Kambing Blues Part-2
(Pak Osro continues....)
Di bagian satu Kambing Blues kemarin saya ceritakan tentang
huru-hara pembagian daging kurban yang melibatkan anggota masyarakat non-muslim
yang rumahnya dijadikan tempat pembagian daging kurban. Pagi ini saya kebetulan
bertemu dengan kawan-kawan dari grup WA yang kemarin beradu pendapat tentang
sah tidaknya daging kurban yang dibagikan dari tempat yang dipinjam dari
pemilik non muslim. Saya yang masih
penasaran akhirnya bertanya langsung ke Parto yang melihat langsung kejadian di
TKP. Sebagai sedikit pendahuluan,
kejadian ini pada dasarnya hanya pergolakan politik tingkat RT saja, dan
kebetulan melibatkan unsur agama.
Awalnya hewan kurban disembelih di areal masjid seperti
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi untuk pendistribusiannya diserahkan ke salah satu
warga, sebut saja ibu Mukini, yang dalam susunan kepanitiaan adalah sebagai
seksi distribusi. Entah bagaimana
awalnya hingga tiba-tiba rumah bu Mukini tidak jadi digunakan sebagai tempat
distribusi. Selain itu juga terjadi perubahan sistem distribusi dimana
tahun-tahun yang lalu daging kurban diantarkan oleh panitia ke rumah semua
warga kampung XX, tetapi tahun ini warga mendapat pembagian kartu girik
pengambilan daging kurban. Parahnya ....
di kartu girik tersebut ada tanda tangan dan stempel pak Osro yang ternyata
tidak punya jabatan apa-apa di kampung XX dan telah dibagikan ke warga beberapa
hari sebelumnya. Lho piye jaaaal????
Usut punya usut, ternyata terjadi kekosongan pimpinan dalam
kepanitiaan. Pak Ketua Panitia ternyata eh ternyata sedang tindak ke Baitullah. Naaah....satu kesalahan sudah terjadi. Sudah
tahu beliaunya tidak berada ditempat ketika hari pelaksanaan kurban, mengapa
masih dipilih jadi ketua? Hallooo...warganya pada mikir apa aja sampe hal seperti
ini tidak dipikirkan. Bukankah seorang ketua adalah yang berhak memutuskan ini
dan itu? C’mooon.... tetapi sebelum lebih jauh, mari saya tunjukkan dulu
keadaaan dilapangan dan data demografinya. Kampung XX ini berpenduduk mayoritas
para pensiunan pegawai kantor. Catat, pensiunan. 60% penduduk aslinya adalah
pensiunan, sisanya adalah anak-anak mahasiswa kos dan pengontrak muda macam
saya, Parto, Wagino, dan Sumini. Jadi bisa dilihat disini bahwa yang namanya
pensiunan itu dimanapun menjalani hidup sehari-harinya
dengan selow, dan malas repot-repot,
cukup menikmati masa tuanya dengan santai.
Satu lagi mengapa kasus pak Osro itu bisa terjadi adalah karena para inhabitant kampung XX ini sudah pasrah
bongkokan ke panitia, tau beres aja.
Kembali ke perpolitikan tingkat RT... Karena terjadi
kekosongan pimpinan di panitia, maka wakil atau sekretarislah yang menggantikan
pak Ketua. Dari sini muncullah satu tokoh lagi yang ternyata eh ternyata adalah
tersangka nomor satu dari kasus ini, sebut saja bu Nyenuk. Ibu ini sudah hajjah, dan umroh berkali-kali,
orang terpandang di kampung XX karena koleksi rumahnya di kampung XX ini cukup
banyak. Beliau ini selalu tampil paling
depan disemua lini kegiatan, apapun beliau bisa. Nyanyi? Oke.... Senam? Ayo!
..... MC? Ha, kecil thok no!.... jadi kalau ada acara di kampung XX tidak perlu
menyewa MC, penyanyi, bahkan instruktur senam. Tetapiiiii ....saking aktifnya,
beliau ini sering “crossing the boundaries” ,yang bukan wewenangnya dibabat
jugak! Gile lu Ndro!.... Nah...menurut
seorang sesepuh kampung XX yang tidak termasuk panitia, bu Nyenuk ini ternyata
anggota sindikat kegiatan RT bersama dengan pak Osro dan beberapa orang lain.
Jadi setiap kegiatan yang memutuskan ini itunya adalah kalau bukan bu Nyenuk, ya Pak Osro. Horok..ngeri
tho? Sampai ada sindikat segala. RT lho ini...RT! Entah kalau levelnya
negara...kayak apa ruwetnya.
Kembali ke pak Sepuh ini yang adalah bapaknya si Parto.
Naaaah...menurut pak Sepuh ini, bu Nyenuk inilah yang menyebabkan kekacauan
pembagian daging kurban ini. Pak Sepuh menerima susunan kepanitiaan yang
menyebutkan bahwa bu Nyenuk tugasnya hanya mengiris daging, sementara
distribusi ada ditangan bu Mukini. Sekali
lagi, bu Nyenuk bukan wakil ketua ataupun sekretaris, catat. Akan tetapi...karena bu Nyenuk adalah orang
yang berpengaruh maka bu Mukini pun mundur ketika tugasnya diserobot bu Nyenuk.
Apalah daya bu Mukini yang hanya pemilik warung wedangan dibanding bu Nyenuk yang hobinya koleksi rumah dan pergi
umroh. Kebetulan hari itu Parto sedang
mengunjungi orang tuanya, dan pak Sepuh berkisah tentang kejadian tersebut,
berangkatlah Parto mencari sisik melik
insiden memalukan ini. Pertama Parto menanyai bu Nyenuk apakah benar tempat
pembagian daging kurban dipindah ke rumah pak Osro. Bu Nyenuk menolak menjawab.
Parto mulai meradang, pergilah ia ke ketua Ta’mir masjid dan bertanya apakah
benar keputusan memindahkan tempat pembagian daging kurban itu adalah kesepakatan
panitia. Pak Ketua Ta’mir menjawab bahwa hal tersebut adalah kesepakatan
panitia. Parto masih belum puas juga, dia kejar pak Ketua Ta’mir mengapa
pindahnya harus dirumah warga yang tidak berkepentingan, alias non muslim,
padahal 80% warganya adalah muslim dan sebagian telah berhaji. Kurang apa coba?
Akhirnya setelah Parto mengusut semua panitia yang
bersangkutan atas carut marutnya pembagian daging kurban, pembagian dipindahkan
kerumah bu Doyok yang muslim. Panitia
kemungkinan merasa kewalahan juga karena tidak satupun warga mengambil haknya di rumah pak Osro, yang
kebetulan Kristen itu. Setelah dipindah
ke tempat bu Doyok, beberapa warga mengambil haknya, tetapi beberapa masih
enggan dan terpaksa diantarkan ke rumah masing-masing. Warga enggan mengambil
bagian daging kurbannya karena harus mengantri dengan memakai girik buatan pak
Osro tadi. Selain karena faktor pak Osro pribadi, sangat kurang sopan kiranya meminta para warga yang sepuh
mengantri mengambil daging disiang hari yang terik. Jauh lebih baik apabila
panitia mengantarkan ke rumah para warga sambil silaturahmi. Setelah kekacauan pagi itu, pak Sepuh yang
bapaknya Parto mendatangi salah satu anggota panitia seksi purchasing (*beli hewan kurban), sebut saja pak Owi, yang pada saat
kejadian sedang tidak berada ditempat karena ada kepentingan. Pak Sepuh
menanyakan apakah benar kejadian pemindahan tempat pembagian daging kurban itu
adalah kesepakatan panitia dan ta’mir masjid.
Pak Owi menjawab tidak ada kesepakatan apapun, seharusnya semua
dilaksanakan seperti tahun kemarin dimana bu Mukini yang berwenang membagikan.
Oke. Jelas sekarang. Semua ini adalah kerja dari sindikat yang digawangi bu
Nyenuk dan Pak Osro. Sungguh TER LHA LHUH......
