BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME
Menyoal
huru-hara gosip kebangkitan kominus..eh
komunis akhir akhir ini saya jadi ingat almarhum Bapak saya. Beliau bukan siapa-siapa
sih, cuma pensiunan kepala sekolah dasar era Orba. Sedikit yang saya ingat
tentang hubungan paham kiri ini dengan Bapak saya karena pada saat itu saya
masih terlalu muda untuk tahu apa ini apa itu. Dari sedikit ini ada hal yang
kemudian saya temukan hari-hari terakhir ini.
Siapa
sebenarnya Bapak saya? (*seperti judul sinetron.... Bapak saya adalah generasi
yang lahir tahun 30an. Otomatis selama hidupnya telah mengalami banyak hal
mulai WW 1, WW 2 hingga pendudukan Jepang dan jaman Orla lalu Orba, serta
sedikit jaman Reformasi. Bapak lulusan
sekolah guru setara SMA dan kemudian mengabdikan diri mengajar di sekolah dasar
hingga sekitar tahun 1984 ketika saya mulai masuk SD. Sebelum saya sekolah saya
sering ikut Bapak ke sekolah dan berlagak sotoy masuk ke kelas-kelas dimana
Bapak mengajar sehingga saya bisa baca tulis sebelum waktunya. Menurut
tetangga, saya masih dalam gendongan ketika dengan lantang saya mengucapkan
sila-sila Pancasila dengan runtut. (*Lhoooo...kurang nasionalis bagaimana saya
ini! Belum sekolah saja sudah hafal Pancasila.) Enough!! Baiklah, kembali ke Bapak. Bapak orangnya keras, kalau beliau bilang A
ya harus A, kalau nggak ya salah. Sifat itulah yang kemudian hari membuat saya
menjadi anak yang paling bandel karena saya suka membantah hal yang saya anggap
kurang benar. (*Maap ya Pak.... ) Tetapi Bapak saya rupanya tidak sekaku yang
saya pikirkan, buktinya saya selalu diajar untuk membaca apapun, kecuali satu
itu tadi hal-hal yang berbau kiri. Bapak saya bukan orang relijius, beliau
lebih ke Abangan atau bahkan Kejawen. Tetapi entah kenapa saya tidak
diperbolehkan tahu tentang hal itu. Suatu hari ketika saya sudah agak besar,
mungkin SD atau SMP, saya bertanya tentang apa itu PKI dan kenapa orang-orang
tidak suka. Ini akibat pemutaran film propaganda itu tentunya, kala itu
darimana saya tahu tentang PKI kalau tidak dari film yang iewh beud itu. Plus dari pelajaran PSPB juga sih... Mendengar
pertanyaan itu Bapak langsung membentak, “Heh! Ra pareng omong kui. Cah cilik
ra entuk!!” (Ndak boleh membicarakan itu. Kamu masih kecil belum boleh.) Bukan
jawaban yang saya dapat malah bentakan deeeh..... Tetapi namanya juga masih
anak-anak, lupalah saya sebentar saja dengan pertanyaan itu dan kembali saya
dengan dunia kanak-kanak saya. Ingat lagi ketika pelajaran PSPB atau sejarah
disekolah, tetapi saya tidak berani bertanya kepada siapapun karena 3 huruf itu
haram hukumnya dibahas kala itu. Guru-guru sejarah saya juga bukan referensi
yang recommended karena maunya kita cuma disuruh hafal aja. Akibat film itu juga saya sempat
menyenandungkan lagu Gendjer-Gendjer dan bertanya lagu apa itu ke Bapak saya.
Lagi-lagi saya dibentak tanpa ada jawaban. Baiklah..... lupakan. Sampai akhir
hayatnya Bapak tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Ketika saya
sudah berumur seperti sekarang ini, baru satu persatu bisa saya cerna mengapa
tidak boleh ini tidak boleh itu. Bapak saya adalah PNS yang pada masa itu
adalah kaki tangan pemerintah. Mungkin Bapak takut dengan rezim saat itu
sehingga anak-anaknya tidak boleh sedikitpun bersentuhan dengan hal-hal kiri
kalau tidak ingin dapat masalah. Pernah suatu kali ketika Pemilu, saya masih
SMA, saya tanya Bapak siapa pemenangnya. Bapak jawab partai yang warna kuning
itu. Saya bilang kok itu terus sih...bosen. Langsung saja disahut Bapak, “Heh
bocah, cang***mu! Ojo banter-banter!” (Heh jaga mulutmu Nak, jangan
keras-keras.) Oh, OK. Bapak rupanya takut anaknya yang cantik ini kena masalah.
Saat itu semua PNS seperti Bapak meskipun sudah pensiun wajib memilih partai
berpohon besar itu, kalau tidak entah apa yang terjadi katanya. (*Itu
duluuuuuu.....kalo sekarang gak tau yaaaaaa.... )
Juga ketika
Bapak memasukkan saya ke SD Islam (Madrasah) yang pada saat itu belum begitu
booming seperti saat ini, baru-baru ini saja terjawab. Bapak merasa beliau
tidak mungkin dan bahkan tidak mampu mengajarkan agama kepada saya maka sekolah
lah jawaban satu-satunya yang bisa melakukannya. Intinya Bapak tidak mau saya
menjadi Abangan sepertinya. Ini adalah
satu keputusan terbaik dari Bapak untuk saya yang berakibat sangat baik sampai
detik ini. Saya paham agama yang saya anut sekaligus menjalankan ajarannya,
serta saya bisa membaca kitab suci Al Qur’an tanpa harus kursus. Jawaban lain yang saya temukan adalah bahwa
Bapak berpikir saya bisa terbebas dari mempelajari hal-hal terlarang (*kiri)
kalau saya belajar di sekolah ini. Betul. Saat itu seperti umumnya anak-anak
sekarang yang sekolah di SDIT-SDIT, saya juga relijius dan merasa agama lain
itu ‘sudahlah ndak usah dipikirin’. Tetapi bedanya dengan anak-anak sekarang,
saat itu guru-guru saya tidak mengajari untuk
mengkafirkan yang lain. Jaman dulu belum trendy kali ya
mengkafir-kafirkan orang lain. Lha kalo sudah trend, bisa-bisa saya sendiri bilang,”
Pak, Bapak kafir lho, ndak pernah sholat.” Hahahaha.... (*Maap ya Pak.... ) Bapak saya mungkin benar saya tidak
ter-expose hal-hal menakutkan itu. Akibat yang cukup saya rasakan sebenarnya adalah timbulnya keseimbangan dalam melihat suatu isu, tidak terlalu relijius sekaligus tidak terlalu kiri. Masalah berapa persen kekanan dan berapa persen kekiri itu urusan belakangan. Hahaha.... Bukankah melihat pemandangan itu akan lebih indah kalau kita ada disisi lain? Tetapi Bapak mungkin lupa bahwa suatu saat
saya pasti akan ingin tahu. Bapak saya yang jadul mungkin tidak sadar bahwa
jaman akan berubah seperti sekarang dimana yang biasa menjadi tidak biasa. Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul jauh setelah saya lulus dari madrasah. Apapun alasan Bapak menaruh saya
di SD itu yang jelas tujuannya baik. Itu saja. Meskipun pada akhirnya
ketakutannya akan terbukti juga.
Tahun 2015
kalau tidak salah, ada film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film tentang
pahlawan HOS Tjokroaminoto. Baru saat itu saya mencari tahu siapa sebenarnya
beliau ini. Baca...baca...baca... ternyata beliau lahir di daerah Madiun, sama
seperti saya. Karena beliau adalah pahlawan besar,itulah kenapa namanya
dijadikan salah satu jalan utama di kota Madiun. Tetapi nama saya tidak...(*Opo
sih iki?? Hahaha....) Kembali ke pertikaian saya dan Bapak... Bapak
mungkin terlewat dengan sejarah yang satu ini, makanya saya selalu diarahkan
untuk menjadi santri, tetapi gagal. HOS Tjokroaminoto menulis buku dengan judul
Islam dan Sosialisme. Lhoo...Pak.. gimana? Buku ini sangat bagus karena berisi
bahwasanya Islam dan sosialisme itu tidak bertentangan, malahan ada hal-hal
dari sosialisme yang sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada dalam ajaran Islam. Misalnya
tentang persamaan, dalam bukunya HOS Tjokroaminoto menuliskan bahwa dalam
pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak
ada pula sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan kelas. Bukankah dalam ajaran
sosialisme dan komunisme ada juga tentang penghapusan kelas? Jadi kalau Bapak
saya takut dengan hal-hal kiri, mungkin Bapak belum pernah baca buku ini. (*Ya
iyalah....mana berani jaman Orba baca buku beginian? Bisa tiba-tiba lenyap
dong...) Terlepas dari apa yang mendasari Bapak saya melarang saya mendekati
hal-hal yang bernuansa kiri, yang jelas apa yang diketahui Bapak saya tentang
itu masih merupakan misteri bagi saya hingga detik ini. Saya tidak bisa
menemukan buku-buku apa saja yang Bapak saya pernah baca karena pernah suatu
saat saya mendapati Bapak membakar buku.(* Wha!....kok kedengarannya seperti
trend baru-baru ini...bakar-bakaran buku. Bakar sosis ikan enak...buku
dibakar..bikin batuk tau! ) Entah buku apa saja yang dibakar saat itu,
tetapi yang jelas setelah Bapak meninggal hanya buku-buku Primbon Jawa
Adammakna yang tertinggal di lemari. (*Kamu cocoknya kerja di air.... ikan
kaliii.... )
Ketakutan
Bapak saya mungkin sama dengan ketakutan yang muncul akhir-akhir ini. Sama-sama
kurang update bahwa paham itu sebenarnya
sudah bangkrut dan tidak mungkin bangkit lagi. Bagaimana mungkin komunisme mau bangkit, kalau anak-anak mudanya berkoar-koar kiri di sosmed sambil seharian
mengantri mengular disebuah gerai donat disebuah mall produk kapitalis? (*kapitalis
ki opo to?? ) Selama mall masih jaya dan gerai makanan kekinian menggurita, saya yakin komunisme akan sulit bangkit. Bayangkan saja beratus-raus gerai donat tapi dengan rasa yang sama, beli juga gak boleh lebih banyak dari yang lain. Mau sama rata sama rasa?
Bapak
saya mungkin di alam sana agak deg-degan juga melihat saya mulai membaca-baca
dan mulai mencari-cari tahu jawaban atas pertanyaan yang tak pernah dijawabnya
saat itu. Tenang, Pak.... anakmu ini cuma sekedar baca-baca. Karir anakmu ini
tetap aman, karena bikin risoles mayo itu gak perlu pakai palu dan arit.
Mayonaise itu putih, Bapak. Bukan merah..kalo merah yang spicy kakak....#eh,
Bapak.
(biar kelihatan serius... Referensi: Islam dan Komunisme, HOS Tjokroaminoto)