Total Tayangan Halaman

Senin, 02 April 2012

Harus berjudul apa ya?

Libur term kali ini membawa saya pada beberapa pengalaman yang tidak biasa. Saya berkesempatan mengunjungi dua teman lama saya semasa SD dan SMP. Dari mereka berdualah saya memperoleh wawasan lain, yaitu semangat dan motivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan sepenuh hati. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan sekedar mendengarkan uraian motivasi dari orang-orang yang verbally smart.

Yang saya kunjungi pertama adalah Dian. Saya dan Dian bersekolah di SD yang sama. Kami sering menghabiskan waktu bersama baik di sekolah, kegiatan ekstra-kurikuler, atau kegiatan gila-gilaan khas anak-anak. Waktu berlalu dan kamipun terpisah oleh sekolah dan kegiatan yang kami jalani di kemudian hari. Terakhir bertemu Dian adalah ketika ia hadir di acara pernikahan saya tahun 2004. Waktu yang tidak sebentar hingga Kamis minggu lalu saya bertemu lagi untuk sekedar berbagi cerita. Selepas SMA, Dian tidak sempat melanjutkan kuliah tetapi hanya mengikuti kursus keterampilan yang membawanya menjadi seorang penjahit pakaian. Yang membuat saya kagum padanya adalah keuletannya mempertahankan toko tas warisan orang tuanya. Semasa kecil, saya sering membeli tas sekolah di toko Dian. Toko milik orang tua Dian itu kecil dan penuh dengan tas aneka model dan terletak di jantung kota tepat berseberangan dengan pasar besar kota. Tempat yang sebenarnya amat strategis untuk berdagang. Tetapi kehadiran mall dan toko-toko dengan modal besar mungkin membuat toko-toko semacam milik Dian ini tersisihkan. Boleh saja terpinggirkan, tetapi semangat Dian yang mewarisi toko ini sungguh mengagumkan. Saya melihat usahanya yang ulet untuk tetap membuat orang menginjakkan kakinya ke toko miliknya meskipun belum tentu membeli tasnya. Dian bercerita pada awalnya ia menambah usahanya dengan menjual pulsa telepon seluler, kemudian ketika ada yang menanyakan rokok maka ia pun menyediakan rokok. Sadar bahwa lokasi tokonya jauh dari pompa bensin, suaminya berinisiatif menjual bensin eceran di depan toko. Tak hanya itu, ketika warung sebelah kehabisan gas elpiji, Dian pun sudah siap dengan stok gas elpiji di belakang tokonya. Sungguh jeli Dian melihat peluang. Dari obrolan kami sepanjang 3 gorengan dan segelas teh, saya melihat sebuah perjuangan hidup. Mungkin bagi sebagian orang yang mendambakan kemapanan (menjadi kaya), apa yang dilakukan Dian tidaklah termasuk usaha yang bisa membuat orang hidup mapan karena mungkin mereka akan berpikir dari dulu tokonya begitu-begitu saja tidak ada perkembangan. Tetapi bagi saya mempertahankan adalah lebih sulit daripada membangun. Dan Dian mampu melakukan itu.

Teman saya yang satu lagi adalah Susan. Semasa SMP ia terkenal paling cerdas diantara saya dan teman-teman lain. Selain kemampuan akademisnya yang cemerlang, Susan memiliki bakat yang tidak semua orang memilikinya. Ia sangat terampil dalam hal membuat kerajinan apapun. Semasa SMP, Susan selalu mendapatkan nilai terbaik dalam bidang keterampilan. Ternyata inilah yang membuatnya sukses saat ini. Saya mengatakan sukses bukan karena ia punya usaha yang besar atau kaya raya. Tetapi lebih karena apa yang ia lakukan dengan keterampilannya ini. Lagi-lagi teman saya ini juga pintar menjahit. Sejak masih di bangku SMA ia telah membantu Ibunya menjalankan usaha jahit miliknya. Sama seperti Dian, Susan juga tidak sempat berkuliah. Susan sempat bekerja di sebuah lembaga milik pemerintah yang menurutnya sangat tidak produktif karena di tempat itu ia tidak memiliki tugas yang jelas. Kalaupun ada, misalnya membuat laporan proyek, kadang tidak jadi dipakai karena menurut atasannya masih salah. Dan lebih parahnya lagi, tahu ada kesalahan, atasannya tidak memberi instruksi untuk merevisinya dan hanya mengatakan biar saja salah. Karena Susan tidak mendapatkan kepuasan kerja di instansi ini, maka ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan melanjutkan usaha sang Ibu. Perjalanannya belum berhenti, ketika terjadi krisis tahun 1997, usaha jahitnya sempat seret. Tetapi bukan Susan kalau menyerah. Ia bersama ibunya membuat baju anak-anak dari kain sisa jahitan dan menjualnya dengan harga murah dan pastinya laku terjual. Sampai minggu lalu ketika saya berkunjung ke rumahnya, Susan masih setia dengan usaha jahitnya. Tak hanya itu, Susan membagi ruang tamu mungilnya, sebagian untuk mesin jahit dan perlengkapannya, sebagian lagi untuk toko kecil yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Selama satu jam lebih saya duduk di sana, Susan melayani tak kurang 10 pembeli yang datang silih berganti. Keuntungannya mungkin hanya sebatas recehan, tetapi inilah kesempatan untuk mendapatkan lebih dari sekedar recehan. Sepanjang obrolan saya dengan Susan, saya menangkap sebuah mimpi besar darinya. Suatu hari ia ingin memiliki sebuah butik pakaian (Amin). Mungkin sekarang Susan hanya penjahit kampung, tetapi saya percaya mimpinya pasti akan nyata karena seorang Susan bukanlah seorang yang hanya bisa duduk diam.

Sepulang dari liburan, saya menghadiri kegiatan training leadership yang diselenggarakan lembaga tempat saya bekerja. Jujur saja saya tidak tertarik dengan acara seperti ini meskipun pembicaranya dari satu lembaga motivasi papan atas. Tetapi karena lembaga saya sebagai tuan rumah, saya mengalah untuk menghadirinya meskipun dengan setengah hati. Saya sengaja datang terlambat -- sebuah aktifitas yang hampir tidak pernah saya lakukan. Begitu datang di tempat acara, suasana gelap menyapa, hanya terlihat display dari LCD projector dan suara sang motivator yang dibuat-buat yang mengajak peserta membayangkan ini itu, kalau begini begitu maka bagaimana. Saya hanya mengikuti acara ini beberapa jam saja karena saya merasa tidak perlu mendapatkan suntikan motivasi, spiritualitas apapun namanya lagi. Hidup saya sudah normal, kerja saya baik-baik saja, spiritualitas saya tidak ada masalah. Saya tidak burn out, saya menikmati hidup saya. Saya masih banyak ide untuk melanjutkan hari-hari saya. Yang saya tangkap dari materi pelatihan ini adalah bagaimana tetap menjaga semangat kerja dan mencintai tempat kerja kita sehingga tidak berorientasi uang saja. (Lalu hubungannya dengan spiritualitas apa ya? Apa karena mencuplik dari ayat-ayat dari Al Qur'an lalu di-match dengan teori motivasi atau manajemen ? .....)

Wow! Kerja bukan untuk mendapatkan uang? Mulia sekali. Kalau saya setuju dengan ide tersebut maka saya munafik. Saya bekerja untuk mendapatkan penghasilan sebagai sarana untuk menjalani hidup. Kalau saya kemudian bekerja dan saya mau dibayar berapa saja, alangkah bodohnya saya. Buat apa saya sekolah tinggi kalau tidak bisa menetapkan standar diri. Boleh saja kita mencintai tempat kita bekerja tetapi bukan berarti kita "pasrah bongkokan" berapapun bayarannya tidak masalah. Itu konyol namanya. Saya rasa pelatihan itu salah sasaran. Yang membutuhkan pelatihan ini adalah mereka yang dalam struktur organisasi (kalau ada) berada di atas saya dan kawan-kawan saya. Mereka yang galau setiap akhir bulan karena harus mengeluarkan uang untuk menggaji karyawan. Mereka yang selalu galau karena berusaha mencari alasan supaya gaji saya dan kawan-kawan bisa dikurangi satu dua rupiah. Mereka yang selalu galau karena saya dan kawan-kawan selalu kehabisan kertas, tisu, atau tinta untuk mengajar. Sementara apa yang terjadi dengan saya dan kawan-kawan? Kami baik-baik saja, kami selalu punya ide untuk bersemangat menjalani pekerjaan kami. Kalaupun ada salah-salah hitung di akhir bulan, kamipun selalu berpikir positif; mungkin mereka yang diatas sana lagi sibuk jadi salah-salah. Besok-besok bisa direvisi, begitu pikir kami. Terlepas dari semua niatan mereka untuk mencurangi kami, kami selalu berusaha untuk berbuat yang terbaik dalam menjalankan tugas kami. Kami juga tidak pernah berusaha memotong waktu kami mengajar dengan alasan bayarannya salah hitung. Dari situ sebenarnya bisa dilihat siapa yang sebenarnya perlu diberi pelatihan anti-galau semacam itu? Apapun bentuknya saya rasa saya belum membutuhkan semua omong-omong tentang kecerdasan spiritualitas yang saya dengarkan beberapa hari lalu. Saya visual dan kinesthetic learner yang mampu belajar dari sekitar, jadi kalu cuma mendengarkan orang berbicara saja bisa dipastikan saya cepat lupa. Lebih banyak yang bisa saya lihat dan coba lakukan di luar sana daripada sekedar duduk mendengarkan suara yang kadang dibuat-buat supaya saya terhanyut dan meratapi keberadaan dan dosa-dosa saya. Dunia luar lebih nyata daripada sekedar membayangkan dan menuliskan misi ,visi, dan nilai hidup yang saya sendiri belum tentu paham apakah itu benar-benar diperlukan supaya bisa hidup lurus. Jadi menurut saya pelatihan ini lebih cocok untuk mereka yang setiap hari dikelilingi meja, komputer, kalkulator dan lembaran rupiah karena benda-benda itu tidak bisa melawan apapun perlakuan yang mereka dapatkan. Sehingga mereka yang diatas sana tidak jarang melihat apa yang sebenarnya terjadi di bawah sini dan diluar sana. Makanya mereka perlu merenungi dan kalau perlu meratapi dosa-dosa yang telah mereka perbuat atas saya dan kawan-kawan saya. Lumayanlah satu dua jam menangis diiringi suara yang dibuat-buat itu dan ilustrasi musik yang membuat merinding, meskipun akhirnya seusai pelatihan langsung lupa lagi.

Jadi, merdekalah Susan dan Dian yang selalu bersemangat dan tidak pernah risau di akhir bulan apakah harus mengeluarkan uang sedikit atau banyak. Beruntunglah mereka karena tidak pernah disangka kurang motivasi atau spiritualitas oleh atasan mereka, karena "they are the bosses themselves". Tolong di koreksi kalau ada yang salah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar