Kambing Blues
Aroma gurih
gule kambing, thengkleng, semur daging
sapi, dan masakan-masakan daging sudah menguar disegala penjuru sejak kemarin
sore, sementara saya baru saja mau mengeksekusi daging kurban dari mushola
dekat rumah. Karena saya tidak ahli masak-memasak daging jadilah konsultasi dulu
dengan ahli di dunia maya, Eyang Google. Saya mau masak tongseng. Tetapi
sebelum sowan Eyang, perhatian saya tertuju di notifikasi salah satu grup
WA. Setelah saya buka ternyata seorang
kawan mengutarakan sebuah pertanyaan tentang kurban. Si Kawan ini, sebut saja
Kumbang...eh jangan, Parto saja. Dia
mengutarakan sebuah kasus disuatu tempat telah terjadi pembagian daging kurban
di rumah seorang Kristen dan dia menanyakan pendapat dari kami para anggota grup
yang Muslim semua. Pertanyaan itu rupanya sudah sejak semalam dan belum ada
yang menjawab sampai pagi tadi. Lalu
seorang kawan lain, sebut saja Wagino, memberikan komentar.
Begini kurang
lebihnya isi chat di grup:
Parto: Menurut pendapatmu kalau daging kurban dibagikan dari rumah
seorang kristen itu bagaimana?
Wagino: maksudmu bagaimana? Si pemeluk Kristen ini ikut kurban?
Parto: Bukan. Rumah dia dipakai untuk menyalurkan daging kurban.
Orang-orang diberi kupon untuk mengambil kesitu.
(pause lamaaa..karena saya lagi menunggu mas Sayur yang berjanji
membawakan bumbu pawon hari ini) Sampai
rumah saya buka lagi chatnya, jadi penasaran nih....
Wagino: OOO Cuma tempatnya tho? Yo ndak papa, karena tidak mengganggu
tata cara kurban. Lagipula yang menerima daging kurban adalah semua orang,
bukan yang muslim saja. Jadi menurutku
bagus itu, karena toleransinya jalan.
Anggota grup yang lain hadir juga
akhirnya, sebut saja Sumini.
Sumini: Benar itu, wong yang jelas-jelas muslim aja belum tentu mau
rumahnya dipakai tempat mengurusi daging kurban karena takut bau kambing.
Parto: oooo jadi gitu ya? Tapi toleransi menurutmu dan menurutku
ternyata beda ya?
(Saya mulai gatel ikut chat)
Saya: Lha menurutmu gimana, Bos?
Parto: Jadi begini sodara-sodara, dalam Islam, daging kurban boleh
dibagikan kepada siapa saja termasuk non-muslim, tetapi pembagian sepenuhnya
diserahkan ke lembaga berwenang seperti masjid, dan komunitas orang-orang
muslim, termasuk proses mulai pembelian sampai penyembelihan dan pembagian.
Saya: Tunggu. You bilang yang jadi masalah tempatnya khan, Bro?
Sekarang gini, misalnya ditempat itu musholanya kecil gak punya halaman dan
warga muslimnya tinggal agak jauh dan mungkin enggan jadi tempat pembagian
daging kurban karena rempong, emang salah kalau kemudian ada warga beragama
lain yang berbaik hati menawarkan tempatnya untuk melaksanakan kurban?
Parto: oh pendapat kita beda ternyata. Tetapi menurutku kalo muslim
tentu tidak akan menolak kalau rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban.
Saya: Yakin gitu Bro? ....
(sebelum saya lanjut chat, Sumini menimpali)
Sumini: Lah? Kenapa pas rapat yang muslim diam saja? Khan gak mungkin yang non muslim ikutan rapat
panitia Idhul Qurban. Seharusnya khan
mereka yang mangajukan diri dong, kalau bener-bener muslim sih....
(Saya jadi tambah penasaran ini
insiden TKP nya dimana sih kok jadi panas diskusinya...)
Saya: Bro, ini kejadian dimana sih? Ditempatmu situ? Dan you belum
ceritakan apakah yang mengurusi semuanya adalah muslim dan hanya tempatnya saja
yang bukan milik muslim.
Parto: Ini kejadiannya di Kampung XX (dua aj Xnya kalo tiga
topiknya beda lagi nih...) Masjidnya
besar, punya lapangan dan joglo pertemuan, kenapa harus milih rumahnya non
muslim? Kalau mau netral ya bisa di lapangan atau joglo khan? Coba aku ikut
rapat aku pasti bersedia ketempatan deh.... Akibatnya kemarin banyak yang gak
mau ambil daging kurbannya.
Saya: Yakin? (tapi dalam hati saja, karena saya tau keadaan
rumahnya di lingkungan itu, tidak cukup besar juga.)
Setelah tahu tempat kejadiannya
saya sedikit kaget juga. Saya lama tinggal di Kampung XX itu, tetapi sekarang
tidak lagi. Selama saya disitu setiap
Idhul Qurban, semua pengurusan dari penerimaan hewan kurban sampai pembagian
daging dan memasak untuk para sukarelawan dilakukan dihalaman masjid tersebut.
Entah sejak kapan masjid itu tidak lagi digunakan untuk Idhul Qurban, padahal
sekarang masjid itu memiliki halaman tambahan yang sangat sangat ideal untuk
pelaksanaan kurban. Entahlah...apa yang terjadi pada panitianya kali ini.
Saya: Bro, gini yaaaa... kalo dulu pas rapat sudah tau itu kurban mau
dibagikan darimana, seharusnya ...seharusnya niiiih...gak usah ditawari pun
yang merasa muslim harus tunjuk diri. Jadi gak akan terjadi seperti ini, gak
akan ada kejadian menolak daging kurban. Ngomong-ngomong rumah siapa sih yang
jadi TKP?
Parto: Pak Osro itu lho... beberapa kali ditempat Bu Mukini, tapi
kemarin ini yang pindah ke tempat pak Osro.
Saya: (yang lupa-lupa ingat pak Osro) tapi kalo cuma tempat untuk membaginya saya kira tidak masalah sih,
tidak menganggu aturan kurbannya asal itu tadi yang bertanggung jawab dan
mengurusi harusnya muslim semua, karena ini hajatnya kita para muslim dan
terutama yang sudah naik haji.
Saya: (Cling!! Tiba-tiba sa ingat siapa pak Osro) Tunggu!!! Kamu bilang pak Osro? Omaigaaaaad...Bro! Orang-orang enggan
mengambil daging kurban kesitu bukan karena Kristennya Brooooo....ya karena pak
Osro ituuuuuh....Omaigaaaddd!!!!
Wagino: Wooooo...ngobrong dol Bro! ( Tiba-tiba muncul!) Kamu jangan nyebut agamanya doang dong! Bilang aja rumah pak Osro.
Beser...eh Beres. Case Closed. Kita semua tau siapa pak Osro itu. Lagian itu
panitia kurban jugak gak beres rupanya.
Parto: (masih ngeyel bahwa Kristennya yang jadi penyebab semua itu)
Lalu pak Osro itu orang apa?
Wagino: (agak jengkel juga kayaknya) Wong lemu! (orang gemuk; Pak Osro memang berbadan cukup
chubby)
Sampai disini
saya tidak tahan lagi melanjutkan chat karena tertawa terpingkal-pingkal
setelah tahu duduk perkaranya dan obyek yang dibicarakan adalah Pak Osro, yang well-known itu. Well,
sebenarnya saya tidak ingin membawa ke ranah personal tapi apa mau dikata,
obyek yang sedang dibicarakan adalah orang yang mempunyai karakter kurang
menyenangkan dan kebetulan saja beragama Kristen, yang jumlahnya kalah bayak
dibanding yang muslim di kampung itu.
Sedikit gambaran, pak Osro adalah seorang aktifis kampung, orangnya baik
tetapi selalu mempunyai motivasi lain dibalik kebaikan beliau. Sudah rahasia
umum kalau beliau ini suka memanfaatkan kegiatan apapun untuk keuntungan
pribadi. Agama yang dianutnya sama
sekali tidak menyebabkan pak Osro tidak disukai, tetapi perilakunyalah yang
membuatnya dihindari bayak orang. Kalaupun dia muslim tetap saja orang enggan
mendekatinya karena perilakunya yang licik.
Sekarang yang
menjadi perhatian adalah bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini yang cepat
sekali membakar. Parto mungkin terlalu men-generalisir keadaan, dengan menyebut
agama saja ketika menanyakan pendapatnya. Bisa jadi Parto sedang ikut tren
“yang beda agama, jauhi saja” . Pak Osro adalah hanya satu dari jutaan penganut
Kristen, kebetulan saja beliau punya perilaku tidak terpuji. Jadi bukan berarti semua orang Kristen
seperti pak Osro. Kedua, perlu
investigasi khusus untuk mencari tahu mengapa sampai masjid yang sebesar itu
dengan fasilitas komplit tidak dipakai untuk melaksanakan kurban seperti yang
telah lalu. Panitianya harus bisa
bertanggung jawab terhadap kejadian ini.
Mereka harus bisa menjelaskan ke warga apa alasannya mengalihkan tempat
pelaksanaan kurban ke rumah pak Osro. Mungkinkah (*baca dengan nada presenter
gosip, pliz) ... anggota panitia kurban adalah kroni-kroni pak Osro? Siapa saja
yang menjadi panitia juga penting untuk diketahui. Sulit memang untuk hanya
fokus ke WHAT tanpa tahu WHO nya. Dan yang tak kalah penting adalah, warga
muslim kampung XX sendiri. Mengapa
mereka diam saja ketika tahu bahwa pelaksanaan kurban akan dilaksanakan di
rumah pak Osro? Bukankah rumah mereka banyak yang lebih besar dan lapang
dibanding rumah pak Osro. Atau kalaupun takut rumahnya bau kambing, cukup
usulkan pelaksanaan kurban dilapangan atau joglo pertemuan saja. Mudah kan??? Lalu juga mereka yang sudah naik haji, mereka
juga diam saja? Kemana saja mereka? Tidak ingatkah mereka Idul Adha adalah hari dimana mereka pernah
berjuang di Tanah Suci ditengah teriknya sinar mentari gurun untuk hadir di
Baitullah. Mereka lupakan begitu saja setelah gelar Haji/Hajjah menempel didepan
nama masing-masing? Mungkinkah mereka terlalu gengsi, lha wong sudah haji kok
ikut memotong daging kurban, nanti khan tangannya bau kambing tujuh hari tujuh
malam....
Tetapi terlepas
dari apapun motivasi pak Osro bersedia rumahnya dipakai untuk mengurusi daging
kurban kita yang muslim, baik kiranya mengapresiasi sedikit atas apa yang
dilakukan pak Osro dimana pada saat yang sama tak seorangpun yang mengaku
muslim ditempat itu tergerak untuk menawarkan rumahnya menjadi tempat pembagian
daging kurban.
Ahssuuuudahlah.....saya mau masak
tongseng dulu. Eh....sowan Eyang dulu. Bumbu tongseng....enter.....
Voila! This is it!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar