Total Tayangan Halaman

Rabu, 15 Agustus 2012


Mencari Mudik



Seumur-umur, belum pernah saya menjalani mudik yang sebenarnya meskipun bertahun-tahun tinggal di luar kota kelahiran saya.  Beberapa kali saya mencoba menjalani percobaan mudik tetapi rasanya masih kurang greng karena jarak yang kurang jauh dan hampir selalu tidak tepat waktu.


Pertama kali saya melakukan percobaan mudik adalah ketika saya masih kelas 1 SMA.  Pada waktu itu saya dimudikkan orang tua saya ke desa nenek moyang saya di perbukitan kapur di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebelah selatan, yaitu Punung, Pacitan.  Waktu itu saya diantar almarhum ibu naik bis dari Madiun ke Ponorogo, lalu lanjut dengan bis kecil jurusan Ponorogo-Pacitan.  Seingat saya ketika itu hanya dua atau tiga hari menjelang Idul Fitri.  Bis Aneka Jaya yang saya naiki dari Ponorogo ke Pacitan sangat penuh sesak.  Penumpangnya beragam mulai dari penumpang swasta macam saya, pedagang, orang mau belanja ke pasar, ayam dan pisang yang mau dijual, sampai orang yang mau mencuci di sungai.  Bisa dibayangkan suasananya, baunya, dan suhu udaranya.   Menakjubkan....    Pada jaman itu hanya ada satu atau dua armada bis yang melayani trayek ini, yaitu Aneka Jaya dan Jaya.  Jadi kalau ada musim-musim seperti mudik atau liburan pasti penuh sesak.  Sampai di Pacitan saya harus masih naik bis lagi jurusan Pacitan- Solo, karena desa nenek moyang dari ayah saya terletak di jalur Pacitan –Solo dan hanya beberapa kilometer dari perbatasan.  Penuh lagi...... namanya juga mudik.  Sampai di desa saya bertemu dengan sanak saudara yang juga ada yang telah tiba dari kota-kota besar seperti Jakarta.  Meskipun saya sudah melalui perjalanan yang tidak mudah, tapi saya merasa ini belum bisa disebut mudik yang sebenarnya. 
Percobaan mudik kedua saya adalah ketika saya telah lulus kuliah dan bekerja di Madiun.  Waktu itu beberapa bulan setelah bapak meninggal yang didahului ibu sepuluh bulan sebelumnya.  Saya mencoba mudik sendiri kali ini karena saya berpikir buat apa di rumah toh juga tidak ada siapa-siapa lagi, hanya satu kakak saya.  Kali ini saya mudik ke Magelang, ke tempat kakak sulung saya.  Setelah sholat Ied dan khotbah belum usai, saya langsung kabur mengambil backpack saya dirumah dan berangkat dengan bis Mira AC ke arah Jogja.  Sepanjang jalan Madiun- Ngawi, saya melihat masih banyak warga yang menjalankan sholat Ied.  Tapi sayang, mudik kali ini terlalu mudah, bagaimana tidak bis yang saya naiki kosong melompong.  Hanya ada saya dan tiga atau empat penumpang yang turun di Jogja.  Seperti bis pribadi pokoknya. Saya duduk paling depan dan ngobrol dengan pak Sopir dan pak Kondektur yang terheran-heran dengan saya yang pergi sendirian di hari raya Idul Fitri.  Rupanya saya salah jadwal mudik, kalau pas hari-H ternyata tidak ada lagi yang bepergian.  :D Mudik yang gagal... karena terlalu mudah dan nyaman. Dari Jogja ke Magelang pun juga tidak terlalu melelahkan, saya naik bis jurusan Jogja- Semarang yang kebetulan berpendingin udara dan tidak terlalu penuh meskipun banyak penumpang.  Setelah percobaan mudik yang gagal itu sepertinya saya tidak melakukan mudik lagi.  Setiap hari Raya saya habiskan di rumah kakak laki-laki saya yang satu lagi.  Kebetulan dia tinggal di pinggir kota jadi masih ada tradisi berkunjung ke tetangga, lumayanlah masih ada suasana Idul Fitri.
Beberapa tahun setelah mudik gagal itu, saya menikah dan menetap di Solo sampai sekarang.  Di sini ada tradisi kumpul keluarga besar dari suami saya setiap hari raya Idul Fitri, tepatnya hari kedua. Keluarga besar itu memang benar-benar besar. Semua keluarga dari segala penjuru tanah air berkumpul di sebuah rumah di Kampung Gajahan, Solo.  Wow, pengalaman pertama saya mengikuti tradisi yang sangat baru buat saya.  Saya harus berkenalan dengan semua orang yang hingga saat inipun saya tidak ingat betul ini siapa itu siapa dari keluarga mana. Merekalah the true mudikers karena setiap tahun mereka bersusah payah melakukan perjalanan sangat jauh dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Tegal, bahkan seingat saya ada yang dari luar Jawa juga hanya untuk datang ke Solo dan bersilaturahmi dengan keluarga besar.  Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika bisa sampai di Solo setelah meniti jalan aspal berkilo-kilometer dibawah terik matahari. Tetapi untungnya mereka bermobil semua.  Karena ada acara tahnan ini, sayapun mengalah menunda mudik pribadi saya. Saya mudik setelah selesai acara, jadi ceritanya lebih parah....  Mudik melawan arus.  Bagaimana tidak, ketika orang-orang dari arah Jawa Timur balik ke barat, ke arah Jakarta, saya dan suami saya baru mudik ke timur.  Jadi tahun lalu saya tidak mudik ke timur, tetapi ke barat, ke Magelang ke rumah kakak sulung saya. Saya masih belum kapok mencoba mudik.  Saya berangkat setelah acara kumpul keluarga besar seperti biasa.  Kira-kira jam 4 sore dari arah Kartosuro saya menuju ke arah barat menuju Boyolali.  Sepanjang jalan saya beriringan dengan mudikers yang sudah mulai balik ke Jakartadan kota sekitarnya.  Saya mengambil jalur Selo – Ketep – Magelang.  Karena saya berangkat sore hari, alhasil saya sampai di Selo sudah senja dan mulai gelap.  Udara dingin pun mulai menyerang karena kabut sudah saatnya turun.  Tetapi saya menikmati perjalanan ini karena baru pertama kalinya melewati jalur ini di tengah gelap malam.  Agak seram sih, apalagi ketika bertemu penjual sate Madura di kegelapan jalan yang berliku.... tidak terjadi apa-apa cuma kaget dan heran.  Siapa yang beli sate ya? Padahal tempat berpapasan dengan penjual sate krincing itu jauh dari pemukiman.  Setelah habis jalur berliku, tibalah saya memasuki jalan raya Jogja –Magelang.  Banyak kendaraan di kedua arah, tetapi tidak macet.  Saya hanya semalam di Magelang, esok siangnya saya harus kembali ke Solo.  Atas rekomendasi keponakan saya, saya mencoba jalur Kopeng.  Jalur ini baru buat saya, tetapi pernah sekali ketika saya masih kecil saya naik bis lewat jalur ini.  Sepanjang Magelang – Kopeng – Salatiga tidak ada masalah berarti, jalur cukup lancar. Begitu lepas jalur berliku itu, tibalah saya di arena kemacetan luar biasa sepanjang Salatiga – Ampel, Boyolali.  Dua arah jalan sulit bergerak. Kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk bercampur dengan motor dan mobil pribadi yang berebut jalan.  Saat itu kira-kira jam dua siang, bisa dibayangkan rasanya, panas terik dan debu yang beterbangan.  Macet itu berlangsung sekitar 10 kilometer lebih, sampai motor harus turun ke bahu jalan yang terbuat dari tanah sehingga makin kental debu yang berhamburan.  Beberapa pemuda setempat menawarkan jasa jalur alternatif melewati jalan desa. Dari yang saya temukan di ujung macet, saya tidak menemukan kejadian apa-apa yang menyebabkan macet.  Lalu kenapa bisa macet ya?  Lepas Ampel, Boyolali, jalur mulai ramah lagi balik menuju Solo.  Tetapi saya belum juga menemukan the true mudik.



Setiap tahun orang dari segala penjuru melakukan mudik ke kampung halaman. Mengapa?  Apa yang dicari? Terlepas dari agama apapun, mudik adalah masalah spiritual.  Orang mengejar kepuasan rohani dengan menembus belantara macet di atas jalan raya. Macet, panas, kendaraan mogok , kehilangan, akan terbayar sah ketika sampai di kampung halaman.  Tidak ada yang bisa menukar rasa ini.  Bertemu dengan keluarga yang lama tidak berjumpa, berbakti kepada orang tua, bertukar cerita, ngemil makanan nenek moyang, adalah secuil dari proses mudik.  Tidak usahlah berpikir negatifnya mudik, yang kecelakaanlah, yang jauhlah, yang pamerlah, yang tidak ada tuntunannya dalam agamalah....  Pikirkan saja apa yang bisa didapat dari sebuah perjalanan spiritual ini.  Mudik adalah tradisi yang dimiliki semua orang, tidak terbatas orang muslim.  Kalau ada yang mengatakan mudik tidak ada dalam syariat, biarkan saja. Saya pikir tradisi dan syariat adalah hal terpisah.  Kita tinggal di tempat yang berbeda pasti punya kebiasaan yang berbeda. Tidak bisa disamakan satu tempat dengan yang lain.  Kalau di negara Arab sana lepas sholat Idul Fitri langsung balik kerja, biarkan saja karena mereka tidak punya tradisi seperti kita.  Kalau ada yang berusaha menghapuskan tradisi ini, itu adalah orang yang telah mati rasa, terlepas dari apa yang dipercayainya.  Mudik adalah milik kita.
Jadi, selamat mudik Kawan-kawan. Hati-hati di jalan.  Semoga Selamat sampai tujuan.