Total Tayangan Halaman

Selasa, 13 September 2016

Kambing Blues



Kambing Blues

Aroma gurih gule kambing, thengkleng,  semur daging sapi, dan masakan-masakan daging sudah menguar disegala penjuru sejak kemarin sore, sementara saya baru saja mau mengeksekusi daging kurban dari mushola dekat rumah. Karena saya tidak ahli masak-memasak daging jadilah konsultasi dulu dengan ahli di dunia maya, Eyang Google. Saya mau masak tongseng. Tetapi sebelum sowan Eyang, perhatian saya tertuju di notifikasi salah satu grup WA.  Setelah saya buka ternyata seorang kawan mengutarakan sebuah pertanyaan tentang kurban. Si Kawan ini, sebut saja Kumbang...eh jangan,  Parto saja. Dia mengutarakan sebuah kasus disuatu tempat telah terjadi pembagian daging kurban di rumah seorang Kristen dan dia menanyakan pendapat dari kami para anggota grup yang Muslim semua. Pertanyaan itu rupanya sudah sejak semalam dan belum ada yang menjawab sampai pagi tadi.  Lalu seorang kawan lain, sebut saja Wagino, memberikan komentar.

Begini kurang lebihnya isi chat di grup:
Parto: Menurut pendapatmu kalau daging kurban dibagikan dari rumah seorang kristen itu bagaimana? 
 
Wagino: maksudmu bagaimana? Si pemeluk Kristen ini ikut kurban?
Parto: Bukan. Rumah dia dipakai untuk menyalurkan daging kurban. Orang-orang diberi kupon untuk mengambil kesitu.
(pause lamaaa..karena saya lagi menunggu mas Sayur yang berjanji membawakan bumbu pawon hari ini)  Sampai rumah saya buka lagi chatnya, jadi penasaran nih....

Wagino: OOO Cuma tempatnya tho? Yo ndak papa, karena tidak mengganggu tata cara kurban. Lagipula yang menerima daging kurban adalah semua orang, bukan yang muslim saja.  Jadi menurutku bagus itu, karena toleransinya jalan.
Anggota grup yang lain hadir juga akhirnya, sebut saja Sumini.
Sumini: Benar itu, wong yang jelas-jelas muslim aja belum tentu mau rumahnya dipakai tempat mengurusi daging kurban karena takut bau kambing.
Parto: oooo jadi gitu ya? Tapi toleransi menurutmu dan menurutku ternyata beda ya?
(Saya mulai gatel ikut chat)
Saya: Lha menurutmu gimana, Bos?
Parto: Jadi begini sodara-sodara, dalam Islam, daging kurban boleh dibagikan kepada siapa saja termasuk non-muslim, tetapi pembagian sepenuhnya diserahkan ke lembaga berwenang seperti masjid, dan komunitas orang-orang muslim, termasuk proses mulai pembelian sampai penyembelihan dan pembagian.
Saya: Tunggu. You bilang yang jadi masalah tempatnya khan, Bro? Sekarang gini, misalnya ditempat itu musholanya kecil gak punya halaman dan warga muslimnya tinggal agak jauh dan mungkin enggan jadi tempat pembagian daging kurban karena rempong, emang salah kalau kemudian ada warga beragama lain yang berbaik hati menawarkan tempatnya untuk melaksanakan kurban?
Parto: oh pendapat kita beda ternyata. Tetapi menurutku kalo muslim tentu tidak akan menolak kalau rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban.
Saya: Yakin gitu Bro? ....  (sebelum saya lanjut chat, Sumini menimpali)
Sumini: Lah? Kenapa pas rapat yang muslim diam saja?  Khan gak mungkin yang non muslim ikutan rapat panitia Idhul Qurban.  Seharusnya khan mereka yang mangajukan diri dong, kalau bener-bener muslim sih....

(Saya jadi tambah penasaran ini insiden TKP nya dimana sih kok jadi panas diskusinya...)

Saya: Bro, ini kejadian dimana sih? Ditempatmu situ? Dan you belum ceritakan apakah yang mengurusi semuanya adalah muslim dan hanya tempatnya saja yang bukan milik muslim.
Parto: Ini kejadiannya di Kampung XX (dua aj Xnya kalo tiga topiknya beda lagi nih...) Masjidnya besar, punya lapangan dan joglo pertemuan, kenapa harus milih rumahnya non muslim? Kalau mau netral ya bisa di lapangan atau joglo khan? Coba aku ikut rapat aku pasti bersedia ketempatan deh.... Akibatnya kemarin banyak yang gak mau ambil daging kurbannya.
Saya: Yakin? (tapi dalam hati saja, karena saya tau keadaan rumahnya di lingkungan itu, tidak cukup besar juga.)

Setelah tahu tempat kejadiannya saya sedikit kaget juga. Saya lama tinggal di Kampung XX itu, tetapi sekarang tidak lagi.  Selama saya disitu setiap Idhul Qurban, semua pengurusan dari penerimaan hewan kurban sampai pembagian daging dan memasak untuk para sukarelawan dilakukan dihalaman masjid tersebut. Entah sejak kapan masjid itu tidak lagi digunakan untuk Idhul Qurban, padahal sekarang masjid itu memiliki halaman tambahan yang sangat sangat ideal untuk pelaksanaan kurban. Entahlah...apa yang terjadi pada panitianya kali ini.  

Saya: Bro, gini yaaaa... kalo dulu pas rapat sudah tau itu kurban mau dibagikan darimana, seharusnya ...seharusnya niiiih...gak usah ditawari pun yang merasa muslim harus tunjuk diri. Jadi gak akan terjadi seperti ini, gak akan ada kejadian menolak daging kurban. Ngomong-ngomong rumah siapa sih yang jadi TKP?
Parto: Pak Osro itu lho... beberapa kali ditempat Bu Mukini, tapi kemarin ini yang pindah ke tempat pak Osro. 
Saya: (yang lupa-lupa ingat pak Osro) tapi kalo cuma tempat untuk membaginya saya kira tidak masalah sih, tidak menganggu aturan kurbannya asal itu tadi yang bertanggung jawab dan mengurusi harusnya muslim semua, karena ini hajatnya kita para muslim dan terutama yang sudah naik haji. 
Saya: (Cling!! Tiba-tiba sa ingat siapa pak Osro) Tunggu!!! Kamu bilang pak Osro? Omaigaaaaad...Bro! Orang-orang enggan mengambil daging kurban kesitu bukan karena Kristennya Brooooo....ya karena pak Osro ituuuuuh....Omaigaaaddd!!!!
Wagino: Wooooo...ngobrong dol Bro! ( Tiba-tiba muncul!) Kamu jangan nyebut agamanya  doang dong! Bilang aja rumah pak Osro. Beser...eh Beres. Case Closed. Kita semua tau siapa pak Osro itu. Lagian itu panitia kurban jugak gak beres rupanya.
Parto: (masih ngeyel bahwa Kristennya yang jadi penyebab semua itu) Lalu pak Osro itu orang apa?
Wagino: (agak jengkel juga kayaknya) Wong lemu!  (orang gemuk; Pak Osro memang berbadan cukup chubby)

Sampai disini saya tidak tahan lagi melanjutkan chat karena tertawa terpingkal-pingkal setelah tahu duduk perkaranya dan obyek yang dibicarakan adalah Pak Osro, yang well-known itu.  Well, sebenarnya saya tidak ingin membawa ke ranah personal tapi apa mau dikata, obyek yang sedang dibicarakan adalah orang yang mempunyai karakter kurang menyenangkan dan kebetulan saja beragama Kristen, yang jumlahnya kalah bayak dibanding yang muslim di kampung itu.  Sedikit gambaran, pak Osro adalah seorang aktifis kampung, orangnya baik tetapi selalu mempunyai motivasi lain dibalik kebaikan beliau. Sudah rahasia umum kalau beliau ini suka memanfaatkan kegiatan apapun untuk keuntungan pribadi.  Agama yang dianutnya sama sekali tidak menyebabkan pak Osro tidak disukai, tetapi perilakunyalah yang membuatnya dihindari bayak orang. Kalaupun dia muslim tetap saja orang enggan mendekatinya karena perilakunya yang licik.

Sekarang yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini yang cepat sekali membakar. Parto mungkin terlalu men-generalisir keadaan, dengan menyebut agama saja ketika menanyakan pendapatnya. Bisa jadi Parto sedang ikut tren “yang beda agama, jauhi saja” . Pak Osro adalah hanya satu dari jutaan penganut Kristen, kebetulan saja beliau punya perilaku tidak terpuji.  Jadi bukan berarti semua orang Kristen seperti pak Osro.  Kedua, perlu investigasi khusus untuk mencari tahu mengapa sampai masjid yang sebesar itu dengan fasilitas komplit tidak dipakai untuk melaksanakan kurban seperti yang telah lalu.  Panitianya harus bisa bertanggung jawab terhadap kejadian ini.  Mereka harus bisa menjelaskan ke warga apa alasannya mengalihkan tempat pelaksanaan kurban ke rumah pak Osro. Mungkinkah (*baca dengan nada presenter gosip, pliz) ... anggota panitia kurban adalah kroni-kroni pak Osro? Siapa saja yang menjadi panitia juga penting untuk diketahui. Sulit memang untuk hanya fokus ke WHAT tanpa tahu WHO nya. Dan yang tak kalah penting adalah, warga muslim kampung XX sendiri.  Mengapa mereka diam saja ketika tahu bahwa pelaksanaan kurban akan dilaksanakan di rumah pak Osro? Bukankah rumah mereka banyak yang lebih besar dan lapang dibanding rumah pak Osro. Atau kalaupun takut rumahnya bau kambing, cukup usulkan pelaksanaan kurban dilapangan atau joglo pertemuan saja. Mudah kan???  Lalu juga mereka yang sudah naik haji, mereka juga diam saja? Kemana saja mereka? Tidak ingatkah mereka  Idul Adha adalah hari dimana mereka pernah berjuang di Tanah Suci ditengah teriknya sinar mentari gurun untuk hadir di Baitullah. Mereka lupakan begitu saja setelah gelar Haji/Hajjah menempel didepan nama masing-masing? Mungkinkah mereka terlalu gengsi, lha wong sudah haji kok ikut memotong daging kurban, nanti khan tangannya bau kambing tujuh hari tujuh malam....  

Tetapi terlepas dari apapun motivasi pak Osro bersedia rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban kita yang muslim, baik kiranya mengapresiasi sedikit atas apa yang dilakukan pak Osro dimana pada saat yang sama tak seorangpun yang mengaku muslim ditempat itu tergerak untuk menawarkan rumahnya menjadi tempat pembagian daging kurban.

Ahssuuuudahlah.....saya mau masak tongseng dulu. Eh....sowan Eyang dulu. Bumbu tongseng....enter.....
 Voila! This is it!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar