Total Tayangan Halaman

Sabtu, 30 November 2013

Ayo Berburu Diskon Akhir Tahun

(don’t) SHOP TILL YOU DROP

Menjelang akhir tahun begini biasanya pusat-pusat perbelanjaan menggelar diskon besar-besaran untuk produk apa saja. Wow… sungguh menggiurkan. Siapa yang tidak terpikat dengan label diskon 50% + 20%? Atau beli 1 gratis 1? Atau beli 4 bayar 3? Hohoho…… luar biasa! Sekali pergi ke mall bisa jadi kesulitan pulang karena tidak mampu membawa tas belanjaan yang penuh barang-barang diskonan.  Belum lagi kalau kita mempunyai kartu membership pusat perbelanjaan tertentu, masih bisa dapat  poin yang bisa ditukar lagi dengan barang lho….. Sekali lagi luar biasa!

Kegiatan belanja selalu diasosiasikan sebagai kegiatan perempuan.  Jadi sebagai perempuan “normal” saya juga suka berburu barang-barang diskonan.  Sering kali teman  saya mengajak belanja ini itu karena ada merek terkenal sedang diskon katanya. Tetapi sering-seringnya saya enggan untuk mengiyakan.  Kadang-kadang satu hal karena sedang tidak berencana beli-beli  dan tidak ada dana.  Kedua,  karena saya pernah sakit hati dengan yang namanya diskon.  Saya berpikir mengapa harus membeli barang yang sedang berharga murah kalau sedang tidak membutuhkannya.  Prinsip saya kalaupun mahal tetapi saya butuh ya saya harus beli.  Contoh yang paling gampang adalah baju.  Musim-musim begini, akhir tahun dan hari raya, yang namanya diskon baju pasti ada di semua pusat belanja.  Kalau hanya tergiur harga murah, bisa saja beli sekarung. Tapi buat apa menumpuk baju banyak-banyak , apalagi yang sedang tren.  Bukannya tren itu selalu cepat berubah.  Belum sempat dipakai tren sudah berubah, beli lagi…..begitu seterusnya.  Buat saya beli baju itu butuh  “chemistry”, harga murah dan merek saja gak cukup.  Kalaupun  bermerek  dan lagi diskon kalau lagi gak perlu , ya buat apa beli.  Suatu kali ketika saya sedang memakai lotion di kantor, tiba-tiba ada teman saya yang bilang kalau lotion yang sedang saya pakai itu sedang ada promo di sebuah hypermarket.  Katanya lagi, ada potongan harga, jadi lebih murah sekian rupiah. Saya kebetulan baru saja beli dari tempat lain dan belinya pun cukup satu saja.  Kalaupun di tempat teman saya belanja itu sedang diskon dan saya cuma beli satu biji apa bedanya? Paling-paling selisih cuma seribu.  Saya harus bayar parkir lagi, jadinya malah lebih mahal dong…. Kecuali kalau saya membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi, itu beda topic.   Lalu ada teman yang lain lagi cerita ketika dia sedang antri di kasir, seorang ibu didepannya mengambil sebuah produk cookies yang sedang ada promo dan didisplay di dekat kasir, beli satu dapat dua.  Eh, si teman tadi jadi ikut-ikutan ambil cookies tadi padahal lagi tidak butuh.   Pembelanja yang hebat bukan?

Sakit hati dengan kata diskon di toko? Itu saya.  Suatu kali saya membeli buku di sebuah toko  buku terkenal, tertulis diskon 40%.  Sesampai dirumah, ketika saya membuka bungkus plastiknya secara iseng saya ambil juga stiker harganya.Ternyata ada dua stiker yang ditumpuk.  Yang dibawah harga asli yang satu lagi harganya lebih mahal beberapa ribu rupiah.  Ketika saya iseng lagi menghitung harga yang tadi saya bayar, harga yang tertera di stiker atas dikurangi nilai diskonnya, harganya malah jadi lebih mahal dari harga aslinya yang ada di stiker bawahnya… Langsung saya patah hati.  Jadi begini kelakuannya…  Bukan sekali itu saja saya disakiti oleh diskon.  Kali ini terjadi di sebuah department store ketika hendak membeli jeans.  Di situ harganya sekitar 200-300 ribuan dengan diskon label 50% persen.  Saya tidak langsung beli. Lalu saya pergi ke sebuah jaringan toko local yang memang terkenal murah meskipun jarang ada diskon.  Ternyata benar, jeans dengan merek dan model yang sama di toko lokal itu harganya adalah harga jeans yang sudah didiskon  di department store besar tadi.  Kesimpulannya, department store besar itu melipat duakan harganya baru di label diskon 50% dimana itu adalah harga aslinya produk jeans tersebut.  Cape’ dweeeeh….  Mulai saat itu saya selalu berpikir dua kali kalau ada kata-kata diskon. Saya tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya.  Meskipun kadang saya masih mencarinya juga

Ngomong-ngomong soal diskon, menurut saya sebenarnya bukan masalah  mendapatkan harga murahnya, tetapi lebih kepada prestise karena bisa membeli barang-barang bermerek.  Dan tentu saja tempat mendapatkan barang itu adalah satu alasan lain yang membuat orang berlomba-lomba memburu diskon.  Mana ada orang yang pamer  ketika mendapatkan potongan harga di pasar tradisional.  Sebaliknya kalau mendapatkan potongan harga 5% saja di sebuah mall mewah, pasti ceritanya keseantero nusantara secara lisan dan melalui social media J .  Orang-orang yang seperti itu biasanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas, OKB, atau yang pura-pura berpunya.  Tetapi kemudian saya berpikir, kenapa juga harus memburu diskon padahal mereka jelas-jelas punya uang, kecuali tentu saja yang berpura-pura tadi.  Sebuah kenyataan yang aneh. 

Kebetulan akhir tahun ini ada soft opening mall baru di tempat saya. Otomatis semua orang dibanjiri promosi dan diskon ini itu.  Salah satu retail kelas berat bahkan telah menyebar pendaftaran gratis kartu keanggotaan jauh-jauh hari sebelum pembukaan mall tersebut.  Orang-orang dengan sukacita berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu membership belanja.  Ketika seorang teman yang juga bukan pembelanja bertanya apa keuntungan yang bias diperoleh kalau mempunyai kartu itu.  Sales dari retail tersebut menyebutkan sekian persen potongan harga untuk pembelian barang di tempat itu. Sekian persennya itulah yang membuat saya melongo, 2.5%!  Weks!!!!  Iya kalau saya belinya satu container, untungnya terasa.  Lha kalau saya cuma beli satu dua biji?  Orang Jawa menyebutnya “nylilit” (*sisa makanan di sela-sela gigi …ieww!!!)

Ya maklum sih…saya adalah pengunjung setia pasar tradisional yang tidak mengenal promo dan diskon kecuali penjualnya baik hati. Saya kurang bisa menjiwai dunia belanja diskon di mall dan hypermarket.  Saya masih addicted  dengan senyuman dan candaan mbokdhe-mbokdhe penjual di pasar yang kadang-kadang tanpa diminta mereka memberi potongan harga dan extra item dengan senang hati.  Inilah yang tidak bisa saya temukan di tempat-tempat belanja mewah itu.  Kalaupun dapat extra item, pastinya bayarnya juga ekstra, beli satu dapat dua senilai $$$.... Well…… 

Memburu  diskon itu memang menyenangkan. Saya suka itu.  Tetapi sebaiknya pikirkan pula, apakah barang yang memikat hati itu memang benar-benar dibutuhkan.  (PERHATIAN: SARAN INI BERLAKU HANYA UNTUK KAUM PROLETAR  :D)

 

Selamat  Menikmati Musim Midnight Sale dan Diskon Akhir Tahun , Kawan….



Sabtu, 07 September 2013

KARENA RASA ADALAH SEGALANYA*

(kata2 iklan apa ya? Lupa...pinjam sebentar )


Nun di sebuah kampung dekat tempat tinggal saya, tersebutlah sebuah warung yang menjual menu-menu tradisional khas Jawa, khususnya makanan Solo.  Warung sederhana ini terletak di tengah perkampungan, memiliki halaman yang luas, dan dulu ada sebatang pohon mangga yang cukup besar di depannya sehingga kalau siang sangat teduh.  Entah mengapa terakhir saya lewat pohon mangga itu sudah tak ada lagi di tempatnya.  Ada kurang lebih 3 orang yang mengelola warung ini, Si Ibu, si Mbak, dan si Bapak.  Mereka punya tugas yang berbeda-beda.  Si Ibu dan si Mbak berada di depan melayani pembeli, dan si Bapak mondar-mandir ke dapur membuat minuman.  Setiap hari tepat jam makan siang, warung ini selalu penuh dengan pembeli sampai-sampai ada yang mengantri dari jendela.  Siapa yang tidak tergiur dengan tumpukan gorengan yang masih hangat, bau segar khas bumbu lotek dan pecel yang berpadu dengan aroma gurih kuah timlo  dan ketoprak.  Saya kurang tahu pasti ada berapa macam makanan yang dijual di sini, karena terlihat sangat banyak dan pembelinya juga berjubel sehingga agak sulit mengamati dengan seksama.  Belum lagi segala macam kerupuk, karak, dan rambak yang bergelantungan di atas meja.  Sungguh suasana yang pas untuk makan siang, apa yang dilihat bisa langsung disikat…..
Namun demikian, seumur hidup saya baru dua kali saya mampir ke warung itu.  Pertama ketika saya penasaran mengapa warung ini sedemikian ramainya, dan kunjungan saya yang kedua adalah ketika saya suatu hari ingin makan gado-gado dari warung itu.  Saya belum merencanakan kunjungan saya yang ketiga karena ada hal yang masih mengusik saya hingga detik ini, si Mbak ternyata orangnya judes dan galak minta ampyuuuun cyiiin….

Saya kemudian bertanya-tanya mengapa bisa warung itu selalu ramai padahal si Mbak yang jualan juga tidak begitu ramah.  Entah pada saat saya makan ke warung itu si Mbak lagi PMS, jadi maunya marah-marah terus.  Sampai-sampai pada saat itu, ada seorang bapak yang hendak pesan kena bentak karena terlalu lama mikir mau makan apa.  Bukan itu saja, selama saya mengantri gado-gado saya, si Mbak melayani pembeli dengan muka cemberut dan berbicara dengan ketus.  Herannya, orang-orang yang beli juga tampaknya tidak begitu terpengaruh dengan perilaku si Mbak.  Saya agak keder juga sebenarnya, sampai-sampai saya lupa tidak jadi  beli kerupuk, habis bayar saya langsung kabur.  Iiihhhhh…syereeeemmm….

Saya pernah membaca sebuah artikel tentang marketing atau customer service atau apalah namanya.  Artikel itu mengatakan bahwa melayani pembeli itu harus dengan ramah dan memberikan senyuman supaya pembeli tidak kapok untuk kembali lagi.  Ada lagi satu teori tentang pentingnya tersenyum yang menyebutkan bahwa kalau kita tersenyum, orang lain yang melihat kita akan tergerak untuk tersenyum juga sehingga terbangunlah suasana positif.   Lhah, lalu?!  Si Mbak tadi pasang muka galak dan jutek, pembeli tetap saja berjubel dan dengan sabar mengantri.   Bahkan para pembeli pun memberikan senyuman termanis mereka kepada si Mbak yang tetap saja merengut.  Lalu apa yang salah dengan teori-teori marketing dan pelayanan dan psikologi itu?  Ini yang membuat saya selalu bertanya-tanya dan belum menemukan jawaban yang memuaskan.  Bukan sekali ini saja saya menemukan bentuk pelayanan yang “menakutkan” tetapi disisi lain masih banyak juga yang menggunakan jasa dari si penjual.  

Saya kemudian berasumsi.  Satu, orang-orang yang beli di tempat si Mbak tadi adalah orang-orang yang memiliki level kesabaran tingkat dewa dan selalu berpikir positif. Jadi meskipun di aniaya secara audial oleh suara si Mbak yang ketus tetap saja mereka dengan sabar mengantri.  Tentu saja saya adalah pengecualian, karena saya kabur dan tidak kembali lagi .....   Dua, orang-orang tersebut mendapatkan tempat yang nyaman untuk mendapatkan makan siang atas nama jarak, karena beberapa pembeli yang saya lihat adalah orang-orang kampung sekitar.  Tiga, mereka telah terpenjara rasa dan harga.  Sekali kita merasakan suatu makanan yang cocok di lidah tanpa membuat kantong hancur lebur , pasti kita akan kembali ke tempat itu lagi tanpa memikirkan ini dan itu.  Rasa adalah raja, karena selalu akan membuat kita tunduk akan segala keberadaannya.  Orang mencari tempat makan sampai jauh hanya karena apa? RASA.

Entahlah, apakah asumsi-asumsi saya itu benar atau salah, saya tidak begitu peduli.  Saya cuma ingin tahu apakah pakar-pakar marketing dan pelayanan bisa menjelaskan fenomena ini, bahwa rasa adalah segalanya terlepas dari siapa yang menciptanya.  

Rabu, 21 Agustus 2013

terlalu

terlalu banyak ide tulisan di otak

terlalu banyak bacaan yang harus di kaji

tetapi...

terlalu sedikit waktu untuk menulis

t e r l a l u...

Kamis, 20 Juni 2013

i n s t a n

INSTAN

Menurut kitab Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, instant  (Adj) berarti “happening immediately, without any delay” (sifatnya terjadi secara segera tanpa penundaan),(noun) “a n extremely short period of time; a moment” ( periode waktu yang sangat pendek), instantly (adv) berarti “immediately” (dengan segera).

Semua orang terobsesi sesuatu yang “segera”—Instan.  Lihat saja, ada mie instan, kopi instan, susu instan, bubur instan, jilbab pashmina instan, pesan instan, semua serba segera.  Teknologikah yang menyebabkan semua ini?  Bisa jadi. Tetapi tidak melulu peran teknologi, penggunanyalah yang sehrusnya bertanggung jawab. 
Akhir-akhir ini saya pusing dengan ke “instan”an  ini.  Saya berjualan produk tas yang pembuatannya separo mesin sebagian manual.  Saya bergerak di dua dunia.  Maya dan Nyata.  Pembeli dunia nyata cukup bisa  bertoleransi dengan penundaan karena cukup mengerti di beri penjelasan bahwa pembuatannya membutuhkan waktu yang lama karena ada sebagian yang harus dikerjakan manual.   Tetapi ada satu pembeli saya dari dunia maya, kami hanya berhubungan dengan pesan singkat, yang juga berjualan di dunia maya.  Pesanan mengalir banyak, dan saya suka itu.  Tetapi yang saya tidak tahan adalah ketika sebuah produk sedang most wanted dan selalu kehabisan stok, pembeli-pembelinya  yang bergerak murni didunia maya menyuruhnya sesegera mungkin menyediakan barangnya. Selanjutnya dia yang menguber-uber saya supaya barangnya cepat di datangkan.  Saya kuwalahan dengan gerakan ini.  Bukan karena saya menggunakan teknologi yang lebih lambat, tetapi lebih kepada perjalanan produk itu hingga sampai ketangan mereka.  Tidakkah mereka sadar barang yang mereka mau itu bukan buatan mesin 100%, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama.  Belum lagi karena sedang trend, separuh lebih warga Indonesia Raya juga menginginkan barang itu.  Habis berapa kata saya menjelaskan itu, tetapi mereka tidak mau tahu, pokoknya  segera! Mati saya! Ini bukan lagi meminta saya untuk cepat-cepat, tetapi meminta saya berbuat instan! Sungguh ter…la….lu!
Dari contoh kecil ini, saya jadi bertanya sebegitu parahkah obsesi “serba segera “ ini menjangkiti umat manusia? Semua serba ingin segala sesuatu segera datang, segera  terlaksana, segera  selesai.  Apa enaknya?  Apa yang dicari? Apa yang didapat?   Manusialah yang berperan nomer satu atas obsesi ini.  Merekalah yang menciptakan piranti-piranti yang pada akhirnya memperbudak mereka.  Bagaimana tidak? Enak-enak tidur, tiba-tiba si BB mengeluarkan bunyi.  Penasaran dengan siapa dan apa yang sedang terjadi, bangunlah si pemilik.  Begitu hebat dan cepatnya proses indoktrinasi  pencipta piranti cepat saji ini, bahwa kita tidak akan tertinggal apapun dari dunia.  Betul tidak ketinggalan apapun, tetapi sadarkah bahwa mereka telah kehilangan dunia mereka sendiri.  Semua harus di komen cepat-cepat, tanpa berpikir malah , kalau tidak pasti kedahuluan yang lain. 
Saya menikmati kecepatan tetapi bukan penggemar sesuatu yang instan.  Contoh kecil, saya lebih suka kopi tubruk daripada kopi instan yang kadang membuat saya mules.  Saya menikmati proses.  Inilah yang telah hilang semenjak adanya piranti –piranti yang menyediakan hal-hal instan.  Bukankah dengan adanya hal-hal instan, pengetahuan dan pengalaman akan menjadi sangat minim? Tahunya  hanya permukaan saja.  Misalnya, ketika ada berita si Anu dijebloskan ke penjara karena berbuat Anu dengan si Itu.  Jejaring social dengan jumlah kata yang minim biasanya hanya menampilkan judulnya saja.  Adalah kadang malas orang-orang membuka situsnya untuk tahu secara gamblang, jadilah membaca si judul saja. Dan tahunya itu saja.  Mana tahu dimana si Anu berbuat dengan si Itu, dan berapa kali, kenapa si Itu setuju dengan si Anu.   Belum lagi kalau si Anu menghina kelompok si Itu, karena tahunya hanya permukaan maka terjadilah bakar-bakaran, bunuh-bunuhan, dan tembak-tembakan.  Sampai masalah emosipun bisa tersulut secara instan!  Opo ora hebat?!
Kesimpulannya ,instan itu segera, cepat.  Sebaliknya, kecepatan itu tidak instan karena  kecepatan diawali oleh sebuah  proses yang dinamakan akselerasi.  Akselerasi adalah proses dari lambat menjadi lebih cepat.  Jadi sesegera apapun keinginan untuk menjangkau sesuatu, ingatlah ada tahap-tahap yang harus dilewati sehingga segala sesuatunya menjadi sempurna.  J





Kamis, 25 April 2013

ALAAAAH……APAA…..INDONESIA ITU JELEK, MISS……………..



ALAAAAH……APAA…..INDONESIA ITU JELEK, MISS……………..

Dua minggu ini tema kelas English for Children 5B saya adalah Products and Process.  Salah satu topiknya adalah “What is Costa Rica / China/ Italy known for?” dan “What products is ………. well-known?”.  Singkatnya tentang hal menarik dan produk  unggulan dari berbagai negara.  Murid-murid saya sangat tertarik dengan topic ini dan muncullah pengetahuan-pengetahuan dari mereka tentang dimana itu Costa Rica, apa produk unggulannya, dan lain-lain.  Sangat mengagumkan!  mereka tahu banyak .  Tetapi ketika tiba saatnya ‘enrichment’ dimana mereka harus menyebutkan dan membuat daftar tentang apa yang menarik dan produk apa saja yang ada di Indonesia, muncullah kalimat seperti yang terdapat di judul atas, “ Alaaaaah….apa? Indonesia itu jelek,  Miss. Ndak punya apa-apa. Banyak korupsi………..”  WOW! Saya terkaget-kaget mendengar seorang anak SD kelas 5 mengatakan itu dengan entengnya.  Pada saat itu saya hanya berkomentar, “ What?!  OK, next meeting we’ll see what Indonesia has and you will know a lot about it”.  Sebenarnya saya ingin sekali menjelaskan panjang lebar, tapi percuma juga kalau mereka tidak mengalaminya sendiri.  Dan saya buatlah  lesson plan untuk meeting selanjutnya yang salah satu bagiannya membuat mereka  harus berjuang untuk mencari apa yang dipunyai Indonesia dan mengapa Indonesia itu menarik. 

Tibalah meeting yang saya rencanakan itu.  Enrichment menjadi bagian terakhir di session pada hari itu.  “ So, class, we’ve learned a lot about many products and attractions from many different countries.  Now it’s time for us to know more about our country”.  Heran. Mereka tidak protes seperti meeting sebelumnya.  Saya buatkan mind map di whiteboard dengan clusters sejumlah mereka, 9 orang, products: agricultural crops, fisheries, food, etc dan attractions yang terdiri dari houses, dances, tourism places dan beberapa lagi.   Satu murid saya beri satu lembar kertas origami warna- warni berukuran sedang.  Mereka “hom-pim-pah” untuk memilih cluster mana yang harus mereka kerjakan.  Dan…… mulailah mereka berkicau sambil berjalan kesana kemari dan bertanya ini itu, “Miss, what is ‘sego liwet’ in English?’”….”Miss, Keraton juga masuk attraction?” …… Tiba-tiba ada satu murid berkata, “ Miss, kertasnya tidak cukup…. Masih banyak yang belum ditulis….”  Well….. kalimat terakhir inilah yang kemudian saya pakai untuk menyadarkan mereka betapa kayanya Indonesia disamping hal-hal buruk yang mereka dapatkan dari media di sekitar mereka.  Akhirnya , dengan puas mereka menempelkan hasil kerja mereka di bawah peta dunia dan bendera merah putih dari kertas origami bersanding dengan Costa Rica, China, dan Italy.  Saya pun menutup kegiatan itu dengan berkata, “ So…what do you think? What is Indonesia known for? What products is Indonesia well-known?”  Mereka jawab,”Aduh, Miiiiissss….So many!”   So..... :)
Sebuah contoh kecil yang membuat saya bertanya pada diri sendiri, benarkah anak-anak seumuran mereka tidak tahu dan tidak peduli betapa kayanya Indonesia? Apakah yang menyebabkan mereka tidak tahu? Siapakah yang seharusnya mengajarkan itu, Guru sekolah? Orang tua? Media?  No idea.  Sebenarnya bukan otoritas saya untuk mengajarkan pengetahuan ini, tetapi apa salahnya kalau saya berbagi apa yang saya tahu.  Jadi masihkah anda bangga dengan anak-anak anda yang berbicara bahasa asing dan bahkan tidak tahu kosa katanya dalam bahasa Indonesia -- “Ibu aku mau ‘princess’ yang ‘dress’-nya ‘red’ ya… “ -- tetapi tidak tahu banyak tentang kayanya tanah dimana mereka lahir dan mereka pijak setiap hari?  :)