Kucing atau kambing?
Kucing disebut
juga kucing domestik atau kucing rumah (nama ilmiah:
Felis silvestris catus atau Felis catus) adalah sejenis mamalia karnivora
dari keluarga felidae. Kata
"kucing" biasanya merujuk kepada "kucing" yang telah
dijinakkan,[3] tetapi
bisa juga merujuk kepada "kucing
besar" seperti singa dan harimau. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kucing)
Kambing merupakan
binatang memamah
biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus)
adalah subspesies
kambing liar yang secara alami tersebar di Asia
Barat Daya (daerah "Bulan sabit yang subur" dan Turki) dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki
tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya, kambing
mempunyai janggut,
dahi cembung, ekor agak ke atas, dan
kebanyakan berrambut lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar,
tidak termasuk ekor, adalah 1,3 meter - 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter
- 15 sentimeter. Bobot yang betina 50 kilogram - 55
kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram... (http://id.wikipedia.org/wiki/Kambing)
Dari sumber diatas, jelas sekali bahwa kucing dan kambing adalah dua hewan dari
dua species yang berbeda. Tetapi saya
masih belum mengerti akan halnya beberapa orang yang rupanya masih bingung membedakan
antara kucing dan kambing.
Pagi tadi saya mengunggah foto Cabi salah satu kucing saya di
BBM dengan caption “ancene kucing ndeso, wetfood whi*** kok ndak doyan”. Karena kehabisan ikan kukus yang biasa dijual
dipasar, terpaksa para kucing sarapan dengan menu nasi lauk wetfood. Eh, si
Cabi ngambek tidak mau makan. Terbitlah foto dan caption itu di BBM. Tidak terduga seseorang membuka percakapan
tentang status akun saya pagi ini. Saya dengan
tanpa prasangka melayaninya dengan canda. Tetapi lama-lama saya mulai tahu
kemana arah percakapannya. Tidak lain tidak bukan adalah tentang hubungan saya
dengan para makhluk berkaki empat itu. OK. Jujur saja kalau saya mau catat,
sudah ratusan orang berkomentar sama tentang hubungan saya dengan mereka, bahwa
kucinglah yang menyebabkan saya tidak segera punya anak. WHAAAAA!!!!! Ini...perlu
ditowel dulu ini orang.
Satu. Sejak kapan kucing menjadi penentu siapa bisa punya
anak siapa tidak. Sayangnya banyak orang percaya ini. Lha kalau urusan ini bagiannya para kucing,
tugas Tuhan apa dong?... “Eh, Cing. Kamu deh urusin itu sapa yang mau punya
anak ato nggak. Saya banyak urusan lain ini.” Kucing bilang, “Siap, Gan”. Wew, ....geli saya kalau membayangkan ini. Saya
menangkapnya orang percaya dengan side-belief
, atau kepercayaan sampingan :D bahwa selain Tuhan, ada hal-hal lain yang
membuat kita bisa memiliki atau tidak memiliki ini dan itu. Seperti contoh
klasik lain, kalau kita berkunjung ke orang yang punya bayi, kita minta
bedaknya biar segera ketularan punya anak juga. Bahaya ini, sumpah! Bagaimana tidak,
kena bedak bayi bisa langsung punya bayi. Tidak bagus itu. Terlalu instan,
banyak MSGnya. :D Bukan itu maksud saya, tapi itu MUSYRIK woiii!
Dua. Sebenarnya akar
masalahnya adalah bukan dari sisi religius, tetapi lebih ke medis (mulai
serius). Ibu yang chat dengan saya di
BBM itu menyarankan saya meninggalkan kucing-kucing saya supaya saya segera
punya anak. Dengan alasan bahwa memelihara kucing bisa menyebabkan keguguran
dan ini dan itu. Oke.... Dia juga bilang kotoran kucing itu begini begitu
...bla...bla...bla.... Oke. Toxoplasma itu begini begitu bla..bla..bla.... Saya
yakin si Ibu ini tidak memelihara kucing karena dari apa yang disarankannya
kepada saya seperti copy-paste dari sejumlah orang sebelumnya yang begitu
terkejut mengetahui kondisi saya. Di bagian
ini saya masih berusaha menjelaskan bagaimana supaya terhindar dari virus ini
tanpa harus menjauhkan saya dari para kucing. Eh, masih ngeyel juga, dan
rupanya dia tidak percaya bahwa saya memelihara kucing saya dengan cukup bersih
dan berhati-hati. Sakit hati...tau gak!!! Mungkin dia membayangkan kucing-kucing saya rembes(kotor) dan bau, rumah saya mumbrus(berantakan)
, penuh bulu kucing dan ook nya. Wew..yuck... Sampai disini saya malas
melanjutkan. Tapi karena dia teman saya, maka sebaiknyalah saya menutup
percakapan itu dengan sebuah kesimpulan yang kira-kira sesuai dengan kepercayaannya tentang kucing. Saya bilang, “Mau dikasih apa nggak, Kalau
aku sih, bukan karena kucingnya, Bu, tapi itu urusan Beliau yang mencipta
kucing”. Eh, dia setuju. Tapi saya yakin
dia masih belum puas karena belum bisa membuat saya percaya dengan argumen
tentang berbahayanya memelihara kucing. Tapi sampai disini saya bisa
menyimpulkan, OK. Teman saya religius. Titik :D lebih pilih alasan pertama
ketimbang alasan medis. :D Lalu saya
balik keadaannya, saya tanya ke dia, “Lha kalau teman-teman saya yang gak punya
kucing tetapi belum juga punya anak, berarti yang disalahkan siapa? Kucing
tetanggakah?”. Haha...gak bisa jawab
dia.
Mereka-mereka inilah yang kemudian memaksa merubah
kucing-kucing jadi kambing, kambing hitam tepatnya. Kucing-kucing selalu
dipersalahkan atas kondisi diatas dengan merujuk kepada potongan informasi. Misalnya,
kucing pembawa virus toxoplasma yang bisa menyebabkan masalah kehamilan. Betul itu,
saya tahu juga. (Lho...pintar khan saya...?) tetapi sayangnya informasi ini cuma
sepotong. Kucing apa dan bagaimana yang bisa
membawa virus ini. Bagaimana supaya bisa terhindar dari virus ini tanpa harus
meninggalkan kucing kesayangan. Kalaupun ada informasi tentang ini, saya yakin
mereka para kaum perubah kucing menjadi kambing akan sangat sulit menerima
karena sudah terdoktrin secara turun temurun.
Jaman maju seperti sekarang ini, arus informasi sangat kencang, tetapi
sayang beberapa orang hanya “ngentir” (membiarkan diri terbawa arus), tidak
berusaha mengendalikan arah sendiri. Contoh mudahnya adalah “share”/ membagi
informasi tidak lengkap tentang satu hal tanpa tahu benar salahnya tanpa tahu
harus bagaimana. Sekedar klik, send, dan omong-omong. Akibatnya, kasihan
kucing-kucing yang terpaksa dikambing-kambingkan padahal mereka tidak doyan
makan rumput. Supaya kucing tetap
menjadi kucing, sebaiknyalah mereka kaum perubah kucing jadi kambing membaca
link semacam ini >>
Saya menulis ini demi kucing-kucing saya saat ini, Cabi, Ciki
dan Miko, dan mereka yang telah berpulang. Saya tidak rela mereka menjadi kambing,
apalagi yang hitam, karena kandangnya harus besar sementara rumah saya cuma
tipe-36. Sekian.