Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Mei 2016

BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME



BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME

Menyoal huru-hara gosip kebangkitan  kominus..eh komunis akhir akhir ini saya jadi ingat almarhum Bapak saya. Beliau bukan siapa-siapa sih, cuma pensiunan kepala sekolah dasar era Orba. Sedikit yang saya ingat tentang hubungan paham kiri ini dengan Bapak saya karena pada saat itu saya masih terlalu muda untuk tahu apa ini apa itu. Dari sedikit ini ada hal yang kemudian saya temukan hari-hari terakhir ini.

Siapa sebenarnya Bapak saya? (*seperti judul sinetron.... Bapak saya adalah generasi yang lahir tahun 30an. Otomatis selama hidupnya telah mengalami banyak hal mulai WW 1, WW 2 hingga pendudukan Jepang dan jaman Orla lalu Orba, serta sedikit jaman Reformasi.  Bapak lulusan sekolah guru setara SMA dan kemudian mengabdikan diri mengajar di sekolah dasar hingga sekitar tahun 1984 ketika saya mulai masuk SD. Sebelum saya sekolah saya sering ikut Bapak ke sekolah dan berlagak sotoy masuk ke kelas-kelas dimana Bapak mengajar sehingga saya bisa baca tulis sebelum waktunya. Menurut tetangga, saya masih dalam gendongan ketika dengan lantang saya mengucapkan sila-sila Pancasila dengan runtut. (*Lhoooo...kurang nasionalis bagaimana saya ini! Belum sekolah saja sudah hafal Pancasila.) Enough!!  Baiklah, kembali ke Bapak.  Bapak orangnya keras, kalau beliau bilang A ya harus A, kalau nggak ya salah. Sifat itulah yang kemudian hari membuat saya menjadi anak yang paling bandel karena saya suka membantah hal yang saya anggap kurang benar. (*Maap ya Pak.... ) Tetapi Bapak saya rupanya tidak sekaku yang saya pikirkan, buktinya saya selalu diajar untuk membaca apapun, kecuali satu itu tadi hal-hal yang berbau kiri. Bapak saya bukan orang relijius, beliau lebih ke Abangan atau bahkan Kejawen. Tetapi entah kenapa saya tidak diperbolehkan tahu tentang hal itu. Suatu hari ketika saya sudah agak besar, mungkin SD atau SMP, saya bertanya tentang apa itu PKI dan kenapa orang-orang tidak suka. Ini akibat pemutaran film propaganda itu tentunya, kala itu darimana saya tahu tentang PKI kalau tidak dari film yang iewh beud itu. Plus dari pelajaran PSPB juga sih... Mendengar pertanyaan itu Bapak langsung membentak, “Heh! Ra pareng omong kui. Cah cilik ra entuk!!” (Ndak boleh membicarakan itu. Kamu masih kecil belum boleh.) Bukan jawaban yang saya dapat malah bentakan deeeh..... Tetapi namanya juga masih anak-anak, lupalah saya sebentar saja dengan pertanyaan itu dan kembali saya dengan dunia kanak-kanak saya. Ingat lagi ketika pelajaran PSPB atau sejarah disekolah, tetapi saya tidak berani bertanya kepada siapapun karena 3 huruf itu haram hukumnya dibahas kala itu. Guru-guru sejarah saya juga bukan referensi yang recommended karena maunya kita cuma disuruh hafal  aja. Akibat film itu juga saya sempat menyenandungkan lagu Gendjer-Gendjer dan bertanya lagu apa itu ke Bapak saya. Lagi-lagi saya dibentak tanpa ada jawaban. Baiklah..... lupakan. Sampai akhir hayatnya Bapak tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. 

Ketika saya sudah berumur seperti sekarang ini, baru satu persatu bisa saya cerna mengapa tidak boleh ini tidak boleh itu. Bapak saya adalah PNS yang pada masa itu adalah kaki tangan pemerintah. Mungkin Bapak takut dengan rezim saat itu sehingga anak-anaknya tidak boleh sedikitpun bersentuhan dengan hal-hal kiri kalau tidak ingin dapat masalah. Pernah suatu kali ketika Pemilu, saya masih SMA, saya tanya Bapak siapa pemenangnya. Bapak jawab partai yang warna kuning itu. Saya bilang kok itu terus sih...bosen. Langsung saja disahut Bapak, “Heh bocah, cang***mu! Ojo banter-banter!” (Heh jaga mulutmu Nak, jangan keras-keras.) Oh, OK. Bapak rupanya takut anaknya yang cantik ini kena masalah. Saat itu semua PNS seperti Bapak meskipun sudah pensiun wajib memilih partai berpohon besar itu, kalau tidak entah apa yang terjadi katanya. (*Itu duluuuuuu.....kalo sekarang gak tau yaaaaaa.... )

