"Pemuda Indonesia Vs
Pemuda Palestina"
Pemuda indonesia bangun jam 2 subuh buat nonton bola
pemuda palestine bangun jam 2 subuh buat sholat tahajud
Pemuda indonesia bangun jam 2 subuh buat nonton bola
pemuda palestine bangun jam 2 subuh buat sholat tahajud
.....................
Pasti tidak setiap Pemuda
Indonesia seperti tadi. Apalagi pemuda2 Indonesia yang punya hati & jiwa
untuk tidak mau berdiam diri melihat saudara2 nya di Palestina dibantai &
dibinasakan.
Mereka pasti bergerak, walau hanya bisa dengan doa2.
Doa2 yang tulus & keluar dari kesadaran hati terdalam, yang insyaAllah akan di dengar Sang Maha Kuat & Maha Pemilik Semesta Alam, Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
Mereka pasti bergerak, walau hanya bisa dengan doa2.
Doa2 yang tulus & keluar dari kesadaran hati terdalam, yang insyaAllah akan di dengar Sang Maha Kuat & Maha Pemilik Semesta Alam, Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
Cuplikan diatas berasal dari sebuah link yang di - shared
oleh seorang kawan di sebuah jejaring sosial. Menarik dan cukup membuat saya
berpikir. Apakah benar pemuda Indonesia hanya bisa seperti itu? Bisa bikin
panas ini status! Untungnya kalimat-kalimat itu ditutup dengan sebuah kesimpulan yang sangat
bijaksana. Akan tetapi link itu diawali
dengan satu kalimat dari yang empunya account -- yang tidak perlu saya cuplik
disini—yang bisa memerahkan telinga kita
sebagai orang Indonesia. Sebenarnya kalimat
itu yang sangat mengganggu, dan terkesan meng”gebyah uyah” (generalisasi).
Tidaklah adil apabila semua yang tertulis di status tersebut
tanpa memberikan pengecualian. Contohnya
adalah kalimat penutup yang mengingatkan
kita akan apa yang jamak terjadi di sekitar kita. Orang mulai tidak peduli dengan sekitar
karena sudah merasa nyaman dan bangga dengan segala yang ada padanya. Kalaupun kadang peduli dan ingin memberikan
dukungan malah kadang berlebih a.k.a lebay. Perbandingan – perbandingan di atas sangatlah
kontras. Tetapi apa mau dikata,
keadaan memang sangat bertolak belakang. Mereka yang ada di Gaza, Palestina bertaruh
nyawa setiap detiknya untuk membela negeri tercinta. Apa saja ditinggalkan, demi mempertahankan
negara mereka yang hendak diambil paksa.
Sementara, kita di Indonesia dikelilingi sumber daya melimpah dan
perdamaian yang kadang ternoda oleh ulah bangsa sendiri. Sudah saatnya kita sejenak melihat diri kita,
sudah seberapa banyak kenyamanan yang kita punya sehingga kadang membuat lupa.
Kembali ke status update diatas.... ketika kemudian saya
memberikan satu komentar bahwa kita tidak bisa memungkiri bahwa kita lahir
sebagai orang Indonesia dan dijawab yang punya account bahwa kita tidak bisa
memilih tempat lahir kita, warna kulit kita.... tetapi jangan pasrah, karakter
bisa dibentuk, tetapi mau dan berani atau tidak? Begitu katanya. Saya kemudian berusaha mencerna jawaban ini
yang seakan-akan sudah sangat putus asa dengan apa yang terjadi di sini. Saya jawab balik bahwa mau tidak atau berani
tidak itu adalah masalah personal. Cara
berjuang kita dan pembangunan karakter kita sangatlah berbeda dengan saudara
kita yang ada di medan perang Gaza. Jadi
sangatlah tidak adil ketika sebagian pemuda-pemuda kita diharapkan menjadi seperti
pejuang disana, menggugat apa saja yang disangka mendukung penjajah tanpa tahu
benar tidaknya. Banyak yang berbuat
lebih dari sekedar simpati. Saya jadi
terbayang mereka yang dengan sukarela membangun sebuah rumah sakit di Gaza dan
bertahan di bawah desingan rudal yang bisa saja jatuh diatas kepala mereka
setiap saat. Sebuah pengorbanan konkret yang luar biasa tanpa harus mengecilkan
martabat bangsa sendiri. Saya yakin
mereka sangat bangga bisa melakukan itu dan saya sendiri juga sangat bangga dengan
apa yang mereka lakukan disaat negara lain tidak ada yang bisa
melakukannya. Juga mungkin mereka tidak
akan terpikir menggugat siapapun karena yang ada hanya bagaimana menjalankan
tugas mulia. Kalaupun ada yang ingin
membantu secara fisik ke medan perang, itu baik-baik saja tetapi bukan dengan
angkat senjata, karena itu perang mereka.
Kalau kita ikut-ikutan angkat
senjata disana apa bedanya kita dengan negara yang setiap hari kita hujat
karena menyokong penjajahan?
Bolehlah secara fisik hadir disana, tetapi untuk membantu meringankan
derita mereka seperti yang dilakukan 28 orang istimewa dari Indonesia yang
bertaruh nyawa di Gaza.
Saya membandingkan dengan mereka yang hanya berkata
hancurkan ini hancurkan itu tanpa bisa membuat sesuatu yang nyata untuk
membantu, bahkan malah kadang merusak obyek-obyek yang tidak berhubungan. Saya
tidak akan menghakimi mereka yang kemudian dengan berlebihan mendukung dan
kemudian mengecilkan bangsa sendiri. Karena
dengan begitu mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka termasuk
didalamnya. Perjuangan kita disini juga
sangat berat... Ketidakadilan, keserakahan, ke-tidak punya malu-an, kebodohan,
ke-lebay-an, ke-ngawur-an harus diperangi.
Bukan dengan senjata tetapi dengan pembangunan karakter seperti yang
diunggah kawan saya di komentarnya.
Tetapi jangan pernah tanyakan berani atau tidak, karena dengan begitu
akan menunjukkan ketidakyakinan akan kemampuan bangsa sendiri. Yang masih hedonis dan kapitalis biarkan saja,
biarkan mereka menyiarkan kesenangan mereka dimana-mana. Waktu yang akan menyadarkan mereka dan tentunya
Sang Pencipta yang akan memberi pelajaran bagi mereka. Bukan kita yang harus
memberi pelajaran karena kita sekali
lagi harus melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah terlepas dari cela
sehingga berani menggugat mereka. Janganlah cepat-cepat berprasangka. Yang mungkin sehari-hari terlihat hedonis,
kapitalis, atau is- is yang lain, siapa tahu dalam hatinya selalu memanjatkan
doa untuk mereka yang sedang menanggung derita dan memberikan bantuan material
tanpa sepengetahuan kita. Menurut saya, berdoa atau bersedekah tidak perlu ada
orang lain yang tahu, apalagi berdoa di jejaring sosial, karena itu adalah
urusan kita dan Alloh saja.
Pemikiran saya ini muncul akibat jenuh melihat banyaknya
respon terhadap apa yang terjadi di medan perang Gaza dan kadang terasa
berlebihan, sampai-sampai berani mengatakan bangsa ini pecundang hasil dari
didikan kapitalis hedonis mlekithis. Mungkin pemikiran saya ini terkesan
mengambang dan cari aman, atau malah ngawur.
Sebenarnya tidak. Saya sama sekali tidak aman karena dengan adanya
pemikiran seperti ini, mungkin ada kelompok tertentu yang akan mengatakan saya
liberal karena tidak mendukung semangat perjuangan mereka. Liberal
tidaknya saya, adalah urusan saya dan pencipta saya, tidak seharusnya orang
lain menghakimi. Kalaupun benar ada yang mengatakan saya termasuk golongan
‘anu’ misalnya, jawaban saya adalah
seperti iklan rokok, yang mungkin juga termasuk produk kapitalis, “Go ahead”. Saya hanya risi dengan sebutan mental
pecundang dalam update status tersebut.
Bisa-bisanya menyebut pecundang atas bangsa sendiri. Saya tidak menutup mata dengan semua yang
terjadi di negeri ini, tetapi pilihlah kata-kata yang lebih pantas. Sekali lagi, penutup yang cukup bijaksana
dari penulis di situs tersebut bisa sedikit meredakan kedongkolan saya.
Kedamaian dan peperangan adalah cobaan yang harus disikapi
dan dihadapi dengan cara yang berbeda. Bersyukurlah
karena kita berada di tempat yang damai.
Bersyukurlah kita karena kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang
sedang berjuang tetapi jangan pernah menyebut bangsa sendiri pecundang. Perjuangan kita dan perjuangan mereka adalah
jauh berbeda tetapi bertujuan sama, menumbangkan kebatilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar