Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Juli 2017

REUNION BLUES



REUNION BLUES
Pertanyaan-pertanyaan hahingan seputar reuni
(non-single mode)


Bulan Syawal gini, topik yang paling hot  dibicarakan dan dibuat update status adalah reuni. Ya, reuni atau kumpul-kumpul dengan teman lama.   Hampir semua akun teman-teman di sosial media mengunggah foto-foto mereka ketika bersua dengan teman-teman lama. Settingnya beragam, mulai dari yang sekedar kumpul-kumpul di warung lesehan sampai yang bertempat di sebuah convention hall dengan backdrop MMT segede gaban bertuliskan angkatan sekolah mereka. Bahkan ada pula yang dibela-belain pake seragam. Sangat menarik dan membahagiakan meskipun hanya melihat foto-fotonya. Pada dasarnya reuni adalah sesuatu yang membahagiakan asal tidak muncul pertanyaan-pertanyaan hahingan yang kerap muncul dan bikin baper setelah reuni.


Pertanyaan hahingan pertama yang biasa muncul adalah “Anaknya mana kok gak ikut?”. Itu belum seberapa hahingan sih, tetapi kalau kemudian berlanjut dengan pertanyaan ini,”Loh, belum punya momongan to? Emang udah berapa tahun nikah? Udah konsultasi kemana aja? Udah pake treatment apa aja?”. Huhuhu...hungguh hahingan orang yang bertanya sebanyak ini. Tapi kenyataan di luar sana banyaaaak orang yang seperti ini. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga banyak sekali pertanyaan yang harus saya jawab.  Dan pula, apa untungnya buat mereka tahu informasi pribadi sedetil itu. Cuma mau  bilang, “Yang sabar ya... nanti pasti diberi kok. Berdoa aja. Tetap semangat” ? Eh badala...sok tau pula. Kapan situ di kontak sama Tuhan kok tahu saya mau dikasih surprise. Kok tau juga saya gak pernah berdoa? Hmm.... Sebenarnya teman seperti ini perlu diapresiasi lho... Dia adalah teman yang baik karena memberi semangat kepada sesama temannya yang masuk kategori “difabel” ini.   Buat saya pribadi, sebisanya tidak bertanya topik ini ketika bertemu dengan teman lama siapapun itu.  Karena saya tahu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sangatlah tidak mudah dan tidak nyaman. Saya mengalaminya berulang kali. Kadang-kadang saya berpikir sebaiknya saya memakai sandal jepit kemana-mana, sehingga kalau suatu kali bertemu dengan kawan yang semacam ini langsung saja angkat itu sandal dan plaak!... Pedes khan? 


Biasanya di acara reuni, teman-teman seangkatan akan duduk bersama sementara anggota keluarga ada di satu bagian barisan yang berbeda.  Nah, kalau sudah gitu pasti akan akan ada pertanyaan,” Yang mana anakmu? Yang mana suamimu/ istrimu?” Pertanyaan yang cukup biasa, ringan dan tidak menyakitkan siapapun. Asaaaal....tidak diikuti pertanyaan ini,”Oh, itu anakmu? Kok beda banget sama kamu dan suamimu?” Hasyuuu... Daripada pusing-pusing dan bikin baper, jawab aja dapet beli di online shop. Titik.  Penting ya tahu asal usul anak saya? Mikir dong, kalau pertanyaan itu didengar si anak, sampai rumah bisa jadi dia akan bertanya,”Ibu, apakah benar saya bukan anak Ibu dan Bapak? Kata tante tadi saya gak mirip Ibu Bapak?” Lhoooh...bahaya khan? Jangan sampai muncul sinetron “Aku Mirip Siapa?”.  Belum lagi kalau pertanyaan kedua itu muncul,”Yang mana suami/istri mu? Yang itu ya? Kok kelihatan lebih tua dari kamu? Emang selisih berapa tahun?” Eeeeer, kapan-kapan kita ketemuan saya bawain KK dan surat nikah aja ya. Biar jelas semua. Kok ada ya yang tega bertanya seperti itu? Adaaaa.... Dan lagi saya mengalaminya juga. Teman saya yang mulia ini menanyakan mengapa suami saya terlihat lebih tua dari saya. Maunya saya jawab serius, tetapi dengan guyonan saya jawab aja, saya dikutuk awet muda. Parahnya, dia tidak cuma mengkomentari suami saya seorang , tetapi juga teman-teman yang lain.  Harap maklum juga sih, bojonya dia teman sekelas kami juga. Wajar dong kalo masih sama-sama terlihat “muda”. Tetapi dari nada bicaranya dia membanggakan suaminya lebih dari suami-suami teman lain. Ya iyalah... masak  mau membanggkan suami tetangga. Yang mengganjal di saya adalah saya bisa menerima itu kalau suaminya segagah mas Leonardo DiCaprio dimana semakin berumur semakin (*“cemakot”. Tetapi...yaah... kenyataannya standar aja tuh, skor paling 5-6 poin lah. Yang saya semakin tidak mengerti definisi dari “tua-muda”nya dia itu adalah selama kami bertemu dan bercanda dengan sesama teman lama, berulang kali dia menghentikan guyonan kami dengan sebuah kalimat,”Wis ah, wis tuwa. Wis ra pantes. Diguyu sing enom-enom ngko”. (Sudah...sudah. Kita sudah tua, tidak pantas. Nanti ditertawakan yang muda-muda”). Saya kemudian berpikir keras apa sebenarnya maksud dia mengkomentari suami saya dan beberapa teman kami terlihat tua. Asuudahlah... Tua muda adalah kata sifat yang sangat subyektif, tergantung generasi mana yang berbicara (*benerin kacamata plus).


Reuni kadang secara tidak kentara menjadi ajang unjuk bukti kesuksesan selama kurun waktu tertentu. Sukses dalam segala hal, mulai dari sukses menggaet gebetan semasa sekolah, sukses beranak banyak, sukses bertransformasi dari seorang tomboy hahindul menjadi mamah-mamah cantik nan menggemaskan, sukses dalam pekerjaan, dan masih banyak lagi.  Mungkin banyak yang mengatakan kalau kehadiran kami, saya, anda,  tidak untuk menunjukkan semua itu. Tetapi apakah mungkin kita datang di acara nan agung itu dengan wujud “awul-awulan”? Nggak mungkin khan?  Bisa-bisa kita malah ditangkap aparat karena memasuki area nan gemerlap dengan tampang yang ahsudahlah.  Suatu kali nun di sebuah acara reuni beberapa tahun lalu, tersebutlah sebuah percakapan antara saya dengan seorang kawan lama. “Eh, kamu tinggal dimana sekarang? Perumahan ya? KPR?” Dalam percakapan itu terceplos dari mulut saya bahwa saya masih punya kriditan KPR. Eh..badalah....komen dia apa coba? “Masak sih udah kerja 10 tahun lebih rumah masih kridit aja”. Astaga, saya tidak siap dengan kosakata pisuhan yang saya kuasai. Maka dengan santai saya jawab, “Yo maklum, sing mampu kredit ki biasane malah sing duite akeh”. (Maklum aja, yang mampu kredit itu cuma orang berduit).  Kalau dipikir bener juga lho, kita kredit sesuatu dalam jangka waktu sekian tahun, harga barang yang kita beli tersebut jadi berlipat-lipat kan? Duitnya banyak khan? Cumaaaannn...duitnya gak di kita. Itu aja. Hahaha...syu. Apapun alasan dia menanyakan dan mengkomentari saya sedemikian adalah dengan tidak langsung menunjukkan bahwa dia sudah selesai dengan hutang-hutangnya, sudah gak kridit-kridit lagi. Keren khan? Tapi buat saya, jaman sekarang hidup tanpa kredit itu seperti minum kopi pake cup Setarbak tapi isinya kopi sasetan beli dua dapat satu. Ngapusi luar dalam.  Hahaha...



Selanjutnya, pertanyaan hahindul yang biasanya muncul dengan spontan terutama di kalangan mamah-mamah adalah, ”Hey, kamu hamil ya? Kok badanmu gendutan? Wah, hidupmu makmur ya? Kamu kurus amat sih? Kamu kecapekan ya?” (**Demi merk netbuk saya dalam bentuk single!) Pertanyaan-pertanyaan  ini sungguh sangat ringan, tetapi sangat menyakitkan untuk dijawab sebagian individu.  Saya tahu maksudnya adalah membandingkan wujud fisik ketika dulu masih sekolah jaman the Smiling General berkuasa dengan sekarang jamannya The Working Vlogger. Ya jelas beda atuh Mamah... Dulu kurus kering karena malas makan.   Di rumah dipaksa makan dengan sayur bayam yang akhirnya tidak dimakan sementara mau jajan steak, burger , atau kue pastry hibrida milik para artis itu belum ada yang jualan.  Sekarang? Males makan sayur bayam, tinggal order online, makanan lezat bisa langsung datang ke depan pintu kita setiap saat.  Jadi beda ukuran ya wajar laaah...kalau tetap ukuran semula ngeri dong! Emangnya kita hidup di Neverland- negeri dimana bisa menjadi anak-anak selamanya-? Faktor  usia dan gaya hidup adalah salah dua yang membentuk fisik kita saat ini.  Jadi sangat tidak adil kalau ada yang mengkomentari bentuk badan seorang teman lama.  Helloo...maem banyak, males olah raga, umur sudah hampir 40, maunya langsing aja? Bagus. Ambil bantalnya sana.....


Terakhir, dan semoga pertanyaan ini tidak akan pernah muncul lagi sampai kapanpun.  Sebagian orang datang ke reuni dengan full squad, suami, istri, anak, cucu, kakek, nenek... Sebagian yang lain merasa baik-baik saja datang seorang diri. Saya adalah salah satu yang merasa lebih nyaman datang sendiri. Bukan karena apa-apa, tetapi lebih memberi kebebasan suami saya untuk ikut saya atau tidak. Kebetulan dia tidak tahan duduk diam lama-lama hanya mendengarkan ini itu, ya sudah saya biarkan dia jalan sendiri sementara saya ngumpul dengan teman-teman. Keadaan inipun menimbulkan satu pertanyaan dari seorang teman yang Alhamdulillaah sangat “perhatian” kepada yang lain. Karena ini pertanyaan yang sangat langka, maka diapun bertanyanya dengan bisik-bisik dan sangat rahasia. “Eh, kamu nggak “itu” khan?” Saya kurang tahu maksud dari  kata “itu”. Bertanyalah saya.  Ooooh...maksudnya dia tanya apakah saya masih “straight” karena saya hampir tidak pernah terlihat datang dengan suami saya di setiap acara, plus sampai kiamat hampir datang saya tidak juga menggendong satu bayipun.  Pertanyaan ini adalah satu yang tidak saya jawab, tetapi saya balik bertanya ke dia, “Menurutmu?”  Bener-bener baru kali ini saya mendapat pertanyaan yang sangat menohok. Saya memang tidak se-“chic” mamah-mamah yang lain, tapi Say,...guweh  tuh masih doyan cowok kaliiik....  Bukannya saya benci dengan mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, tetapi saya hanya berpikir apa untungnya teman saya ini untuk tahu itu. Sungguh hahingan, khan? Atau jangan-jangan dia sendiri naksir saya.... Setelah peristiwa itu, dia memutus pertemanan di sosial media. Badalaaaa....maksudnya bagaimana ya? Sudahlah. 



Ide tulisan ini muncul ketika saya membaca status salah satu teman di jejaring sosial.   Dia mengunggah status tentang mana yang lebih disukai, reuni besar dengan banyak orang bahkan yang mungkin dulu kurang kita kenal semasa sekolah atau sekedar kumpul-kumpul  dengan teman-teman dekat semasa sekolah.  Di satu sisi reuni memang membuat kita bahagia dengan mengingat masa-masa indah ketika dosa kita masih sedikit. Tetapi disisi lain reuni bisa berubah menjadi acara yang hahingan sekaligus hahindul kalau muncul beberapa pertanyaan diatas dari orang-orang dari masa lampau. Saya menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi juga. Jadi kalau ada teman-teman yang merasa berada di dalam cerita saya , mungkin hanya kebetulan saja. Kebetulan pertanyaanmu terpilih jadi ide tulisanku  maksudnya. Ra sah ge-er!! J (tur ojo mbok baleni, nggapleki you know!)



Akhirul kata, sebelum memutuskan menghadiri sebuah reuni atau kumpulan dengan teman lama, pastikan mengingat kembali  kosakata pisuhan atau sebaliknya kalimat-kalimat thoyibah, sehingga ketika muncul pertanyaan-pertanyaan tadi kita bisa kontrol diri kita sebaik-baiknya. Terima kasih.



Notes:
(*cemakot = sesuatu yang menimbulkan perasaan ingin menggigit obyek tersebut
(** mohon maaf hanya untuk guru/ mahasiswa Bahasa Inggris