Juga ketika Bapak memasukkan saya ke SD Islam (Madrasah) yang pada saat itu belum begitu booming seperti saat ini, baru-baru ini saja terjawab. Bapak merasa beliau tidak mungkin dan bahkan tidak mampu mengajarkan agama kepada saya maka sekolah lah jawaban satu-satunya yang bisa melakukannya. Intinya Bapak tidak mau saya menjadi Abangan sepertinya.  Ini adalah satu keputusan terbaik dari Bapak untuk saya yang berakibat sangat baik sampai detik ini. Saya paham agama yang saya anut sekaligus menjalankan ajarannya, serta saya bisa membaca kitab suci Al Qur’an tanpa harus kursus.  Jawaban lain yang saya temukan adalah bahwa Bapak berpikir saya bisa terbebas dari mempelajari hal-hal terlarang (*kiri) kalau saya belajar di sekolah ini. Betul. Saat itu seperti umumnya anak-anak sekarang yang sekolah di SDIT-SDIT, saya juga relijius dan merasa agama lain itu ‘sudahlah ndak usah dipikirin’. Tetapi bedanya dengan anak-anak sekarang, saat itu guru-guru saya tidak mengajari untuk  mengkafirkan yang lain. Jaman dulu belum trendy kali ya mengkafir-kafirkan orang lain. Lha kalo sudah trend, bisa-bisa saya sendiri bilang,” Pak, Bapak kafir lho, ndak pernah sholat.” Hahahaha.... (*Maap ya Pak.... )  Bapak saya mungkin benar saya tidak ter-expose hal-hal menakutkan itu.   Akibat yang cukup saya rasakan sebenarnya adalah timbulnya keseimbangan dalam melihat suatu isu, tidak terlalu relijius sekaligus tidak terlalu kiri. Masalah berapa persen kekanan dan berapa persen kekiri itu urusan belakangan. Hahaha....  Bukankah melihat pemandangan itu akan lebih indah kalau kita ada disisi lain?   Tetapi Bapak mungkin lupa bahwa suatu saat saya pasti akan ingin tahu. Bapak saya yang jadul mungkin tidak sadar bahwa jaman akan berubah seperti sekarang dimana yang biasa menjadi tidak biasa.  Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul jauh setelah saya lulus dari madrasah. Apapun alasan Bapak menaruh saya di SD itu yang jelas tujuannya baik. Itu saja. Meskipun pada akhirnya ketakutannya akan terbukti juga.

Tahun 2015 kalau tidak salah, ada film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film tentang pahlawan HOS Tjokroaminoto. Baru saat itu saya mencari tahu siapa sebenarnya beliau ini. Baca...baca...baca... ternyata beliau lahir di daerah Madiun, sama seperti saya. Karena beliau adalah pahlawan besar,itulah kenapa namanya dijadikan salah satu jalan utama di kota Madiun. Tetapi nama saya tidak...(*Opo sih iki?? Hahaha....)   Kembali ke pertikaian saya dan Bapak... Bapak mungkin terlewat dengan sejarah yang satu ini, makanya saya selalu diarahkan untuk menjadi santri, tetapi gagal. HOS Tjokroaminoto menulis buku dengan judul Islam dan Sosialisme. Lhoo...Pak.. gimana? Buku ini sangat bagus karena berisi bahwasanya Islam dan sosialisme itu tidak bertentangan, malahan ada hal-hal dari sosialisme yang sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada dalam ajaran Islam. Misalnya tentang persamaan, dalam bukunya HOS Tjokroaminoto menuliskan bahwa dalam pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan kelas. Bukankah dalam ajaran sosialisme dan komunisme ada juga tentang penghapusan kelas? Jadi kalau Bapak saya takut dengan hal-hal kiri, mungkin Bapak belum pernah baca buku ini. (*Ya iyalah....mana berani jaman Orba baca buku beginian? Bisa tiba-tiba lenyap dong...) Terlepas dari apa yang mendasari Bapak saya melarang saya mendekati hal-hal yang bernuansa kiri, yang jelas apa yang diketahui Bapak saya tentang itu masih merupakan misteri bagi saya hingga detik ini. Saya tidak bisa menemukan buku-buku apa saja yang Bapak saya pernah baca karena pernah suatu saat saya mendapati Bapak membakar buku.(* Wha!....kok kedengarannya seperti trend baru-baru ini...bakar-bakaran buku. Bakar sosis ikan enak...buku dibakar..bikin batuk tau! )   Entah buku apa saja yang dibakar saat itu, tetapi yang jelas setelah Bapak meninggal hanya buku-buku Primbon Jawa Adammakna yang tertinggal di lemari. (*Kamu cocoknya kerja di air.... ikan kaliii.... )


Ketakutan Bapak saya mungkin sama dengan ketakutan yang muncul akhir-akhir ini. Sama-sama kurang  update bahwa paham itu sebenarnya sudah bangkrut dan tidak mungkin bangkit lagi. Bagaimana mungkin komunisme  mau bangkit, kalau anak-anak  mudanya berkoar-koar kiri di sosmed sambil seharian mengantri mengular disebuah gerai donat disebuah mall produk kapitalis? (*kapitalis ki opo to??  ) Selama mall masih jaya dan gerai makanan kekinian menggurita, saya yakin komunisme akan sulit bangkit. Bayangkan saja beratus-raus gerai donat tapi dengan rasa yang sama, beli juga gak boleh lebih banyak dari yang lain. Mau sama rata sama rasa?


Bapak saya mungkin di alam sana agak deg-degan juga melihat saya mulai membaca-baca dan mulai mencari-cari tahu jawaban atas pertanyaan yang tak pernah dijawabnya saat itu. Tenang, Pak.... anakmu ini cuma sekedar baca-baca. Karir anakmu ini tetap aman, karena bikin risoles mayo itu gak perlu pakai palu dan arit.

 Mayonaise itu putih, Bapak.  Bukan merah..kalo merah yang spicy kakak....#eh, Bapak.


(biar kelihatan serius... Referensi: Islam dan Komunisme, HOS Tjokroaminoto)