Dari kejadian ini saya bisa belajar bahwa beragama tidak
perlu dicampur-campur dengan politik.
Ini baru level kampung lho...cuma RT pula...sudah ruwet dan ricuh tidak
terkira. Ada banyak orang-orang yang “sakaw” kalau tidak tampil sehingga semua
diterobos, yang bukan wewenangnya disikat demi ketenaran dan keuntungan
pribadi. Hek cuih!.... Kedua, ranah agama adalah area sensitif, senggol bacok. Seperti ketika Parto yang kemarin langsung menyebut Kristen, bukan
pak Osro secara pribadi. Kekristenan pak Osro bisa jadi tidak terlibat disini,
tetapi nafsu beliau untuk tampillah yang membuatnya hoah- hooh saja ketika bu Nyenuk mencatut namanya. Kalau saja dari awal Parto menyebut pak Osro,
maka debat kami di grup WA akan berbeda topik, bukan lagi tentang agama tetapi
lebih ke politik per-RTan yang jauh lebih aman.
Untungnya, Parto yang sedang dalam proses penemuan spiritualnya lalu
berusaha meluruskan semuanya. Dan itu bagus karena ketika penyimpangan terjadi
tidak satupun muslim yang “cemuwit” (*bahasa
sederhananya speak up) semua tunduk
dibawah kata-kata bu Nyenuk. Tidak heran juga sih....mengapa semua diam. Balik
lagi ke faktor demografinya, mayoritas adalah warga sepuh pensiunan yang sudah
hidup nyaman. Buat apa mengurusi yang
rempong-rempong, bukannya sudah ada panitia. Biar semua diurus panitia, begitu
pikir mereka. Tetapi mereka juga salah
karena begitu tahu ada yang tidak beres, mereka diam. Sayang juga sebenarnya, padahal
hampir separuh dari mereka adalah mantan intelektual di bidang masing-masing,
dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika bu Nyenuk bersabda. Untung ada Parto muda yang masih merasa
bertanggung jawab harus mengembalikan semua tatanan sesuai syariah. Tetapi Parto juga harus berhati-hati untuk
tidak menunjuk agama lain sebagai salah satu penyebab kekacauan kemarin. Bisa
dimaklumi karena mungkin Parto sedang getol-getolnya mencari identitas
spiritualitasnya. Buat saya, Wagino, dan
Sumini, yang tidak terlibat secara langsungpun harusnya lebih cool menanggapi
pertanyaan panas dari Parto. Fiuh..... itulah beratnya hidup di dua alam, di dunia
sosmed dan di dunia nyata, harus seimbang.
Jangan mudah percaya dengan kata-kata dari sosial media karena si pembicara
tidak hadir diantara kita, dimana bisa jadi dia sedang mengadu domba. (*Wis
kaya Mata Najwa rung??)
Pelajaran buat saya pribadi adalah saya tidak boleh terlalu
reaktif dengan hal-hal panas semacam ini. Kemarin otak saya langsung
memerintahkan untuk nulis blog dengan judul Kambing Blues. Tetapi setelah tahu
kejadian sebenarnya, ternyata saya harus menarik simpati saya dari pak Osro
yang ternyata masih gitu-gitu aja, licik bin culas. Terlepas dari agama apapun
yang ia peluk, dengan ini saya nyatakan menarik simpati saya dari pak Osro. Dan
hal yang paling berat yang saya harus tanggung adalah saya merasa harus menulis
blog post ini demi meluruskan semua yang saya ceritakan kemarin..... Padahal
saya sudah lapaaaaaaar....
Alamaaakjooon.....rice cooker lupa
dipencet tombol ”cook”.
(*pingsan)
12:50
Nama-nama tokoh di
Kambing Blues dan Kambing Blues Part 2 saya samarkan demi kenyamanan semua.
Apabila ada yang mengalami hal yang sama seperti yang saya tuliskan diblog
entry ini, semua itu memang tentang kamu. Iyyya..... kamu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar