NAMA
Suatu Sabtu sore, saya bersama ibu X dan ibu H berangkat ke
arisan PKK bersama-sama. Saya dan ibu X sudah bertetangga beberapa saat, tetapi
ibu H pendatang baru. Sebagai orang
baru, Ibu H mengenalkan dirinya dan menanyakan nama kami. “Saya Ibu H, panjenengan asmanipun sinten?” –
ibu berdua namanya siapa?
Ibu X bilang, “Saya bu X (nama suaminya) dan ini Ibu Yudhi
(dia sebut nama suami saya)”.
C’moon.. saya bisa ngomong sendiri Bu, gak usah diwakili.
Spontan saya timpali, “Maaf nama saya Umi. Saya lebih suka dipanggil dengan
nama saya sendiri.”
Ibu X gak mau kalah,”Kan menghormati suami, Bu.”
” Maaf Bu, saya sudah terbiasa dipanggil dengan nama saya
sendiri. Bapak saya susah-susah kasih nama bagus masak gak dipakai.” Saya jawab dengan bercanda padahal sebenarnya
agak dongkol juga karena si bu X ini memang orangnya agak sotoy sih...
hahahaha....*outoftopic.
Ini bukan kali pertama buat saya mengalami perdebatan
masalah nama. Jauh hari ketika saya pertama kalinya ikut kumpulan ibu-ibu PKK
di perumahan sebelumnya, saya juga didebat hal yang sama. Saat itu juga saya
sempat menuliskannya di medsos tetapi kemudian terhapus ketika bersih-bersih
akun. Sampai sekarang saya kadang masih
belum mengerti juga mengapa perempuan harus kehilangan nama sendiri ketika sudah
bersuami.
Saya yakin semua orang tua menamai anak-anak perempuan
mereka dengan nama-nama yang cantik dan indah. Tetapi sayangnya nama-nama
cantik itu tak akan dikenali lagi ketika para perempuan telah memutuskan untuk
menikah. Memang tidak semua kehilangan nama, tetapi ada kondisi-kondisi
tertentu yang bisa mempertahankan eksistensi
kita sebagai individu yang bernama – tidak sekedar numpang nama
suami. Salah satunya adalah ketika kita
perempuan punya profesi, apapun, tidak hanya yang formal. Misalnya Ibu Rita bekerja sebagai guru, ia
tetap akan dipanggil Ibu Rita, bukan dengan
nama suaminya. Begitu pula dengan
mereka yang bekerja sebagai pedagang, Warung Makan Mbok Sri contohnya. Meskipun
Mbok Sri bekerja disektor non-formal, tetap ia eksis sebagai individu bernama.
Mindset. Bagi saya, faktor dari dalam ini lebih sangat
berpengaruh terhadap eksistensi kita sebagai perempuan merdeka dan bernama.
Menikah adalah suatu pilihan untuk hidup bersama orang pilihan kita tetapi
bukan berarti menyerahkan segalanya dan cuma “nggandul” suami saja.
Sampai-sampai rela menghilangkan karakter pribadi. Menurut saya, nama adalah
karakter pribadi. Orang mengenal dan
mengingat kita sebagai “orang- yang- itu”adalah karena nama. Contohnya, dilingkungan saya ada beberapa
yang dipanggil ibu Agus. Kalau misalnya sedang membicarakan sesuatu yang
berhubungan dengan salah satu ibu Agus tadi masih diperlukan informasi
tambahan, terlalu banyak bahkan. Ibu Agus yang rumahnya nomer A000 yang
suaminya kerja di NNN, itu lho yang rambutnya begini... Khan..akhirnya juga
membutuhkan deskripsi individual. Kalau saja si Ibu Agus- Ibu Agus ini menggunakan
nama mereka sendiri, pastinya lebih mudah mengenali. Bu Sinta itu bukan bu
Lina, beda lagi dengan bu Siti. Mudah khan? Tetapi kembali lagi kepada mindset
individu pemilik nama. Boleh-boleh saja sih bangga dengan suami masing-masing
---masak bangga dengan suami tetangga?.... tetapi jangan sampai kita perempuan
membunuh karakter pribadi. Ingat, masing-masing dari kita dilahirkan istimewa,
tidak ada yang seragam dengan yang lain bahkan selembar rambut pun. Sesama
perempuan saja beda-beda, apalagi ini dengan suami kita yang pasti beda gender.
Nama mengacu kepada gender. Meskipun dengan embel-embel Ibu, tetap saja lebih
afdol menggunakan nama sendiri. Ibu Umi bukan Ibu Yudhi.
Ibu adalah sebutan untuk perempuan. Lebih pas kalau di pakai
dengan nama perempuan. Kalau tidak percaya lihat saja cara penyebutan ibu
negara misalnya, Ibu Iriana Joko Widodo.
Nama asli beliau masih disebutkan. Masih
belum paham juga? Ibu Kartini? Cut Nya’ Dien? Dewi Sartika? Bukankah mereka
gemilang dengan nama mereka masing-masing?
Cut Nya’ Dien bersuami seorang pejuang yang hebat, tetapi beliau tidak
memakai nama suaminya, khan?
Culture? Saya kurang tahu apakah kebiasaan menggunakan nama
suami itu asli dari budaya kita atau nyontek orang Barat. Western people
mempunyai kebiasaan menggunakan sebutan Mr & Mrs + family name, bisa nama
keluarga suami kalau sudah menikah, misalnya Mrs. Smith. Para perempuan ini
akan muncul sebagai individu merdeka hanya ketika mengisi formulir. Mau tidak
mau mereka harus menyebutkan nama lahir pemberian orang tua. Lhah khan? Masih
butuh nama sendiri to?
Menghormati suami? Well, terlalu dangkal saya bilang. Dalam
ajaran agama yang saya anut setahu saya tidak ada yang menyebutkan aturan untuk
menggunakan nama suami sebagai salah satu cara menghormatinya. Jadi saya santai
saja karena saya tidak melanggar ajaran agama karena bersikeras menggunakan
nama sendiri. Malah saya pernah baca, memanggil Papah/ Mamah, Pak/ Bu, Umi/ Abi
kepada pasangan kita saja kurang pas artinya. Kita panggil Papah ke ayah kita
khan? Masak suami kita selevel ayah kita? Tapi sayangnya adek-adek yang lagi
pacaran sudah panggil Papah Mamah ke pasangannya.... *yaelah ....jadian aja
baru 3 hari udah papah mamah...paling minggu depan udah putus.
Bagi sebagian orang mungkin pendapat saya ini agak
berlebihan dan nyinyir. Biar saja. Saya hanya merasa tidak nyaman ketika
karakter pribadi saya serasa dimatikan begitu saja atas nama ikatan pernikahan.
Buat saya nama adalah unsur karakter pribadi. Semakin sering nama saya tidak
disebut semakin cepat pula orang melupakan siapa saya dan pada akhirnya adalah character assassination. Lalu apa
bedanya dengan tahanan yang dikenali dari nomornya saja? Dibilang cuma mau
eksis, yaaa...boleh juga. Ibu-ibu lain ngeksis dengan selfie, saya dengan
membiasakan memakai nama sendiri ketika bersosialisasi dengan tetangga.
Sebenarnya dari sekian baris kegalauan saya diatas, hanya satu
yang paling saya takutkan. Kalau tidak membiasakan memaki nama sendiri, nama perempuan
kita hanya muncul sesekali saja ketika anak kita membuka rekening di
bank. Itupun kalau ingat. Siapa nama gadis ibu kandung anda? Hanya untuk mengingat
nama ibu saja harus buka rekening. Ngeri bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar