanya masih kurang greng karena jarak yang kurang jauh
dan hampir selalu tidak tepat waktu.
Pertama kali saya melakukan percobaan mudik adalah ketika
saya masih kelas 1 SMA. Pada waktu itu
saya dimudikkan orang tua saya ke desa nenek moyang saya di perbukitan kapur di
perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebelah selatan, yaitu Punung, Pacitan. Waktu itu saya diantar almarhum ibu naik bis
dari Madiun ke Ponorogo, lalu lanjut dengan bis kecil jurusan
Ponorogo-Pacitan. Seingat saya ketika
itu hanya dua atau tiga hari menjelang Idul Fitri. Bis Aneka Jaya yang saya naiki dari Ponorogo
ke Pacitan sangat penuh sesak. Penumpangnya
beragam mulai dari penumpang swasta macam saya, pedagang, orang mau belanja ke
pasar, ayam dan pisang yang mau dijual, sampai orang yang mau mencuci di
sungai. Bisa dibayangkan suasananya,
baunya, dan suhu udaranya. Menakjubkan....
Pada
jaman itu hanya ada satu atau dua armada bis yang melayani trayek ini, yaitu
Aneka Jaya dan Jaya. Jadi kalau ada
musim-musim seperti mudik atau liburan pasti penuh
sesak. Sampai di Pacitan saya harus
masih naik bis lagi jurusan Pacitan- Solo, karena desa nenek moyang dari ayah
saya terletak di jalur Pacitan –Solo dan hanya beberapa kilometer dari
perbatasan. Penuh lagi...... namanya
juga mudik. Sampai di desa saya bertemu
dengan sanak saudara yang juga ada yang telah tiba dari kota-kota besar seperti
Jakarta. Meskipun saya sudah melalui
perjalanan yang tidak mudah, tapi saya merasa ini belum bisa disebut mudik yang
sebenarnya.
Percobaan mudik kedua saya adalah ketika saya telah lulus
kuliah dan bekerja di Madiun. Waktu itu
beberapa bulan setelah bapak meninggal yang didahului ibu sepuluh bulan
sebelumnya. Saya mencoba mudik sendiri
kali ini karena saya berpikir buat apa di rumah toh juga tidak ada siapa-siapa
lagi, hanya satu kakak saya. Kali ini
saya mudik ke Magelang, ke tempat kakak sulung saya. Setelah sholat Ied dan khotbah belum usai,
saya langsung kabur mengambil backpack saya dirumah dan berangkat dengan bis
Mira AC ke arah Jogja. Sepanjang jalan
Madiun- Ngawi, saya melihat masih banyak warga yang menjalankan sholat
Ied. Tapi sayang, mudik kali ini terlalu
mudah, bagaimana tidak bis yang saya naiki kosong melompong. Hanya ada saya dan tiga atau empat penumpang
yang turun di Jogja. Seperti bis pribadi
pokoknya. Saya duduk paling depan dan ngobrol dengan pak Sopir dan pak
Kondektur yang terheran-heran dengan saya yang pergi sendirian di hari raya
Idul Fitri. Rupanya saya salah jadwal
mudik, kalau pas hari-H ternyata tidak ada lagi yang bepergian. :D Mudik yang gagal... karena terlalu mudah
dan nyaman. Dari Jogja ke Magelang pun juga tidak terlalu melelahkan, saya naik
bis jurusan Jogja- Semarang yang kebetulan berpendingin udara dan tidak terlalu
penuh meskipun banyak penumpang. Setelah
percobaan mudik yang gagal itu sepertinya saya tidak melakukan mudik lagi. Setiap hari Raya saya habiskan di rumah kakak
laki-laki saya yang satu lagi. Kebetulan
dia tinggal di pinggir kota jadi masih ada tradisi berkunjung ke tetangga,
lumayanlah masih ada suasana Idul Fitri.
Beberapa
tahun setelah mudik gagal itu, saya menikah dan menetap di Solo sampai
sekarang. Di sini ada tradisi kumpul
keluarga besar dari suami saya setiap hari raya Idul Fitri, tepatnya hari kedua.
Keluarga besar itu memang benar-benar besar. Semua keluarga dari segala penjuru
tanah air berkumpul di sebuah rumah di Kampung Gajahan, Solo. Wow, pengalaman pertama saya mengikuti
tradisi yang sangat baru buat saya. Saya
harus berkenalan dengan semua orang yang hingga saat inipun saya tidak ingat
betul ini siapa itu siapa dari keluarga mana. Merekalah the true mudikers karena setiap tahun mereka bersusah payah
melakukan perjalanan sangat jauh dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Tegal, bahkan
seingat saya ada yang dari luar Jawa juga hanya untuk datang ke Solo dan
bersilaturahmi dengan keluarga besar. Saya
tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika bisa sampai di Solo setelah
meniti jalan aspal berkilo-kilometer dibawah terik matahari. Tetapi untungnya
mereka bermobil semua. Karena ada acara
tahnan ini, sayapun mengalah menunda mudik pribadi saya. Saya mudik setelah
selesai acara, jadi ceritanya lebih parah....
Mudik melawan arus. Bagaimana tidak,
ketika orang-orang dari arah Jawa Timur balik ke barat, ke arah Jakarta, saya
dan suami saya baru mudik ke timur. Jadi
tahun lalu saya tidak mudik ke timur, tetapi ke barat, ke Magelang ke rumah
kakak sulung saya. Saya masih belum kapok mencoba mudik. Saya berangkat setelah acara kumpul keluarga
besar seperti biasa. Kira-kira jam 4
sore dari arah Kartosuro saya menuju ke arah barat menuju Boyolali. Sepanjang jalan saya beriringan dengan mudikers yang sudah mulai balik ke Jakartadan
kota sekitarnya. Saya mengambil jalur
Selo – Ketep – Magelang. Karena saya
berangkat sore hari, alhasil saya sampai di Selo sudah senja dan mulai
gelap. Udara dingin pun mulai menyerang
karena kabut sudah saatnya turun. Tetapi
saya menikmati perjalanan ini karena baru pertama kalinya melewati jalur ini di
tengah gelap malam. Agak seram sih,
apalagi ketika bertemu penjual sate Madura di kegelapan jalan yang berliku....
tidak terjadi apa-apa cuma kaget dan heran.
Siapa yang beli sate ya? Padahal tempat berpapasan dengan penjual sate
krincing itu jauh dari pemukiman. Setelah
habis jalur berliku, tibalah saya memasuki jalan raya Jogja –Magelang. Banyak kendaraan di kedua arah, tetapi tidak
macet. Saya hanya semalam di Magelang,
esok siangnya saya harus kembali ke Solo.
Atas rekomendasi keponakan saya, saya mencoba jalur Kopeng. Jalur ini baru buat saya, tetapi pernah sekali
ketika saya masih kecil saya naik bis lewat jalur ini. Sepanjang Magelang – Kopeng – Salatiga tidak
ada masalah berarti, jalur cukup lancar. Begitu lepas jalur berliku itu,
tibalah saya di arena kemacetan luar biasa sepanjang Salatiga – Ampel,
Boyolali. Dua arah jalan sulit bergerak.
Kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk bercampur dengan motor dan mobil
pribadi yang berebut jalan. Saat itu
kira-kira jam dua siang, bisa dibayangkan rasanya, panas terik dan debu yang
beterbangan. Macet itu berlangsung
sekitar 10 kilometer lebih, sampai motor harus turun ke bahu jalan yang terbuat
dari tanah sehingga makin kental debu yang berhamburan. Beberapa pemuda setempat menawarkan jasa
jalur alternatif melewati jalan desa. Dari yang saya temukan di ujung macet,
saya tidak
menemukan kejadian apa-apa yang menyebabkan macet. Lalu kenapa bisa macet ya? Lepas Ampel, Boyolali, jalur mulai ramah lagi
balik menuju Solo. Tetapi saya belum juga
menemukan the true mudik.
Setiap tahun orang dari segala penjuru melakukan mudik ke kampung halaman. Mengapa? Apa yang dicari? Terlepas dari agama apapun, mudik adalah masalah spiritual. Orang mengejar kepuasan rohani dengan menembus belantara macet di atas jalan raya. Macet, panas, kendaraan mogok , kehilangan, akan terbayar sah ketika sampai di kampung halaman. Tidak ada yang bisa menukar rasa ini. Bertemu dengan keluarga yang lama tidak berjumpa, berbakti kepada orang tua, bertukar cerita, ngemil makanan nenek moyang, adalah secuil dari proses mudik. Tidak usahlah berpikir negatifnya mudik, yang kecelakaanlah, yang jauhlah, yang pamerlah, yang tidak ada tuntunannya dalam agamalah.... Pikirkan saja apa yang bisa didapat dari sebuah perjalanan spiritual ini. Mudik adalah tradisi yang dimiliki semua orang, tidak terbatas orang muslim. Kalau ada yang mengatakan mudik tidak ada dalam syariat, biarkan saja. Saya pikir tradisi dan syariat adalah hal terpisah. Kita tinggal di tempat yang berbeda pasti punya kebiasaan yang berbeda. Tidak bisa disamakan satu tempat dengan yang lain. Kalau di negara Arab sana lepas sholat Idul Fitri langsung balik kerja, biarkan saja karena mereka tidak punya tradisi seperti kita. Kalau ada yang berusaha menghapuskan tradisi ini, itu adalah orang yang telah mati rasa, terlepas dari apa yang dipercayainya. Mudik adalah milik kita.
Jadi, selamat mudik Kawan-kawan. Hati-hati di jalan. Semoga Selamat sampai tujuan.