Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Agustus 2015

Omong Kopi



Omong  Kopi
A cup of coffee a day keeps the doctors away.
(Syarat dan ketentuan berlaku)

Kopi telah menjadi bagian dari hidup saya sejak lama, bahkan sejak saya masih kanak-kanak.  Bukan tanpa cerita kalau saya sampai sekarang sangat menggemari minuman berwarna hitam dengan rasa pahit dan beraroma harum itu.

Cerita kopi saya dimulai ketika saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1983an, ketika saya sudah paham dolan dengan teman. Sayangnya pada saat itu tidak banyak anak seusia saya  disekitaran rumah karena beberapa bagian kampung saya masih berupa sawah, tegalan, dan tanah kosong. Jadi saya lebih banyak dirumah saja. Tetapi satu dua kali ikut ngelayap juga dengan kakak laki-laki saya. Sampai suatu saat kenal dengan anak pemilik warung belakang rumah yang seusia kakak saya. Mereka adalah dua gadis ABG pada saat itu. Karena saya miskin teman perempuan, maka saya jadi sering bermain dengan mbak Wati dan mbak Sri. Mereka berdua sangat rajin. Setiap hari bergantian membantu orang tua mereka di warung. Mbak Wati tugasnya menggoreng cemilan semacam tempe, tahu, ketela, pisang dan lain-lain. Sementara mbak Sri yang lebih muda bertugas membuatkan minuman membantu si bapak, Mbah Kenya, untuk pengunjung warung.  Lek Pithi, ibu mereka  berada di garis depan melayani pelanggan yang makan ditempat atau yang pesan bungkus.  Makanan utama di warung itu adalah  khas Madiun, nasi pecel.  Menu sampingannya adalah cemilan gorengan. Warung mungil itu selalu padat dengan pembeli setiap hari mulai pukul 5:30an, dan seingat saya akan selalu buka sampai sore tetapi tanpa nasi pecel, hanya kopi dan cemilan.
gilingan kopi jadoel
Warung kecil bercat biru itu terletak dibelakang  rumah saya dan berbatasan langsung dengan rel kereta pengangkut tebu ke pabrik gula. Sementara rumah mbah Kenya berada agak jauh dibelakang warung dekat diantara rumah saya dan warungnya.  Rumah itu kecil, berdinding bambu dan berlantai tanah, tetapi saya suka berlama-lama disana untuk ikut –ikutan ngobrol dengan mbak-mbak itu, padahal juga saya belum paham apa obrolan mereka.  Kalau saya sudah mulai dicuekin karena mereka asyik dengan teman-teman sebayanya, saya mulai bergerilya mencari kegiatan sendiri.  Satu benda yang sangat menarik perhatian saya ketika bergerilya adalah  sebuah alat penggiling kopi!!! Alat penggiling kopi yang sudah cukup tua, terbuat dari besi baja yang cukup keras dan berat. Warnanya gelap sesuai usianya, mungkin lebih tua daripada saya pada saat itu.  bentuknya mirip dengan alat penggiling kopi tradisional jaman sekarang, tetapi lebih besar dengan sebuah bagian berbentuk corong lebar dibagian atas, sepasang roda besi bergerigi atau apalah itu didalamnya yang bergerak menggerus biji kopi, serta sebuah tuas penggerak yang dipakai untuk memutar penggiling. Bagian terakhir inilah yang sangat menarik buat saya. Saya selalu bermain dengan tuas itu, berpura-pura menggiling kopi. Kadang-kadang masih ada sisa bubuk kopi yang keluar dari penggiling itu. Saya mengambilnya untuk bermain pasaran. Kalaupun tidak ingin bermain pasaran, saya cuma mengambili bubuk kopi itu dan mencium-cium aroma harumnya sambil mondar- mandir disekitar mbak-mbak yang lagi ngerumpi....(*kasihan anak kecil dicuekin...)

Karena mbak Wati dan mbak Sri harus membantu orang tua mereka, kadang-kadang mereka juga tidak sempat hang out di rumah mereka seperti biasanya. Tetapi tetap saja setiap sore saya main kerumah mereka, kadang juga diwarungnya.  Ketika mbak-mbak sedang sibuk, sasaran saya adalah bapak mereka, Mbah Kenya.  Si Bapak yang asli Ponorogo ini berperawakan kekar khas warok dan berkulit gelap, tetapi seingat saya tidak berkumis sebagaimana para warok. Meskipun begitu si bapak cukup ramah dengan anak-anak. Kalau saya tidak punya teman bermain, saya suka menungguinya menggiling kopi disore hari.  Sebelum digiling, kopi disangrai dulu oleh Lek Pithi atau si mbak.   Entahlah, saya juga menunggui proses yang panas ini, didapur dengan tungku berbahan bakar kayu.  Biji kopi tidak boleh dibiarkan diam karena bisa gosong, jadi harus terus dibolak-balik sampai mencapai kematangan yang dimaksud supaya tidak pahit dan berbau sangit.  Setelah disangrai, kopi dianginanginkan di sebuah tampah sampai cukup dingin.  Satu dua kali saya iseng menggigit biji kopi yang telah disangrai.....weeek....pahit bow! Hahahaha.... Lalu setelah itu,  bagian yang paling saya suka, menggiling! Yippee... Mbah Kenya dengan kostum kebesarannya, celana warok hitam dan kaos singlet putih, segera nangkring di singgasananya, sebuah dingklik tinggi dibelakang penggiling kopi. Dengan sigap, ia mengisikan biji-biji kopi yang telah disangrai kemulut penggiling dan mulailah ia memutar tuas penggerak gilingan. Suara biji kopi tergerus roda besi ini cukup menarik buat saya, seperti musik. Aroma kopi yang freshly roasted membuat fly... (*hahaha...lebay ) Saya betah sekali berlama-lama menunggui mbah Kenya menggiling kopi. Kadang saya iseng ikut-ikutan memutar tuasnya, yang ternyata berat karena penggilingnya berisi biji kopi.  Bubuk kopi yang keluar dari penggiling tidak langsung bisa dibuat kopi tetapi masih harus diayak lagi karena masih sedikit kasar. Sisa ayakan di giling lagi, demikian beberapa kali dilakukan sampai halus semua. Sungguh proses yang panjang untuk secangkir kopi.
sarapan ideal (foto koleksi pribadi)
Didaerah Madiun dan sekitarnya, budaya ngopi pagi cukup kuat.  Hampir setiap laki-laki berusia produktif, selalu menyempatkan diri ngopi diwarung kopi di pagi hari sekedar untuk bertegur sapa dan bertukar cerita dengan tetangga atau sekalian sarapan juga.  Saya lahir dan tumbuh besar di Madiun, kota kecil hampir di ujung barat wilayah Jawa Timur.  Saya menyaksikan kebiasaan ini hampir setiap pagi sejak saya harus bisa membeli sarapan sendiri (*maksudnya sudah bisa disuruh beli-beli).  Saya selalu membeli sarapan nasi pecel diwarung mbah Kenya belakang rumah saya. Sambil mengantri, saya secara tidak sadar mengamati kebiasaan minum kopi bapak-bapak tetangga saya. Sambil asyik riuh bercerita, mereka meneguk secangkir kecil kopi hitam hasil gilingan Mbah Kenya sore sebelumnya dengan disertai gangguan dari saya ...hahahaha... Saya dengan seragam merah putih dengan patuh mengantri di dingklik panjang disamping lek Pithi yang dengan terampil meracik nasi pecel dan membungkusnya dengan daun pisang segar. Selama masa pengantrian inilah mungkin secara tidak sadar saya menyerap kebiasaan minum kopi orang-orang disekitar saya. Mungkin pada saat itu saya sendiri belum minum kopi, tetapi saya sudah sangat familiar dengan aroma dan proses pembuatan bubuk kopi secara tradisional.  Keluarga saya pun bukan coffee drinker, bapak ibu saya adalah peminum teh.  Bapak saya mungkin adalah pengecualian dari bapak-bapak yang ada disekitaran rumah yang ngopi tiap pagi. Bapak saya tidak pernah nongkrong di warung, apapun. Entah saya tidak pernah menanyakan alasannya.  Mungkin karena bapak saya dulunya adalah guru yang harus berangkat ke sekolah pagi-pagi sehingga tidak sempat ngopi-ngopi.  Tetapi kebiasaan ngopi-ngopi ini dilakukan dua kakak laki-laki saya. Setiap pagi dan sore  mereka nongkrong diwarung kopi untuk sekedar ngobrol dengan teman sejawat mereka. Sayangnya saya perempuan jadi saya tidak bisa ikut mereka. Bukannya dilarang sih, cuma jarang ada perempuan yang ikut nimbrung di tongkrongan para lelaki di warung kopi. Jadi hanya saya mengamati kebiasaaan ini dari jauh saja.  Kebiasaan ngopi pagi itu masih berlangsung sampai hari ini dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Madiun dan sekitarnya, meskipun mungkin sudah jarang yang melakukan proses panjang untuk mengolah kopi seperti mbah Kenya dulu.  Rupanya budaya kopi instan tidak begitu berpengaruh dengan budaya nongkrong kami. :D Apapun kopinya, yang penting bisa ngopi pagi bersama kawan.

Saya sendiri tidak begitu ingat kapan pertama kalinya saya benar-benar meminum kopi. Seingat saya hanya satu dua kali kadang ibu saya membuat segelas kopi pagi-pagi dan saya ikut meminumnya. Awal pengalaman minum kopi saya sebenarnya  berhubungan dengan perlawanan saya terhadap hal-hal berbau klenik. Whaa???? Betul. Bapak ibu saya orang Jawa asli yang masih mempraktekkan tradisi leluhur. Contohnya setiap malam Jumat selalu membeli bunga untuk di taruh di gelas berisi air, entah untuk apa saya tidak tahu. Dan yang paling dipatuhi adalah membuat sesajen ketika ada hajatan. Di keluarga saya sering ada kenduren/ kenduri/ selamatan untuk memperingati hari meninggalnya kakek nenek saya atau sekedar syukuran. Saya yang pada saat itu sekolah di madrasah, mendapat pelajaran bahwa sesajen dan sebangsanya itu tidak boleh. Saya masih ingusan, kalau melawan frontal pasti akan dimarahi orang serumah. Maka saya memutar akal bagaimana membuat mereka sadar bahwa sajen itu tidak perlu dan hanya buang-buang makanan. Akhirnya saya dapat ide. Suatu ketika ada hajatan peringatan meninggalnya kakek atau nenek saya lupa. Seperti biasa, satu tampah sajen telah siap, berisi nasi beserta lauk pauk komplit, kopi, teh, rokok klobot, dan bunga.  Sajen ini biasanya diletakkan dikamar bapak, diatas buffet. Ketika semua orang, tamu undangan dan keluarga saya,  berkumpul untuk berdoa di ruang tengah bersama pak modin, saya menyelinap ke kamar bapak. Karena saya pendek, saya memanjat kursi untuk bisa meraih tampah sajen. Saya bingung mau pilih apa, kalau nasi pasti makannya lama, belum selesai bisa-bisa ketahuan nih... akhirnya saya pilih minumannya saja. Saya coba teh...bweeeh!!!!!....teh tubruk tanpa gula!!! Saya batal meminumnya. Akhirnya saya ganti coba minum kopi...aaaah manis....langsung tenggak habis! Pas habis, pas doa selesai, orang-orang lalu sibuk membagi berkat (*makanan untuk dibawa pulang) sayapun selesai dengan misi saya.  Saya pura-pura ikut sibuk biar perbuatan saya tidak ketahuan. Ketika semua selesai, rumah sudah sepi, kesibukan sudah berhenti, barulah bapak saya sadar, gelas tehnya tutupnya tidak ditempat dan kopinya habis ! Bapak marah sih...tetapi saya bilang kan itu diminum oleh Mbah. Hahahaha....entah bapak saya jadi marah betulan atau tidak mendengar jawaban saya.... Itu awal pengalaman saya menginjeksikan kafein kedalam darah saya. Selanjutnya berita si Mbah yang pulang setiap hajatan untuk minum kopi tersebar sampai ke tukang masak yang sering membantu dirumah. Lek Yah yang selalu menyiapkan ubo rampe sajen pun selalu menyiapkan kopi manis untuk si “Mbah”. Si “Mbah” ini pun gembira dan selalu menghabiskan kopi yang disediakan. Hingga suatu saat muncul mbah yang lain, dengan misi yang berbeda, yang tak lain adalah kakak laki-laki saya. Misinya adalah tumpas habis ayam ingkung.... wah kalau ini Mbah yang mainstream.
Saat ini, kalau saya harus transfusi darah, mungkin akan sama sulitnya dengan orang-orang dengan darah bertype Rh-(negatif).  Orang dengan darah Rh- tidak bisa menerima transfusi dari sembarang darah, harus sama-sama Rh-. Begitu pula dengan saya, mungkin saya harus mencari darah Caffeine+, kafein positif,  karena 50% plasma darah saya mengandung kafein :D

(Gambar gilingan kopi dari http://kedaibarangantik.blogspot.com/
(Gambar sesajen dari  http://patke.heck.in/makna-simbolik-di-balik-sesaji.xhtml)





Rabu, 27 Mei 2015

Q /kju/



Q /kju/

The last thing I remember is my bike flew on the air and my helmet fell  Suddenly, I’m awaken by a strange, but familiar smell  and the cold surface beneath my back.   I’m  trying  to sit but my body is sore all over.  What am I wearing? Nothing but white cloth covering my whole body? Where’re my bike pants? My helmet and my biking shoes? I feel panicked as I’m afraid of darkness, but this room is so dimly lit by ...., I don’t know where the light source is.  I’m trying to touch my painful head but my hands are tightly strapped in front of my chest. I’m about to scream but the cotton is in my mouth...yuck!!! I spit it out.
And, where am I now?  Not even until I’m able to figure out where I am, a very big door is suddenly wide opened.  A very bright light shines and hurts my eyes.  Two tall figures are entering the room where I lay on my back.  They bring a gigantic book-like thing and shuffle the pages noisily. 
“Aaah...here it is. You’re Anita, aren’t you?”
“Yes, Sir. But, my I know where I am?”
“You are not supposed to ask questions!!!”, one of the figures shouts. My ears hurts. 
“OK, dear. We’re the angels of afterlife realm. So, just answer our questions, will you?” another one says softly.
“Yes, Sir”, I say. Cold sweat floods my forehead and makes the cloth on my face  wet.  Angels? My God. I’m dead? Really? I was just.... Oh, I just can believe it. But I may not ask question!
“Let’s begin. I will ask you questions. But when your answer is wrong, my brother will hit you with a whip. Would that be understood?”
I nod. The butterflies are in my stomach.
“Who is your God?”
“Alloh”.
“Wrong. It’s Google! It knows everything, ” the figure with a loud voice then hit me with his whip.  Ouuchhh! My legs feel very painful.
“Next. What is your gadget?”. What? An angel is asking about my gadget??? Seriously?
“Gadget???? Well,..what ,..I .. I ...”
“Cmooon! You’re wasting our time!”
 “ A smartphone..... but  locally made.... che...”.
“Wrooooong!!! You must have Apple phone.” Blaarr! The whip smashes my belly. Aawwwww! That hurts.
 “Next!... How many social media accounts  do you have?”
“What???”, I ask.
“No, question!”
“OK...OK... one, Sir, just Facebook.”
Blaaaarr!!! Again...my legs ..oh...my legs...
“Let’s try again. Did you see Fast and Furious 7 and Avengers 2 on the premiere?”
“Ha!!!?? Wha...., no, Sir. I just downloaded it some weeks after. Illegally...Sorry”, I’m trembling now.
“What the....??!!” Blaaarr...now my belly again. Ouch..ouch..ouch..
“What are you, my dear? Your record is really baaaaad!!! Now, How many times do you update your socmed status in a day?”
“I ...eerrr...open my social media when I have free time.. I...”
Blaaar!!! “ Old-fashioned little human!!!! Yyou must update your status every time you have things to do or say!!! Would that be understood???”.
“Yyyyees, Sir...oh, my head..”
“Seems that you never say your prayer either, do you?”
“I always do Sir, really!!”
“Noooo...you lie!!! You once condemned your friends who always pray in social media!! That’s sinful, human!”
“......”, 

Oh, Those status update of  prayers,  that I once commented ..... So, God has an account. I just lay and feel the pain on my legs,  my belly, and my head. I feel wanna die now. But, I’m dead already, right? I’m thinking hard. But I’m not yet underground.  Who the hell are they? Why they ask everything wrong about me? What kinds of angels are they? Afterlife ? C’moooon...  This is wrong. Really. Angels may not be mistaken like this I believe. The two figures seem to discuss something. I hear them whisper to each other. 

“What?? Thinking of lying to us?” the thunderous voice’s  blaring in my ears. I shake my head. But ouch.... the bandage wraps my head thightly.
“Eerrr....hey, you. Anita. Sorry for the inconvenience. You are not supposed to be here at the moment. Our friends seemed to pick up the wrong person. So, you  may go now.  See you next time.  Good bye...”
“But...Sir...I don’t .... I don’t know where to go”, my voice is overlapped by the sound of the giant door .  Quickly, the two figures rush out the room.  

Go? Where? But...Aaaaaaarrrgh..... the floor where I lay down shakes hard, like an earthquake.  The room suddenly is full of colorful lights and they begin spinning. I’m dizzy. My body flies into the air and the white cloth is loosening itself.  Then, I feel like being thrown in the speed of the fastest train in the world. 

I feel my body crashes into something.   I open my eyes and sit in a split second and see everybody in the room cries. My friends hug me. “You’re alive. You’re alive. We’re worried about you, Anita.” They buzz words that I still don’t know.  They hug each other.  My head is very painful and my body is full of bruises.

I still lose my words. I just realize that I’m in an emergency room. But, one thing that makes me lose my words. Those QUESTIONS. Will the questions change that much? If so, I’ll be the first person registered to be the resident of hell. But, my smartphone is ringing. My heart jumps from its place. It’s dark again. 
(May 25 n 27, 2015 _ When unimportant things become important)






Sabtu, 23 Mei 2015

WOiiii! KAMU TERORIS YA? IYA...KAMU...

Pagi-pagi sudah terusik dengan display picture beberapa teman, tentang teroris.
GAmbarnya cukup mencolok karena kali ini yang disebut teroris bukan seperti image yang kemarin-kemarin kita lihat di media.
Dan hebatnya lagi menjadi cover sebuah majalah mingguan kelas dunia.

Saya menemukan satu yang sudah ditambah komentar, yang botak juga bisa jadi teroris.
WOW! RASIS bukan?
SAya kemudian berpikir kalau saya kemudian ikut-ikutan euphoria men-share gambar itu juga apa bedanya saya dengan mereka a.k.a dunia yang selama ini telah mencap tebal-tebal saudara-saudara kita dengan label teroris hanya karena pakaian dan penampilan yang khas.
SAya memilih untuk tidak men-share gambar itu karena saya juga tidak yakin label ini
akan tertempel sama lamanya dengan label teroris yang telah tertempel pada saudara-saudara kita. Sebentar dunia juga lupa.

Jadi buat apa euphoria menunjukkan bahwa si A si B ternyata juga bisa jadi teroris.
Bukankah itu malah menunjukkan bahwa kita tidak ada bedanya dengan mereka yang senantiasa kita sebagai penganut kekerasan hanya karena ulah beberapa orang yang pinjam
nama. Bagaimana pula kalau kemudian gambar cover ini lalu menjadi media adu domba? Bukankah topik agama selalu hot dan mudah membakar? MIKIR mbul!

Pertanyaan saya terakhir, sudahkah mereka membaca isi dari tulisan majalah itu? seberapa kuat dunia menempelkan label teroris itu pada kelompok ini sebagaimana mereka memaku label itu pada kita?
Sebagai informasi, saya juga belum membaca majalah ini. Saya hanya tahu ada topik ini ketika melihat DP teman.
MIKIR mbul!!!! BAca dululah baru share. 



https://timeglobalspin.files.wordpress.com/2013/06/buddhism_cover_0701.jpg?w=260
http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2015/05/21/70043/biksu-buddha-pembenci-muslim-rohingya-jadi-sorotan-dunia.html
http://world.time.com/2013/06/20/extremist-buddhist-monks-fight-oppression-with-violence/

Jumat, 20 Maret 2015

Kucing atau kambing? (Part-2)



Kucing atau kambing?

Kucing disebut juga kucing domestik atau kucing rumah (nama ilmiah: Felis silvestris catus atau Felis catus) adalah sejenis mamalia karnivora dari keluarga felidae. Kata "kucing" biasanya merujuk kepada "kucing" yang telah dijinakkan,[3] tetapi bisa juga merujuk kepada "kucing besar" seperti singa dan harimau.  (http://id.wikipedia.org/wiki/Kucing)
 
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia Barat Daya (daerah "Bulan sabit yang subur" dan Turki) dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya, kambing mempunyai janggut, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berrambut lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar, tidak termasuk ekor, adalah 1,3 meter - 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter - 15 sentimeter. Bobot yang betina 50 kilogram - 55 kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram... (http://id.wikipedia.org/wiki/Kambing)

Dari sumber diatas, jelas sekali  bahwa kucing dan kambing adalah dua hewan dari dua species yang berbeda.  Tetapi saya masih belum mengerti akan halnya beberapa orang yang rupanya masih bingung membedakan antara kucing dan kambing.  


Pagi tadi saya mengunggah foto Cabi salah satu kucing saya di BBM dengan caption “ancene kucing ndeso, wetfood whi*** kok ndak doyan”.  Karena kehabisan ikan kukus yang biasa dijual dipasar, terpaksa para kucing sarapan dengan menu nasi lauk wetfood. Eh, si Cabi ngambek tidak mau makan. Terbitlah foto dan caption itu di BBM.  Tidak terduga seseorang membuka percakapan tentang status akun saya pagi ini.  Saya dengan tanpa prasangka melayaninya dengan canda. Tetapi lama-lama saya mulai tahu kemana arah percakapannya. Tidak lain tidak bukan adalah tentang hubungan saya dengan para makhluk berkaki empat itu. OK. Jujur saja kalau saya mau catat, sudah ratusan orang berkomentar sama tentang hubungan saya dengan mereka, bahwa kucinglah yang menyebabkan saya tidak segera punya anak. WHAAAAA!!!!! Ini...perlu ditowel dulu ini orang.

Satu. Sejak kapan kucing menjadi penentu siapa bisa punya anak siapa tidak. Sayangnya banyak orang percaya ini.  Lha kalau urusan ini bagiannya para kucing, tugas Tuhan apa dong?... “Eh, Cing. Kamu deh urusin itu sapa yang mau punya anak ato nggak. Saya banyak urusan lain ini.” Kucing bilang, “Siap, Gan”.  Wew, ....geli saya kalau membayangkan ini. Saya menangkapnya orang percaya dengan side-belief , atau kepercayaan sampingan :D bahwa selain Tuhan, ada hal-hal lain yang membuat kita bisa memiliki atau tidak memiliki ini dan itu. Seperti contoh klasik lain, kalau kita berkunjung ke orang yang punya bayi, kita minta bedaknya biar segera ketularan punya anak juga. Bahaya ini, sumpah! Bagaimana tidak, kena bedak bayi bisa langsung punya bayi. Tidak bagus itu. Terlalu instan, banyak MSGnya. :D Bukan itu maksud saya, tapi itu MUSYRIK woiii! 


Dua.  Sebenarnya akar masalahnya adalah bukan dari sisi religius, tetapi lebih ke medis (mulai serius).  Ibu yang chat dengan saya di BBM itu menyarankan saya meninggalkan kucing-kucing saya supaya saya segera punya anak. Dengan alasan bahwa memelihara kucing bisa menyebabkan keguguran dan ini dan itu. Oke.... Dia juga bilang kotoran kucing itu begini begitu ...bla...bla...bla.... Oke. Toxoplasma itu begini begitu bla..bla..bla.... Saya yakin si Ibu ini tidak memelihara kucing karena dari apa yang disarankannya kepada saya seperti copy-paste dari sejumlah orang sebelumnya yang begitu terkejut mengetahui kondisi saya.  Di bagian ini saya masih berusaha menjelaskan bagaimana supaya terhindar dari virus ini tanpa harus menjauhkan saya dari para kucing. Eh, masih ngeyel juga, dan rupanya dia tidak percaya bahwa saya memelihara kucing saya dengan cukup bersih dan berhati-hati. Sakit hati...tau gak!!!  Mungkin dia membayangkan kucing-kucing saya rembes(kotor) dan bau, rumah saya mumbrus(berantakan) , penuh bulu kucing dan ook nya. Wew..yuck... Sampai disini saya malas melanjutkan. Tapi karena dia teman saya, maka sebaiknyalah saya menutup percakapan itu dengan sebuah kesimpulan yang kira-kira sesuai  dengan kepercayaannya tentang kucing.  Saya bilang, “Mau dikasih apa nggak, Kalau aku sih, bukan karena kucingnya, Bu, tapi itu urusan Beliau yang mencipta kucing”.  Eh, dia setuju. Tapi saya yakin dia masih belum puas karena belum bisa membuat saya percaya dengan argumen tentang berbahayanya memelihara kucing. Tapi sampai disini saya bisa menyimpulkan, OK. Teman saya religius. Titik :D lebih pilih alasan pertama ketimbang alasan medis. :D  Lalu saya balik keadaannya, saya tanya ke dia, “Lha kalau teman-teman saya yang gak punya kucing tetapi belum juga punya anak, berarti yang disalahkan siapa? Kucing tetanggakah?”.  Haha...gak bisa jawab dia. 

Mereka-mereka inilah yang kemudian memaksa merubah kucing-kucing jadi kambing, kambing hitam tepatnya. Kucing-kucing selalu dipersalahkan atas kondisi diatas dengan merujuk kepada potongan informasi. Misalnya, kucing pembawa virus toxoplasma yang bisa menyebabkan masalah kehamilan. Betul itu, saya tahu juga. (Lho...pintar khan saya...?) tetapi sayangnya informasi ini cuma sepotong.  Kucing apa dan bagaimana yang bisa membawa virus ini. Bagaimana supaya bisa terhindar dari virus ini tanpa harus meninggalkan kucing kesayangan. Kalaupun ada informasi tentang ini, saya yakin mereka para kaum perubah kucing menjadi kambing akan sangat sulit menerima karena sudah terdoktrin secara turun temurun.  Jaman maju seperti sekarang ini, arus informasi sangat kencang, tetapi sayang beberapa orang hanya “ngentir” (membiarkan diri terbawa arus), tidak berusaha mengendalikan arah sendiri. Contoh mudahnya adalah “share”/ membagi informasi tidak lengkap tentang satu hal tanpa tahu benar salahnya tanpa tahu harus bagaimana. Sekedar klik, send, dan omong-omong. Akibatnya, kasihan kucing-kucing yang terpaksa dikambing-kambingkan padahal mereka tidak doyan makan rumput.  Supaya kucing tetap menjadi kucing, sebaiknyalah mereka kaum perubah kucing jadi kambing membaca link semacam ini >> 

Saya menulis ini demi kucing-kucing saya saat ini, Cabi, Ciki dan Miko, dan mereka yang telah berpulang. Saya tidak rela mereka menjadi kambing, apalagi yang hitam, karena kandangnya harus besar sementara rumah saya cuma tipe-36. Sekian.