Total Tayangan Halaman

Senin, 26 November 2012

Harus saya beri judul apa tulisan ini?


"Pemuda Indonesia Vs Pemuda Palestina"

Pemuda indonesia bangun jam 2 subuh buat nonton bola
pemuda palestine bangun jam 2 subuh buat sholat tahajud
.....................
Pasti tidak setiap Pemuda Indonesia seperti tadi. Apalagi pemuda2 Indonesia yang punya hati & jiwa untuk tidak mau berdiam diri melihat saudara2 nya di Palestina dibantai & dibinasakan.

Mereka pasti bergerak, walau hanya bisa dengan doa2.
Doa2 yang tulus & keluar dari kesadaran hati terdalam, yang insyaAllah akan di dengar Sang Maha Kuat & Maha Pemilik Semesta Alam, Aamiin Yaa Robbal'alamiin.

Cuplikan diatas berasal dari sebuah link yang di - shared oleh seorang kawan di sebuah jejaring sosial. Menarik dan cukup membuat saya berpikir. Apakah benar pemuda Indonesia hanya bisa seperti itu? Bisa bikin panas ini status! Untungnya kalimat-kalimat itu  ditutup dengan sebuah kesimpulan yang sangat bijaksana.  Akan tetapi link itu diawali dengan satu kalimat dari yang empunya account -- yang tidak perlu saya cuplik disini—yang bisa  memerahkan telinga kita sebagai orang Indonesia.  Sebenarnya kalimat itu yang sangat mengganggu, dan terkesan meng”gebyah uyah” (generalisasi).

Tidaklah adil apabila semua yang tertulis di status tersebut tanpa memberikan pengecualian.  Contohnya adalah kalimat penutup yang  mengingatkan kita akan apa yang jamak terjadi di sekitar kita.  Orang mulai tidak peduli dengan sekitar karena sudah merasa nyaman dan bangga dengan segala yang ada padanya.  Kalaupun kadang peduli dan ingin memberikan dukungan malah kadang berlebih a.k.a lebay.  Perbandingan – perbandingan di atas sangatlah kontras.  Tetapi apa mau dikata, keadaan  memang sangat bertolak belakang.  Mereka yang ada di Gaza, Palestina bertaruh nyawa setiap detiknya untuk membela negeri tercinta.  Apa saja ditinggalkan, demi mempertahankan negara mereka yang hendak diambil paksa.  Sementara, kita di Indonesia dikelilingi sumber daya melimpah dan perdamaian yang kadang ternoda oleh ulah bangsa sendiri.  Sudah saatnya kita sejenak melihat diri kita, sudah seberapa banyak kenyamanan yang kita punya sehingga kadang membuat lupa.
Kembali ke status update diatas.... ketika kemudian saya memberikan satu komentar bahwa kita tidak bisa memungkiri bahwa kita lahir sebagai orang Indonesia dan dijawab yang punya account bahwa kita tidak bisa memilih tempat lahir kita, warna kulit kita.... tetapi jangan pasrah, karakter bisa dibentuk, tetapi mau dan berani atau tidak? Begitu katanya.  Saya kemudian berusaha mencerna jawaban ini yang seakan-akan sudah sangat putus asa dengan apa yang terjadi di sini.  Saya jawab balik bahwa mau tidak atau berani tidak itu adalah masalah personal.  Cara berjuang kita dan pembangunan karakter kita sangatlah berbeda dengan saudara kita yang ada di medan perang Gaza.  Jadi sangatlah tidak adil ketika sebagian pemuda-pemuda kita diharapkan menjadi seperti pejuang disana, menggugat apa saja yang disangka mendukung penjajah tanpa tahu benar tidaknya.  Banyak yang berbuat lebih dari sekedar simpati.  Saya jadi terbayang mereka yang dengan sukarela membangun sebuah rumah sakit di Gaza dan bertahan di bawah desingan rudal yang bisa saja jatuh diatas kepala mereka setiap saat. Sebuah pengorbanan konkret yang luar biasa tanpa harus mengecilkan martabat bangsa sendiri.  Saya yakin mereka sangat bangga bisa melakukan itu dan saya sendiri juga sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan disaat negara lain tidak ada yang bisa melakukannya.  Juga mungkin mereka tidak akan terpikir menggugat siapapun karena yang ada hanya bagaimana menjalankan tugas mulia.  Kalaupun ada yang ingin membantu secara fisik ke medan perang, itu baik-baik saja tetapi bukan dengan angkat senjata, karena itu perang mereka.  Kalau kita ikut-ikutan angkat senjata disana apa bedanya kita dengan negara yang setiap hari kita hujat karena menyokong penjajahan?  Bolehlah secara fisik hadir disana, tetapi untuk membantu meringankan derita mereka seperti yang dilakukan 28 orang istimewa dari Indonesia yang bertaruh nyawa di Gaza. 

Saya membandingkan dengan mereka yang hanya berkata hancurkan ini hancurkan itu tanpa bisa membuat sesuatu yang nyata untuk membantu, bahkan malah kadang merusak obyek-obyek yang tidak berhubungan.   Saya tidak akan menghakimi mereka yang kemudian dengan berlebihan mendukung dan kemudian mengecilkan bangsa sendiri.  Karena dengan begitu mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka termasuk didalamnya.  Perjuangan kita disini juga sangat berat... Ketidakadilan, keserakahan, ke-tidak punya malu-an, kebodohan, ke-lebay-an, ke-ngawur-an harus diperangi.   Bukan dengan senjata tetapi dengan pembangunan karakter seperti yang diunggah kawan saya di komentarnya.  Tetapi jangan pernah tanyakan berani atau tidak, karena dengan begitu akan menunjukkan ketidakyakinan akan kemampuan bangsa sendiri.  Yang masih hedonis dan kapitalis biarkan saja, biarkan mereka menyiarkan kesenangan mereka dimana-mana.  Waktu yang akan menyadarkan mereka dan tentunya Sang Pencipta yang akan memberi pelajaran bagi mereka. Bukan kita yang harus memberi pelajaran  karena kita sekali lagi harus melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah terlepas dari cela sehingga berani menggugat mereka.   Janganlah cepat-cepat berprasangka.  Yang mungkin sehari-hari terlihat hedonis, kapitalis, atau is- is yang lain, siapa tahu dalam hatinya selalu memanjatkan doa untuk mereka yang sedang menanggung derita dan memberikan bantuan material tanpa sepengetahuan kita.  Menurut saya, berdoa atau bersedekah tidak perlu ada orang lain yang tahu, apalagi berdoa di jejaring sosial, karena itu adalah urusan kita dan Alloh saja.

Pemikiran saya ini muncul akibat jenuh melihat banyaknya respon terhadap apa yang terjadi di medan perang Gaza dan kadang terasa berlebihan, sampai-sampai berani mengatakan bangsa ini pecundang hasil dari didikan kapitalis hedonis mlekithis.  Mungkin pemikiran saya ini terkesan mengambang dan cari aman, atau malah ngawur.  Sebenarnya tidak. Saya sama sekali tidak aman karena dengan adanya pemikiran seperti ini, mungkin ada kelompok tertentu yang akan mengatakan saya liberal karena tidak mendukung semangat perjuangan mereka.   Liberal tidaknya saya, adalah urusan saya dan pencipta saya, tidak seharusnya orang lain menghakimi. Kalaupun benar ada yang mengatakan saya termasuk golongan ‘anu’ misalnya,  jawaban saya adalah seperti iklan rokok, yang mungkin juga termasuk produk kapitalis, “Go ahead”.  Saya hanya risi dengan sebutan mental pecundang dalam update status tersebut.  Bisa-bisanya menyebut pecundang atas bangsa sendiri.  Saya tidak menutup mata dengan semua yang terjadi di negeri ini, tetapi pilihlah kata-kata yang lebih pantas.  Sekali lagi, penutup yang cukup bijaksana dari penulis di situs tersebut bisa sedikit meredakan kedongkolan saya. 

Kedamaian dan peperangan adalah cobaan yang harus disikapi dan dihadapi dengan cara yang berbeda.  Bersyukurlah karena kita berada di tempat yang damai.  Bersyukurlah kita karena kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang sedang berjuang tetapi jangan pernah menyebut bangsa sendiri pecundang.  Perjuangan kita dan perjuangan mereka adalah jauh berbeda tetapi bertujuan sama, menumbangkan kebatilan.