Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Maret 2015

Kucing atau kambing? (Part-2)



Kucing atau kambing?

Kucing disebut juga kucing domestik atau kucing rumah (nama ilmiah: Felis silvestris catus atau Felis catus) adalah sejenis mamalia karnivora dari keluarga felidae. Kata "kucing" biasanya merujuk kepada "kucing" yang telah dijinakkan,[3] tetapi bisa juga merujuk kepada "kucing besar" seperti singa dan harimau.  (http://id.wikipedia.org/wiki/Kucing)
 
Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia Barat Daya (daerah "Bulan sabit yang subur" dan Turki) dan Eropa. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya, kambing mempunyai janggut, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berrambut lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar, tidak termasuk ekor, adalah 1,3 meter - 1,4 meter, sedangkan ekornya 12 sentimeter - 15 sentimeter. Bobot yang betina 50 kilogram - 55 kilogram, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kilogram... (http://id.wikipedia.org/wiki/Kambing)

Dari sumber diatas, jelas sekali  bahwa kucing dan kambing adalah dua hewan dari dua species yang berbeda.  Tetapi saya masih belum mengerti akan halnya beberapa orang yang rupanya masih bingung membedakan antara kucing dan kambing.  


Pagi tadi saya mengunggah foto Cabi salah satu kucing saya di BBM dengan caption “ancene kucing ndeso, wetfood whi*** kok ndak doyan”.  Karena kehabisan ikan kukus yang biasa dijual dipasar, terpaksa para kucing sarapan dengan menu nasi lauk wetfood. Eh, si Cabi ngambek tidak mau makan. Terbitlah foto dan caption itu di BBM.  Tidak terduga seseorang membuka percakapan tentang status akun saya pagi ini.  Saya dengan tanpa prasangka melayaninya dengan canda. Tetapi lama-lama saya mulai tahu kemana arah percakapannya. Tidak lain tidak bukan adalah tentang hubungan saya dengan para makhluk berkaki empat itu. OK. Jujur saja kalau saya mau catat, sudah ratusan orang berkomentar sama tentang hubungan saya dengan mereka, bahwa kucinglah yang menyebabkan saya tidak segera punya anak. WHAAAAA!!!!! Ini...perlu ditowel dulu ini orang.

Satu. Sejak kapan kucing menjadi penentu siapa bisa punya anak siapa tidak. Sayangnya banyak orang percaya ini.  Lha kalau urusan ini bagiannya para kucing, tugas Tuhan apa dong?... “Eh, Cing. Kamu deh urusin itu sapa yang mau punya anak ato nggak. Saya banyak urusan lain ini.” Kucing bilang, “Siap, Gan”.  Wew, ....geli saya kalau membayangkan ini. Saya menangkapnya orang percaya dengan side-belief , atau kepercayaan sampingan :D bahwa selain Tuhan, ada hal-hal lain yang membuat kita bisa memiliki atau tidak memiliki ini dan itu. Seperti contoh klasik lain, kalau kita berkunjung ke orang yang punya bayi, kita minta bedaknya biar segera ketularan punya anak juga. Bahaya ini, sumpah! Bagaimana tidak, kena bedak bayi bisa langsung punya bayi. Tidak bagus itu. Terlalu instan, banyak MSGnya. :D Bukan itu maksud saya, tapi itu MUSYRIK woiii! 


Dua.  Sebenarnya akar masalahnya adalah bukan dari sisi religius, tetapi lebih ke medis (mulai serius).  Ibu yang chat dengan saya di BBM itu menyarankan saya meninggalkan kucing-kucing saya supaya saya segera punya anak. Dengan alasan bahwa memelihara kucing bisa menyebabkan keguguran dan ini dan itu. Oke.... Dia juga bilang kotoran kucing itu begini begitu ...bla...bla...bla.... Oke. Toxoplasma itu begini begitu bla..bla..bla.... Saya yakin si Ibu ini tidak memelihara kucing karena dari apa yang disarankannya kepada saya seperti copy-paste dari sejumlah orang sebelumnya yang begitu terkejut mengetahui kondisi saya.  Di bagian ini saya masih berusaha menjelaskan bagaimana supaya terhindar dari virus ini tanpa harus menjauhkan saya dari para kucing. Eh, masih ngeyel juga, dan rupanya dia tidak percaya bahwa saya memelihara kucing saya dengan cukup bersih dan berhati-hati. Sakit hati...tau gak!!!  Mungkin dia membayangkan kucing-kucing saya rembes(kotor) dan bau, rumah saya mumbrus(berantakan) , penuh bulu kucing dan ook nya. Wew..yuck... Sampai disini saya malas melanjutkan. Tapi karena dia teman saya, maka sebaiknyalah saya menutup percakapan itu dengan sebuah kesimpulan yang kira-kira sesuai  dengan kepercayaannya tentang kucing.  Saya bilang, “Mau dikasih apa nggak, Kalau aku sih, bukan karena kucingnya, Bu, tapi itu urusan Beliau yang mencipta kucing”.  Eh, dia setuju. Tapi saya yakin dia masih belum puas karena belum bisa membuat saya percaya dengan argumen tentang berbahayanya memelihara kucing. Tapi sampai disini saya bisa menyimpulkan, OK. Teman saya religius. Titik :D lebih pilih alasan pertama ketimbang alasan medis. :D  Lalu saya balik keadaannya, saya tanya ke dia, “Lha kalau teman-teman saya yang gak punya kucing tetapi belum juga punya anak, berarti yang disalahkan siapa? Kucing tetanggakah?”.  Haha...gak bisa jawab dia. 

Mereka-mereka inilah yang kemudian memaksa merubah kucing-kucing jadi kambing, kambing hitam tepatnya. Kucing-kucing selalu dipersalahkan atas kondisi diatas dengan merujuk kepada potongan informasi. Misalnya, kucing pembawa virus toxoplasma yang bisa menyebabkan masalah kehamilan. Betul itu, saya tahu juga. (Lho...pintar khan saya...?) tetapi sayangnya informasi ini cuma sepotong.  Kucing apa dan bagaimana yang bisa membawa virus ini. Bagaimana supaya bisa terhindar dari virus ini tanpa harus meninggalkan kucing kesayangan. Kalaupun ada informasi tentang ini, saya yakin mereka para kaum perubah kucing menjadi kambing akan sangat sulit menerima karena sudah terdoktrin secara turun temurun.  Jaman maju seperti sekarang ini, arus informasi sangat kencang, tetapi sayang beberapa orang hanya “ngentir” (membiarkan diri terbawa arus), tidak berusaha mengendalikan arah sendiri. Contoh mudahnya adalah “share”/ membagi informasi tidak lengkap tentang satu hal tanpa tahu benar salahnya tanpa tahu harus bagaimana. Sekedar klik, send, dan omong-omong. Akibatnya, kasihan kucing-kucing yang terpaksa dikambing-kambingkan padahal mereka tidak doyan makan rumput.  Supaya kucing tetap menjadi kucing, sebaiknyalah mereka kaum perubah kucing jadi kambing membaca link semacam ini >> 

Saya menulis ini demi kucing-kucing saya saat ini, Cabi, Ciki dan Miko, dan mereka yang telah berpulang. Saya tidak rela mereka menjadi kambing, apalagi yang hitam, karena kandangnya harus besar sementara rumah saya cuma tipe-36. Sekian.

KUCING ATAU KAMBING? (Part. 1)

KUCING ATAU KAMBING? (Part. 1)

Suatu pagi di lingkungan perumahan baru.

Mrs. X:  Saking pundi Bu? (darimana, Bu?)
Saya:  Niki saking mendet laundry. Nembe santai2 tho bu? (ambil laundry, lagi santai ya?
Mrs. X:  Nggih, niki dhedhe mumpung panas. Lha putrane pundi?(iya, mumpung panas ini berjemur. anaknya mana?)
Saya: hehehe...dereng enten. (belum ada)
Mrs. X: ooo...pun dangu anggenipun nikah? (sudah lama menikah?)
Saya: nggih ...lumayan.
Mrs. X: lha nggih, kok dereng gadah putra. Malah putrane “KUCING” (lha iya ...masak belum punya anak sih? malah anaknya kucing)
Saya: (*whaaaa???!!) (spontan saya meraba pantat....Alhamdulillah, ekor saya tidak terlihat). (dari jendela Miko, si bos besar kucing saya, menyeringai jahat, hehehe...kamu ketahuan)(*)

Satu contoh nyata ketika memelihara seekor binatang dianggap sebuah kompensasi karena tidak memiliki ini dan itu, anak misalnya.  Bagi saya memelihara hewan peliharaan adalah sebuah hubungan kasih sayang antar makhluk hidup dari spesies yang berbeda, bukan sebagai pengganti sesuatu.  Saya memaklumi reaksi orang seperti Mrs. X diatas ketika melihat hubungan saya dengan hewan-hewan peliharaan saya karena dia sendiri jijik dengan hewan dan bahkan tanamanpun dia hampir tidak punya.  Suatu kali Mrs.X ini terkekeh-kekeh ketika tahu saya menamai 4 ekor kucing saya, Miko, Ciki, Cabi dan Iyeng (RIP).  Betapa dia geli bahwa sempat-sempatnya saya menamai kucing-kucing saya. Lebih heran lagi, ketika dia bertanya tentang bagaimana cara buang air kucing-kucing saya karena selalu berada di dalam rumah. Saya bilang ada wadah khusus  dan ada yang bisa langsung pipis di kloset. Tidak percaya dia.

Saya sering terlihat berbicara dengan kucing-kucing saya. Yes, I do talk to my pets.  Entah para kucing itu paham atau tidak, saya tetap saja berbicara pada mereka. Orang yang melihat pasti menganggap saya “gendheng”. Biar saja. Lebih edan mana dengan orang yang suka menyiksa binatang? Kadang saya merasa bahwa orang melihat saya sebagai orang aneh yang kurang kerjaan atau orang yang kasihan banget karena gak punya anak blaa...bla...bla.... Sedih juga sih dianggap begitu. Tetapi ketika saya sesekali bertemu dengan mereka yang dengan sukarela memelihara kucing atau anjing terlantar, saya tidak merasa sendirian lagi. Masih banyak diluar sana orang-orang hebat yang berhati mulia karena mau menolong kucing atau anjing terlantar tanpa takut di cap “gendheng” tadi.  Kalaupun saya juga dianggap “gendheng”, paling tidak saya tidak “gendheng” sendirian.  :D   
Pagi tadi saya bertemu dengan seorang “gendheng” seperti saya di klinik hewan.  Sebelumnya saya harus melarikan Miko ke klinik pagi ini karena seharian kemarin muntah dan tidak mau makan apapun.  Ketika keluar dari ruang periksa, saya melihat seorang ibu setengah baya dengan putrinya seumuran mahasiswa.  Si ibu memangku kucing domestik yang cukup besar dan terlihat kumal. Saya mendekatinya dan bertanya-tanya. Maklum sesama “gendheng” :D.  (note: Saya hanya memasukkan penyayang kucing domestik saja sebagai orang sejenis saya, pecinta kucing import gak masuk kategori karena orientasinya beda :D ) Lanjut... Kata si ibu itu kucing cuma kucing liar yang suka datang kerumah numpang makan tidur selama beberapa bulan terakhir.  Karena tadi pagi terlihat sakit dan perutnya membesar  lalu si ibu berniat membawanya ke klinik.  Bagi saya, inilah penyayang kucing.  Mungkin orang lain berpikir buat apa mengurusi kucing liar, mati mbok ya biar.... Tapi si ibu ini bukan orang semacam itu. Dia rela memangku kucing kumal sebesar macan dari rumahnya yang lumayan jauh ke klinik. Sungguh terharu melihat si kucing yang begitu beruntung mendapat tempat dihati si ibu dan si mbak tadi.  Cukup lama saya bercakap-cakap denga mereka berdua dan berbagi cara membersihkan bulu si kucing biar terlihat agak ganteng.  Karena si mbak memuji-muji Miko, kok bersih , ganteng lagi. Errrrr..... Sampai dikira kucing import pula. Spontan Miko langsung sembuh dari iritasi lambungnya karena dipuji si mbak......  

Ketika mampir ke sebuah petshop untuk membeli dryfood, saya bertemu juga dengan malaikat yang lain lagi. Yang ini bapak-bapak dengan seragam PNS.  Padahal masih termasuk jam kerja, si bapak berani-beraninya ngelayap ke petshop cuma untuk membeli dryfood dan obat kutu buat kucingnya.  Ketika tahu saya membawa kucing domestik, si bapak malah bertanya bagaimana cara membersihkan kutu kucing karena ternyata kucing si bapak domestik juga. Entahlah, saya lebih bisa berbagi banyak dengan sesama penyayang kucing domestik daripada pemilik kucing ras. Yaaa...mungkin sesama penderita “gendheng” tadi.  :D 
Jujur saja, saya kadang masih berusaha menghindari percakapan tentang hewan peliharaan saya dengan orang yang tidak suka dengan hewan. Percuma saja, namanya tidak suka ya sulit untuk paham kalau sebenarnya hewan itu juga bisa dilatih tertib.  Bahkan saya selalu berusaha tidak terlihat tetangga ketika harus membonceng keranjang rio berisi kucing untuk dibawa ke dokter hewan. Suatu ketika ketahuan juga oleh tetangga ketika pulang dari dokter hewan. Woooow langsung berceceran komentar tentang betapa mahalnya...sempat-sempatnya...kucing aja kok dibawa ke dokter segala...  Saya cuma “mrenges” saja.  Percuma dijelaskan. End of discussion. Kadang ingin juga memberi penjelasan bahwa memelihara hewan itu tidak sejijik yang mereka pikirkan, tapi...ya sudahlah.  Terlanjur sudah mereka membuat kucing-kucing jadi kambing hitam kekotoran rumah dan penyebab penyakit ini dan itu. 
Sayang dan cinta itu beda tipis. Sama-sama memberikan perhatian. Menyayangi hewan peliharaan berarti mau menerima hewan peliharaannya dalam kondisi apapun dan rela membelanjakan sebagian hartanya untuk mereka, seperti si ibu dengan kucing segede macan tadi.  Satu hal yang penting, penyayang hewan tidak akan pernah menjual hewan peliharaannya.
Penyayang kucing tidak akan merubah kucing-kucingnya menjadi kambing hitam hanya karena mendengar opini negatif tentang mereka. 
(Untukmu penyayang kucing dan anjing terlantar, YOU’RE ANGELS IN DISGUISE. Kalian malaikat yang tak terlihat. Lemah teles, Gusti Alloh sing bales. )