Total Tayangan Halaman

Kamis, 25 April 2013

ALAAAAH……APAA…..INDONESIA ITU JELEK, MISS……………..



ALAAAAH……APAA…..INDONESIA ITU JELEK, MISS……………..

Dua minggu ini tema kelas English for Children 5B saya adalah Products and Process.  Salah satu topiknya adalah “What is Costa Rica / China/ Italy known for?” dan “What products is ………. well-known?”.  Singkatnya tentang hal menarik dan produk  unggulan dari berbagai negara.  Murid-murid saya sangat tertarik dengan topic ini dan muncullah pengetahuan-pengetahuan dari mereka tentang dimana itu Costa Rica, apa produk unggulannya, dan lain-lain.  Sangat mengagumkan!  mereka tahu banyak .  Tetapi ketika tiba saatnya ‘enrichment’ dimana mereka harus menyebutkan dan membuat daftar tentang apa yang menarik dan produk apa saja yang ada di Indonesia, muncullah kalimat seperti yang terdapat di judul atas, “ Alaaaaah….apa? Indonesia itu jelek,  Miss. Ndak punya apa-apa. Banyak korupsi………..”  WOW! Saya terkaget-kaget mendengar seorang anak SD kelas 5 mengatakan itu dengan entengnya.  Pada saat itu saya hanya berkomentar, “ What?!  OK, next meeting we’ll see what Indonesia has and you will know a lot about it”.  Sebenarnya saya ingin sekali menjelaskan panjang lebar, tapi percuma juga kalau mereka tidak mengalaminya sendiri.  Dan saya buatlah  lesson plan untuk meeting selanjutnya yang salah satu bagiannya membuat mereka  harus berjuang untuk mencari apa yang dipunyai Indonesia dan mengapa Indonesia itu menarik. 

Tibalah meeting yang saya rencanakan itu.  Enrichment menjadi bagian terakhir di session pada hari itu.  “ So, class, we’ve learned a lot about many products and attractions from many different countries.  Now it’s time for us to know more about our country”.  Heran. Mereka tidak protes seperti meeting sebelumnya.  Saya buatkan mind map di whiteboard dengan clusters sejumlah mereka, 9 orang, products: agricultural crops, fisheries, food, etc dan attractions yang terdiri dari houses, dances, tourism places dan beberapa lagi.   Satu murid saya beri satu lembar kertas origami warna- warni berukuran sedang.  Mereka “hom-pim-pah” untuk memilih cluster mana yang harus mereka kerjakan.  Dan…… mulailah mereka berkicau sambil berjalan kesana kemari dan bertanya ini itu, “Miss, what is ‘sego liwet’ in English?’”….”Miss, Keraton juga masuk attraction?” …… Tiba-tiba ada satu murid berkata, “ Miss, kertasnya tidak cukup…. Masih banyak yang belum ditulis….”  Well….. kalimat terakhir inilah yang kemudian saya pakai untuk menyadarkan mereka betapa kayanya Indonesia disamping hal-hal buruk yang mereka dapatkan dari media di sekitar mereka.  Akhirnya , dengan puas mereka menempelkan hasil kerja mereka di bawah peta dunia dan bendera merah putih dari kertas origami bersanding dengan Costa Rica, China, dan Italy.  Saya pun menutup kegiatan itu dengan berkata, “ So…what do you think? What is Indonesia known for? What products is Indonesia well-known?”  Mereka jawab,”Aduh, Miiiiissss….So many!”   So..... :)
Sebuah contoh kecil yang membuat saya bertanya pada diri sendiri, benarkah anak-anak seumuran mereka tidak tahu dan tidak peduli betapa kayanya Indonesia? Apakah yang menyebabkan mereka tidak tahu? Siapakah yang seharusnya mengajarkan itu, Guru sekolah? Orang tua? Media?  No idea.  Sebenarnya bukan otoritas saya untuk mengajarkan pengetahuan ini, tetapi apa salahnya kalau saya berbagi apa yang saya tahu.  Jadi masihkah anda bangga dengan anak-anak anda yang berbicara bahasa asing dan bahkan tidak tahu kosa katanya dalam bahasa Indonesia -- “Ibu aku mau ‘princess’ yang ‘dress’-nya ‘red’ ya… “ -- tetapi tidak tahu banyak tentang kayanya tanah dimana mereka lahir dan mereka pijak setiap hari?  :)

Kamis, 31 Januari 2013

MENYABUNG NYAWA DI JALAN RAYA

"Nek ra ngedan, ra entuk dalan"

Pagi-pagi maunya membeli jajan pasar untuk sarapan, malah kena omelan seorang ibu pengendara mobil hanya karena saya naik sepeda dan menyalip sebuah becak.  Holly@#$%$#@! Geli tapi juga jengkel.  Geli karena mungkin si ibu takut sepeda saya menggores mobilnya, jengkel karena kenapa juga harus marah-marah padahal jalan masih tersisa lebar dann tidak terlalu ramai. Jumlah roda, sekali lagi, menentukan derajat kita di jalan raya.  

Itu satu contoh tentang perilaku berkendara di jalan raya yang jamak terjadi di jaman ini.  Jaman sekarang saya menyebutnya jaman "nek ra ngedan ra entuk dalan".  Bagaimana tidak? Lihat saja setiap hari orang-orang menggila di atas roda kendaraan mereka entah mau kemana, ke pasar, sekolah, beli makan, bahkan E** pun mungkin harus naik motor dulu baru sampai.  Semua melaju dengan kecepatan tinggi, berebut jalan "uyel-uyelan" di jalan raya.  Bukan masalah berapa kecepatannya sih, tetapi perilakunya itu lhooo yang jadi masalah besar.  Lampu merah di terobos, mau belok tidak menyalakan lampu tanda, ada orang mau menyeberang malah diklakson dan menambah kecepatan, jalan malam di gang tidak pakai lampu atau malah menyalakan lampu jauh.  Saya jadi bertanya-tanya, apa kendaraan bermotor buatan terbaru ini tidak seperti yang dulu-dulu ya? Mungkin ketika beli kendaraan bermotor , khususnya sepeda motor, sekarang bisa pesan  "gak usah pake rem, gak usah pake spion, dan gak usah lampu tanda belok" -- cukup gas dan klakson saja biar murah. Istilah kerennya "customized" :D

Setiap hari saya menyabung nyawa di jalan raya menuju ke kantor dan selalu bertemu dengan mereka-mereka ini -- yang motornya (bukan motornya sih tapi otaknya) customized.  Kalau saya pelan malah di klakson suruh cepat-cepat, kalau saya mau menyalip si dia tidak terima di salip.  Lampu hampir merah seharusnya mengurangi laju kendaraan, tetapi pada kenyataanya malah semakin kencang.  Sini yang mau tertib, malah terancam, kalau memutuskan mengurangi laju kendaraan atau berhenti pasti disambar kendaraan lain dari belakang. Bisa-bisa belum sampai kantor sudah tamat riwayatnya.  Saat ini berkendara tertib itu ternyata malah membahayakan diri sendiri karena orang-orang disekitar menganggap yang tertib itu malah salah.  Yang benar ya ngedan itu tadi...... 

Selain para pengendara yang memutuskan ngedan, yang tak kurang membahayakan adalah para "rookie" -- baru bisa naik motor dan yang matic lagi, bisanya tarik gas, tekan klakson, dan rem mendadak.  Nha.... yang ini pasti pesannya yang gak ada spionnya... berhenti semena-mena tanpa melihat kiri-kanan depan-belakang.  Kalu suatu saat ketabrak dari belakang yang disalahkan pasti yang nabrak.  Piye jal?  Saya jadi ingin tahu mereka ini kursus naik motor dimana, kok skill-nya minimalis banget. Biaya kursusnya mungkin  paket yang murah banget jadi paketnya minimalis :-D Bahkan ada teman saya yang kategori berkendaranya masih "rookie" dengan bangganya menunjukkan SIMnya, padahal kalau lihat cara dia naik motor ngeri banget deh.... Jadi punya SIM itu bukan jaminan selamat di jalan, apalagi SIM hasil tembakan.   Lampu merah jalan teruuus....:-D

Beberapa kejadian yang pernah saya alami selama menjadi salah satu pengendara yang ikut-ikutan "ngedan" membuat saya menyimpulkan bahwa yang salah bukan kendaraannya yang kurang lengkap tetapi otak pengendaranya yang kurang lengkap karena tidak mampu menggunakan features yang tersedia di semua kendaraan bermotor.  Tidak usah bangga mempunyai SIM kalau cara mendapatkannya dengan membeli, karena bisa beli SIM belum tentu bisa memiliki keterampilan berkendara yang benar.  Berkendara dengan tertib itu penting, tetapi ingat tidak semua pengendara tahu tata tertib berkendara.  Jadi untuk saat ini dimana semua orang sudah "ngedan", selamat adalah nomor satu, tertib nomor sekian.  Buat apa tertib kalau mematikan.  Jadi, nek ra ngedan ora entuk dalan.....Happy riding crazily (but safely).

Kamis, 17 Januari 2013

Terima Kasih, Thank you, Matur nuwun, Danke schon, Arigato, Xie xie, Muchas gracias, Khawp khun kha, Syukran.......

 Terima kasih...........
Ingatkah kapan terakhir kali kita mengatakan itu kepada seseorang? Satu frase yang sangat sederhana tetapi sarat makna.  Sayangnya banyak yang lupa kapan harus mengatakannya.

Beberapa menit sebelum saya menulis ini, saya masih berjuang di jalan raya menuju kantor.  Di sebuah traffic light tak jauh dari rumah terjadilah sebuah insiden yang hanya berlangsung beberapa detik tetapi cukup membuat "train of thought" saya berjalan kencang.  Sewaktu lampu merah menyala di traffic light itu, saya berhenti di belakang sebuah motor berpenumpang dua orang, seorang ibu dan bapak.  Si Ibu membawa sebuah "kruk" ( alat bantu berjalan). Si Ibu menurunkan kruk-nya dan saat itu juga lampu menyala hijau, si Bapak rupanya tergesa-gesa menarik gas sehingga motor tersentak dan jatuhlah kruk si Ibu tepat di depan saya.  Karena menghalangi motor, saya turun dan mengambilkan kruk si Ibu meskipun di belakang ada mobil yang sudah membunyikan klakson. D*** #^!  Si Ibu sepertinya sedang bersitegang dengan si Bapak sehingga melihat sayapun tidak ketika saya mengulurkan kruknya.  Dengan demikian lupalah si Ibu pada frase ajaib itu. terima kasih.  Tetapi sudahlah, mungkin karena terburu-buru dan diklakson mobil-mobil dari belakang, hilanglah hafalan atas kata terima kasih si Ibu.   Bukan sekali ini saja saya mengalami hal seperti itu.  Beberapa saat yang lalu, seorang Bapak yang terlihat berduit buru-buru keluar dari bilik ATM ketika saya mengantri.  Ketika saya masuk, mesin ATM masih berbunyi karena rupanya katru si Bapak itu ketinggalan. saya cepat-cepat ambil dan saya kejar si Bapak yang sudah hampir "nyengklak" motornya. Diambillah kartu itu dari tangan saya dan wushhh........ lupa juga si Bapak dengan frase ajaib itu.  Untung saya tidak suka mengambil milik orang lain, kalau saja saya usil, pasti sudah habis uang si Bapak.  Tetapi tidak tahu juga kalau ATMnya sudah tidak ada isinya sehingga dengan cerobohnya meninggalkan ATM tanpa memeriksa lagi. Mungkin melihat saya bertampang "devilish-demonic angel" jadi malas orang-orang bilang terima kasih ke saya :-D

Bukan kata terima kasih yang saya harap ketika saya tiba-tiba berbaik hati menolong orang, tetapi saya hanya merasa itukah yang kita pelajari sejak kecil? Seingat saya, di pelajaran PMP atau selama indoktrinasi di Penataran P4  jaman dulu, ada disebutkan supaya kita mengatakan terima kasih kepada yang telah menolong kita.  Tetapi kenyataannya, tak banyak yang ingat itu ketika telah terjun ke masyarakat.  Sekarang ketika saya telah mempunyai lisensi mengajar (punya ndak ya?) saya bertemu dengan anak-anak segala umur.  Sebagian dari mereka telah terbentuk sangat baik, selalu mengatakan "Thank you, Miss" setelah pelajaran usai.  Sebagian lagi sama persis dengan moyangnya terdahulu, selalu lupa, bahkan ketika mendapatkan hadiah atau pujian dari guru mereka (ngomong-ngomong, saya guru bukan ya?)

Tidak usahlah berkoar-koar dengan rencana memberikan pendidikan berkarakter di sekolah, mulailah dari diri sendiri untuk membiasakan mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang memberikan jasa kepada kita meskipun hanya sedikit, kepada petugas pom bensin, ibu penjual di pasar, tau kepada orang-orang terdekat kita.  Terima kasih telah membaca tulisan saya.

Senin, 26 November 2012

Harus saya beri judul apa tulisan ini?


"Pemuda Indonesia Vs Pemuda Palestina"

Pemuda indonesia bangun jam 2 subuh buat nonton bola
pemuda palestine bangun jam 2 subuh buat sholat tahajud
.....................
Pasti tidak setiap Pemuda Indonesia seperti tadi. Apalagi pemuda2 Indonesia yang punya hati & jiwa untuk tidak mau berdiam diri melihat saudara2 nya di Palestina dibantai & dibinasakan.

Mereka pasti bergerak, walau hanya bisa dengan doa2.
Doa2 yang tulus & keluar dari kesadaran hati terdalam, yang insyaAllah akan di dengar Sang Maha Kuat & Maha Pemilik Semesta Alam, Aamiin Yaa Robbal'alamiin.

Cuplikan diatas berasal dari sebuah link yang di - shared oleh seorang kawan di sebuah jejaring sosial. Menarik dan cukup membuat saya berpikir. Apakah benar pemuda Indonesia hanya bisa seperti itu? Bisa bikin panas ini status! Untungnya kalimat-kalimat itu  ditutup dengan sebuah kesimpulan yang sangat bijaksana.  Akan tetapi link itu diawali dengan satu kalimat dari yang empunya account -- yang tidak perlu saya cuplik disini—yang bisa  memerahkan telinga kita sebagai orang Indonesia.  Sebenarnya kalimat itu yang sangat mengganggu, dan terkesan meng”gebyah uyah” (generalisasi).

Tidaklah adil apabila semua yang tertulis di status tersebut tanpa memberikan pengecualian.  Contohnya adalah kalimat penutup yang  mengingatkan kita akan apa yang jamak terjadi di sekitar kita.  Orang mulai tidak peduli dengan sekitar karena sudah merasa nyaman dan bangga dengan segala yang ada padanya.  Kalaupun kadang peduli dan ingin memberikan dukungan malah kadang berlebih a.k.a lebay.  Perbandingan – perbandingan di atas sangatlah kontras.  Tetapi apa mau dikata, keadaan  memang sangat bertolak belakang.  Mereka yang ada di Gaza, Palestina bertaruh nyawa setiap detiknya untuk membela negeri tercinta.  Apa saja ditinggalkan, demi mempertahankan negara mereka yang hendak diambil paksa.  Sementara, kita di Indonesia dikelilingi sumber daya melimpah dan perdamaian yang kadang ternoda oleh ulah bangsa sendiri.  Sudah saatnya kita sejenak melihat diri kita, sudah seberapa banyak kenyamanan yang kita punya sehingga kadang membuat lupa.
Kembali ke status update diatas.... ketika kemudian saya memberikan satu komentar bahwa kita tidak bisa memungkiri bahwa kita lahir sebagai orang Indonesia dan dijawab yang punya account bahwa kita tidak bisa memilih tempat lahir kita, warna kulit kita.... tetapi jangan pasrah, karakter bisa dibentuk, tetapi mau dan berani atau tidak? Begitu katanya.  Saya kemudian berusaha mencerna jawaban ini yang seakan-akan sudah sangat putus asa dengan apa yang terjadi di sini.  Saya jawab balik bahwa mau tidak atau berani tidak itu adalah masalah personal.  Cara berjuang kita dan pembangunan karakter kita sangatlah berbeda dengan saudara kita yang ada di medan perang Gaza.  Jadi sangatlah tidak adil ketika sebagian pemuda-pemuda kita diharapkan menjadi seperti pejuang disana, menggugat apa saja yang disangka mendukung penjajah tanpa tahu benar tidaknya.  Banyak yang berbuat lebih dari sekedar simpati.  Saya jadi terbayang mereka yang dengan sukarela membangun sebuah rumah sakit di Gaza dan bertahan di bawah desingan rudal yang bisa saja jatuh diatas kepala mereka setiap saat. Sebuah pengorbanan konkret yang luar biasa tanpa harus mengecilkan martabat bangsa sendiri.  Saya yakin mereka sangat bangga bisa melakukan itu dan saya sendiri juga sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan disaat negara lain tidak ada yang bisa melakukannya.  Juga mungkin mereka tidak akan terpikir menggugat siapapun karena yang ada hanya bagaimana menjalankan tugas mulia.  Kalaupun ada yang ingin membantu secara fisik ke medan perang, itu baik-baik saja tetapi bukan dengan angkat senjata, karena itu perang mereka.  Kalau kita ikut-ikutan angkat senjata disana apa bedanya kita dengan negara yang setiap hari kita hujat karena menyokong penjajahan?  Bolehlah secara fisik hadir disana, tetapi untuk membantu meringankan derita mereka seperti yang dilakukan 28 orang istimewa dari Indonesia yang bertaruh nyawa di Gaza. 

Saya membandingkan dengan mereka yang hanya berkata hancurkan ini hancurkan itu tanpa bisa membuat sesuatu yang nyata untuk membantu, bahkan malah kadang merusak obyek-obyek yang tidak berhubungan.   Saya tidak akan menghakimi mereka yang kemudian dengan berlebihan mendukung dan kemudian mengecilkan bangsa sendiri.  Karena dengan begitu mereka secara tidak langsung menyatakan bahwa mereka termasuk didalamnya.  Perjuangan kita disini juga sangat berat... Ketidakadilan, keserakahan, ke-tidak punya malu-an, kebodohan, ke-lebay-an, ke-ngawur-an harus diperangi.   Bukan dengan senjata tetapi dengan pembangunan karakter seperti yang diunggah kawan saya di komentarnya.  Tetapi jangan pernah tanyakan berani atau tidak, karena dengan begitu akan menunjukkan ketidakyakinan akan kemampuan bangsa sendiri.  Yang masih hedonis dan kapitalis biarkan saja, biarkan mereka menyiarkan kesenangan mereka dimana-mana.  Waktu yang akan menyadarkan mereka dan tentunya Sang Pencipta yang akan memberi pelajaran bagi mereka. Bukan kita yang harus memberi pelajaran  karena kita sekali lagi harus melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah terlepas dari cela sehingga berani menggugat mereka.   Janganlah cepat-cepat berprasangka.  Yang mungkin sehari-hari terlihat hedonis, kapitalis, atau is- is yang lain, siapa tahu dalam hatinya selalu memanjatkan doa untuk mereka yang sedang menanggung derita dan memberikan bantuan material tanpa sepengetahuan kita.  Menurut saya, berdoa atau bersedekah tidak perlu ada orang lain yang tahu, apalagi berdoa di jejaring sosial, karena itu adalah urusan kita dan Alloh saja.

Pemikiran saya ini muncul akibat jenuh melihat banyaknya respon terhadap apa yang terjadi di medan perang Gaza dan kadang terasa berlebihan, sampai-sampai berani mengatakan bangsa ini pecundang hasil dari didikan kapitalis hedonis mlekithis.  Mungkin pemikiran saya ini terkesan mengambang dan cari aman, atau malah ngawur.  Sebenarnya tidak. Saya sama sekali tidak aman karena dengan adanya pemikiran seperti ini, mungkin ada kelompok tertentu yang akan mengatakan saya liberal karena tidak mendukung semangat perjuangan mereka.   Liberal tidaknya saya, adalah urusan saya dan pencipta saya, tidak seharusnya orang lain menghakimi. Kalaupun benar ada yang mengatakan saya termasuk golongan ‘anu’ misalnya,  jawaban saya adalah seperti iklan rokok, yang mungkin juga termasuk produk kapitalis, “Go ahead”.  Saya hanya risi dengan sebutan mental pecundang dalam update status tersebut.  Bisa-bisanya menyebut pecundang atas bangsa sendiri.  Saya tidak menutup mata dengan semua yang terjadi di negeri ini, tetapi pilihlah kata-kata yang lebih pantas.  Sekali lagi, penutup yang cukup bijaksana dari penulis di situs tersebut bisa sedikit meredakan kedongkolan saya. 

Kedamaian dan peperangan adalah cobaan yang harus disikapi dan dihadapi dengan cara yang berbeda.  Bersyukurlah karena kita berada di tempat yang damai.  Bersyukurlah kita karena kita bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang sedang berjuang tetapi jangan pernah menyebut bangsa sendiri pecundang.  Perjuangan kita dan perjuangan mereka adalah jauh berbeda tetapi bertujuan sama, menumbangkan kebatilan.  

Rabu, 12 September 2012

Matah Ati , Pamedan Mangkunegaran Solo, 8-10 September 2012

The Beginning

Matah Ati berkisan tentang perjalanan cinta dan perjuangan pemimpin prajurit perempuan bernama Rubiyah ‘Matah Ati’ yang kemudian melahirkan garis keturunan Mangkunegaran. Rubiyah yang setelah dipersunting R.M.Said diberi nama RAY. KUSUMA MATAH ATI atau dikenal juga RAY. KUSUMA PATAH ATI. Nama beliau memiliki dua versi dengan arti yang sama yaitu Matah atau Patah yang dalam bahasa Jawa artinya melayani. Dalam hal ini, penulis memilih judul ‘Matah Ati’ berdasarkan pemikiran bahwa selain memang Rubiyah dilahirkan di desa Matah juga dapat memberikan kesan yang lebih positif daripada Patah Ati yang dapat juga diartikan sebagai patah hati (broken heart) yang sesungguhnya sangat berbeda dengan makna sebenarnya, yaitu ‘melayani hati sang pangeran’. 

“Matah Ati” adalah sebuah kisah perjalanan dan perjuangan cinta yang terjadi di Jawa pada abad ke-18 tentang gadis desa bernama Rubiyah. Beliau kemudian menjadi bagian dalam masa perjuangan R.M.Said melawan penjajahan Belanda di tanah Jawa dimana ia menarik perhatian seorang ksatria ningrat Jawa yaitu R.M. Said yang juga dikenal Pangeran Sambernyowo yang kemudian jatuh cinta kepadanya. 

The Prayer
Hingga 16 tahun peperangan dan pemberontakan usai dengan kekalahan lawan, maka jadilah Raden Mas Said menjadi Raja bergelar Mangkunegara 1 dan Rubiyah menjadi istri dengan nama RAY KUSUMA MATAH ATI karena lahir di desa Matah dan bisa juga diartikan ‘Melayani hati sang pangeran’, melalui beliaulah turun generasi raja-raja Mangkunegaran. 

Rubiyah, the Brave
Raden Mas Said adalah cucu dari Amangkurat 4, pada waktu itu hasil dari peperangan dan pemberontakan akhirnya menghasilkan perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti.  Perundingan perdamaian itu  menjadikan kerajaan di Jawa terbelah  menjadi empat yaitu Kasultanan  Jogjakarta dan  Pakoealam  Jogjakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran Surakarta (Solo). Cerita  indah ini dirajut dengan tema cinta, belas kasih, keberanian, keputusasaan dan sukacita.
The Encounter
 ‘Matah Ati’ menampilkan keagungan dan perjuangan wanita serta merupakan suatu fakta historis bahwa pada abad ke-18 sudah ada pejuang- pejuang wanita yang tangguh untuk menumpas keangkara murkaan dan ketidakadilan. Dengan kata lain, peran Rubiyah tidak hanya menjadi seorang istri/ibu yang selalu berada di wilayah  urusan  domestik (rumah tangga) dan wanita tani yang bisa menarikan tarian Jawa, seperti Srimpi, Bedaya dan lain-lain; melainkan juga mampu mendampingi R.M.Said dalam  memimpin perang serta memimpin 40 prajurit wanita di medan perang layaknya laki-laki. (sumber: Siaran Pers Pentas Tari Matah Ati di Esplanade Theater Singapura , 22-23 Oktober 2010  http://lists.indymedia.org/pipermail/imc-jakarta/attachments/20100919/43650cc5/attachment-0001.htm)


Pada tanggal 8-10 September 2012, Matah Ati di pentaskan di kota asalnya, Solo,  tepatnya di lapangan Pamedan Mangkunegaran. Foto-foto ini diambil pada tanggal 9 September 2012, hari kedua pementasan di kota Solo.

The Admission




The Training with Raden Mas Said


The Women Army

The Battle

The Aftermath

The Wedding of RM Said and Rubiyah, the Brave

 Closing

Rabu, 15 Agustus 2012


Mencari Mudik



Seumur-umur, belum pernah saya menjalani mudik yang sebenarnya meskipun bertahun-tahun tinggal di luar kota kelahiran saya.  Beberapa kali saya mencoba menjalani percobaan mudik tetapi rasanya masih kurang greng karena jarak yang kurang jauh dan hampir selalu tidak tepat waktu.


Pertama kali saya melakukan percobaan mudik adalah ketika saya masih kelas 1 SMA.  Pada waktu itu saya dimudikkan orang tua saya ke desa nenek moyang saya di perbukitan kapur di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebelah selatan, yaitu Punung, Pacitan.  Waktu itu saya diantar almarhum ibu naik bis dari Madiun ke Ponorogo, lalu lanjut dengan bis kecil jurusan Ponorogo-Pacitan.  Seingat saya ketika itu hanya dua atau tiga hari menjelang Idul Fitri.  Bis Aneka Jaya yang saya naiki dari Ponorogo ke Pacitan sangat penuh sesak.  Penumpangnya beragam mulai dari penumpang swasta macam saya, pedagang, orang mau belanja ke pasar, ayam dan pisang yang mau dijual, sampai orang yang mau mencuci di sungai.  Bisa dibayangkan suasananya, baunya, dan suhu udaranya.   Menakjubkan....    Pada jaman itu hanya ada satu atau dua armada bis yang melayani trayek ini, yaitu Aneka Jaya dan Jaya.  Jadi kalau ada musim-musim seperti mudik atau liburan pasti penuh sesak.  Sampai di Pacitan saya harus masih naik bis lagi jurusan Pacitan- Solo, karena desa nenek moyang dari ayah saya terletak di jalur Pacitan –Solo dan hanya beberapa kilometer dari perbatasan.  Penuh lagi...... namanya juga mudik.  Sampai di desa saya bertemu dengan sanak saudara yang juga ada yang telah tiba dari kota-kota besar seperti Jakarta.  Meskipun saya sudah melalui perjalanan yang tidak mudah, tapi saya merasa ini belum bisa disebut mudik yang sebenarnya. 
Percobaan mudik kedua saya adalah ketika saya telah lulus kuliah dan bekerja di Madiun.  Waktu itu beberapa bulan setelah bapak meninggal yang didahului ibu sepuluh bulan sebelumnya.  Saya mencoba mudik sendiri kali ini karena saya berpikir buat apa di rumah toh juga tidak ada siapa-siapa lagi, hanya satu kakak saya.  Kali ini saya mudik ke Magelang, ke tempat kakak sulung saya.  Setelah sholat Ied dan khotbah belum usai, saya langsung kabur mengambil backpack saya dirumah dan berangkat dengan bis Mira AC ke arah Jogja.  Sepanjang jalan Madiun- Ngawi, saya melihat masih banyak warga yang menjalankan sholat Ied.  Tapi sayang, mudik kali ini terlalu mudah, bagaimana tidak bis yang saya naiki kosong melompong.  Hanya ada saya dan tiga atau empat penumpang yang turun di Jogja.  Seperti bis pribadi pokoknya. Saya duduk paling depan dan ngobrol dengan pak Sopir dan pak Kondektur yang terheran-heran dengan saya yang pergi sendirian di hari raya Idul Fitri.  Rupanya saya salah jadwal mudik, kalau pas hari-H ternyata tidak ada lagi yang bepergian.  :D Mudik yang gagal... karena terlalu mudah dan nyaman. Dari Jogja ke Magelang pun juga tidak terlalu melelahkan, saya naik bis jurusan Jogja- Semarang yang kebetulan berpendingin udara dan tidak terlalu penuh meskipun banyak penumpang.  Setelah percobaan mudik yang gagal itu sepertinya saya tidak melakukan mudik lagi.  Setiap hari Raya saya habiskan di rumah kakak laki-laki saya yang satu lagi.  Kebetulan dia tinggal di pinggir kota jadi masih ada tradisi berkunjung ke tetangga, lumayanlah masih ada suasana Idul Fitri.
Beberapa tahun setelah mudik gagal itu, saya menikah dan menetap di Solo sampai sekarang.  Di sini ada tradisi kumpul keluarga besar dari suami saya setiap hari raya Idul Fitri, tepatnya hari kedua. Keluarga besar itu memang benar-benar besar. Semua keluarga dari segala penjuru tanah air berkumpul di sebuah rumah di Kampung Gajahan, Solo.  Wow, pengalaman pertama saya mengikuti tradisi yang sangat baru buat saya.  Saya harus berkenalan dengan semua orang yang hingga saat inipun saya tidak ingat betul ini siapa itu siapa dari keluarga mana. Merekalah the true mudikers karena setiap tahun mereka bersusah payah melakukan perjalanan sangat jauh dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Tegal, bahkan seingat saya ada yang dari luar Jawa juga hanya untuk datang ke Solo dan bersilaturahmi dengan keluarga besar.  Saya tidak bisa membayangkan perasaan mereka ketika bisa sampai di Solo setelah meniti jalan aspal berkilo-kilometer dibawah terik matahari. Tetapi untungnya mereka bermobil semua.  Karena ada acara tahnan ini, sayapun mengalah menunda mudik pribadi saya. Saya mudik setelah selesai acara, jadi ceritanya lebih parah....  Mudik melawan arus.  Bagaimana tidak, ketika orang-orang dari arah Jawa Timur balik ke barat, ke arah Jakarta, saya dan suami saya baru mudik ke timur.  Jadi tahun lalu saya tidak mudik ke timur, tetapi ke barat, ke Magelang ke rumah kakak sulung saya. Saya masih belum kapok mencoba mudik.  Saya berangkat setelah acara kumpul keluarga besar seperti biasa.  Kira-kira jam 4 sore dari arah Kartosuro saya menuju ke arah barat menuju Boyolali.  Sepanjang jalan saya beriringan dengan mudikers yang sudah mulai balik ke Jakartadan kota sekitarnya.  Saya mengambil jalur Selo – Ketep – Magelang.  Karena saya berangkat sore hari, alhasil saya sampai di Selo sudah senja dan mulai gelap.  Udara dingin pun mulai menyerang karena kabut sudah saatnya turun.  Tetapi saya menikmati perjalanan ini karena baru pertama kalinya melewati jalur ini di tengah gelap malam.  Agak seram sih, apalagi ketika bertemu penjual sate Madura di kegelapan jalan yang berliku.... tidak terjadi apa-apa cuma kaget dan heran.  Siapa yang beli sate ya? Padahal tempat berpapasan dengan penjual sate krincing itu jauh dari pemukiman.  Setelah habis jalur berliku, tibalah saya memasuki jalan raya Jogja –Magelang.  Banyak kendaraan di kedua arah, tetapi tidak macet.  Saya hanya semalam di Magelang, esok siangnya saya harus kembali ke Solo.  Atas rekomendasi keponakan saya, saya mencoba jalur Kopeng.  Jalur ini baru buat saya, tetapi pernah sekali ketika saya masih kecil saya naik bis lewat jalur ini.  Sepanjang Magelang – Kopeng – Salatiga tidak ada masalah berarti, jalur cukup lancar. Begitu lepas jalur berliku itu, tibalah saya di arena kemacetan luar biasa sepanjang Salatiga – Ampel, Boyolali.  Dua arah jalan sulit bergerak. Kendaraan-kendaraan besar seperti bis dan truk bercampur dengan motor dan mobil pribadi yang berebut jalan.  Saat itu kira-kira jam dua siang, bisa dibayangkan rasanya, panas terik dan debu yang beterbangan.  Macet itu berlangsung sekitar 10 kilometer lebih, sampai motor harus turun ke bahu jalan yang terbuat dari tanah sehingga makin kental debu yang berhamburan.  Beberapa pemuda setempat menawarkan jasa jalur alternatif melewati jalan desa. Dari yang saya temukan di ujung macet, saya tidak menemukan kejadian apa-apa yang menyebabkan macet.  Lalu kenapa bisa macet ya?  Lepas Ampel, Boyolali, jalur mulai ramah lagi balik menuju Solo.  Tetapi saya belum juga menemukan the true mudik.



Setiap tahun orang dari segala penjuru melakukan mudik ke kampung halaman. Mengapa?  Apa yang dicari? Terlepas dari agama apapun, mudik adalah masalah spiritual.  Orang mengejar kepuasan rohani dengan menembus belantara macet di atas jalan raya. Macet, panas, kendaraan mogok , kehilangan, akan terbayar sah ketika sampai di kampung halaman.  Tidak ada yang bisa menukar rasa ini.  Bertemu dengan keluarga yang lama tidak berjumpa, berbakti kepada orang tua, bertukar cerita, ngemil makanan nenek moyang, adalah secuil dari proses mudik.  Tidak usahlah berpikir negatifnya mudik, yang kecelakaanlah, yang jauhlah, yang pamerlah, yang tidak ada tuntunannya dalam agamalah....  Pikirkan saja apa yang bisa didapat dari sebuah perjalanan spiritual ini.  Mudik adalah tradisi yang dimiliki semua orang, tidak terbatas orang muslim.  Kalau ada yang mengatakan mudik tidak ada dalam syariat, biarkan saja. Saya pikir tradisi dan syariat adalah hal terpisah.  Kita tinggal di tempat yang berbeda pasti punya kebiasaan yang berbeda. Tidak bisa disamakan satu tempat dengan yang lain.  Kalau di negara Arab sana lepas sholat Idul Fitri langsung balik kerja, biarkan saja karena mereka tidak punya tradisi seperti kita.  Kalau ada yang berusaha menghapuskan tradisi ini, itu adalah orang yang telah mati rasa, terlepas dari apa yang dipercayainya.  Mudik adalah milik kita.
Jadi, selamat mudik Kawan-kawan. Hati-hati di jalan.  Semoga Selamat sampai tujuan.

Minggu, 15 Juli 2012

WASPADALAH... WASPADALAH!!!!


WASPADALAH... WASPADALAH!!!!


Berhati-hatilah kalau kamu seorang perempuan yang suka bersepeda atau jalan-jalan sendirian.  Penjahat cabul masih ada dimana-mana. Tak peduli pakaian yang kamu kenakan atau penampilan fisik kamu, pikiran kotor itu selalu ada dalam otak mereka. 
Beberapa jam yang lalu saya mengalaminya sendiri. Saya tidak sedang dimana-mana, hanya 10 meter dari rumah.  Saya pulang dari membeli sarapan dengan naik sepeda lipat.  Hari-hari kemarin saya juga selalu melakukan hal yang sama hampir setiap pagi dan tidak pernah terjadi apa-apa. Tetapi pagi ini kesialan sedang menimpa saya.  Di sebuah tikungan 20 meter dari rumah, saya berpapasan dengan motor yang dikendarai oleh seorang ibu. Sayapun melambatkan laju sepeda saya dan berbelok. Dari arah belakang, ada sebuah motor dengan laju yang lambat. Saya masih tenang-tenang saja ketika motor itu mengikuti dibelakang , sayapun agak minggir memberi jalan.  Saya berpikir itu adalah salah satu teman saya yang tinggal di perumahan sebelah yang suka menyapa saya ketika bertemu di jalan. Saya masih belum berpikir apa-apa ketika motor itu hendak menyalip saya. Tapi jarak motor dan sepeda saya sangat dekat sehingga membuat saya menoleh untuk melihat siapa pengendaranya. Belum penuh kepala saya menoleh, tangan terkutuk pengendara motor itu sudah melayang ke dada saya dan sempat mencubit. Whatta @$$%m^&*()*&^%#@!!! Sekejap darah saya melonjak naik ke ubun-ubun. Saya marah  dan jengkel luar biasa! Maksud hati ingin mengejar dan menghajarnya tapi sayang ketika itu saya hanya naik sepeda lipat, mengejarpun tak akan ada gunanya hanya akan melukai diri sendiri.  Saya hanya bisa berteriak “Maling...Maling.....! sekuat tenaga disertai kosa kata segala macam nama binatang dan kata-kata “suci” .  Sialnya saat itu tak ada siapapun yang bisa menolong saya.  Hanya ada satu bapak yang sedang memperbaiki mobilnya tak jauh dari rumah yang kemudian bertanya kenapa, satu lagi bapak yang juga bertanya kenapa, dua orang pesepeda yang kebetulan lewat, seorang ibu tetangga, dan beberapa anak kecil yang terbengong-bengong melihat tante cantik mereka bersumpah serapah. Sialnya lagi suami dan beberapa warga sedang kerja bakti membersihkan masjid yang agak jauh dari rumah sehingga suara sumpah serapah saya tidak terdengar oleh mereka.  Rasanya darah saya mendidih karena saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan penjahat primitive itu. Hanya sumpah serapah dalam hati dan kutukan-kutukan tujuh turunan yang bisa saya mohonkan dalam hati. D A M N!  Saya tidak bisa mengingat wajah pelaku karena mengenakan helm hitam. Yang saya ingat hanya motor yang dinaikinya, Honda Grand 1994an, jaket kulit hitam lusuh, dan celana pendek. Pelaku berperawakan kurus. Nomor polisi motornya pun tidak terdeteksi karena sudah buram dan pelaku melaju kencang ke arah jalan pintas ditengah sawah setelah saya berteriak-teriak.  Satu pengalaman yang membuat saya sangat jengkel, karena baru kali ini saya mengalami pelecehan dan tidak bisa melawan. Sebuah pelajaran penting untuk lebih berhati-hati.
Pelecehan seksual sebenarnya bukan semata-mata kesalahan satu pihak saja, laki-laki atau perempuan. Buktinya saya perempuan dengan pakaian tertutup masih juga menjadi korban. Sementara sebaliknya gadis-gadis pengunjung mall yang kadang berbaju kurang bahan aman-aman saja.   Lalu salah apanya? Salah siapa?  Masih juga menjadi perdebatan. Tidak usahlah menyalahkan si ini si itu sampai demo-demo segala yang penting adalah bagaimana kita bisa melindungi diri sendiri ketika tidak ada yang bisa menolong kita. Mau berpakaian mini, silahkan saja asal mau menerima konsekuensinya dan syukur-syukur bisa melawan ketika mengalami pelecehan.  Dan kalau memutuskan untuk menutup aurat, jangan setengah-setengah, perilaku bahenol juga harus dihilangkan.  Percuma tertutup kalau masih kegatalan..... :D.  Cobalah tengok kembali kasus-kasus pelecehan dengan korban perempuan yang tidak lagi muda dan mungkin tidak lagi bahenol. Apakah mereka menjadi korban karena pakaian dan penampilan mereka? Saya rasa tidak.  Otak pelakulah yang sakit. Otak mereka hanya penuh dengan hal-hal kotor dan menyakitkan. Entah darimana mereka mendapatkan sampah yang mereka selalu simpan diotak seumur hidup.  Mereka puas ketika orang lain merasa sakit dan menderita.  Sulit untuk mengatakan siapa yang berperan atas kerusakan otak mereka karena akan melebar ke banyak hal. Pendidikan? Keluarga? Agama? Lingkungan? Teknologi?  Insting dasar? Gender? Sebutkan saja.... semua bisa menjadi penyebabnya. Tidak usah menyalahkan gender karena semua berpotensi menjadi pelaku meskipun hanya dalam batas minimal, pelecehan secara verbal misalnya, meskipun insiden dari pihak sebaliknya jarang terangkat karena mungkin korban malu atau jangan-jangan malah menikmati :D   Hanya satu yang bisa mengurangi bahkan menyembuhkan kerusakan otak tersebut, kontrol diri.  Semua orang memiliki kontrol diri, hanya saja satu dengan yang lain berbeda kekuatannya. Sekali lagi banyak faktor yang mempengaruhinya. Undang-undang apapun tidak akan bisa menghentikan pendosa-pendosa itu selama mereka masih mengalami kerusakan otak. Karena saya bukan ahli psikologi, hukum, atau agama, apalagi saya bukan feminis, maka saya tidak punya jawaban atas apa yang harus dilakukan untuk melindungi korban dari kelakuan terkutuk para penjahat primitive.  Saya hanya berusaha supaya saya sendiri tidak menjadi korban mereka, kalau saya bisa menolong orang  lain atau syukur-syukur bisa menghajar dan membuat jera para penjahat cabul, itu hanya bonus saja.
Saya hanya bisa berbagi apa yang sering saya lakukan ketika saya sedang tidak dalam perlindungan orang terdekat. Pertama, jangan pernah kosong pikiran dimana saja, melamun misalnya.  Ketika saya mengalami kejadian diatas, saat itu saya sedang melamunkan sebuah sepeda bagus yang beberapa saat lalu berpapasan dengan saya sehingga saya tidak waspada. Kedua, selalu waspada dengan orang yang ada diluar jangkauan penglihatan kita, dibelakang atau samping kiri kanan.  Berpikir positif itu bagus, tetapi waspada itu lebih penting.  Kalau orang itu mendekat dan kita merasa tidak nyaman, ikutilah perasaan kita. Menjauhlah.  Kalau tidak memungkinkan, siap-siaplah dengan segala kemampuan untuk melawan. Jangan terlihat takut.  Ketiga, narsis atau ingin menjadi pusat perhatian itu manusiawi, tatapi bersiaplah dengan konsekuensinya. Pakaian yang kita pakai dan cara kita membawa diri  kadang menarik perhatian orang lain, apalagi kalau terlihat beda.  Lagipula siapa sih yang tidak senang di perhatikan? Dicelah itulah pelaku kejahatan biasanya memanfaatkan. Karena terlena dengan pandangan kagum yang lain, yang bermaksud jahat dan sudah mendekat bisa-bisa tidak terdeteksi.  Tadi saya mungkin juga salah, belanja ke warung bersepeda adalah hal yang jarang dilakukan ibu-ibu di perumahan saya, saya merasa berbeda dengan apa yang selalu saya lakukan setiap hari.  Atau mungin  pelaku tertarik dengan jaket bulukan saya, sehingga penasaran ingin memegang jaket saya kemudian kebablasan? Kalau ini edan namanya..... Mungkin pelaku sudah pernah melihat saya sehingga tadi pagi memutuskan untuk mengeksekusi saya  karena kebetulan suasana sepi.  Tetapi mungkin juga impulsif, lihat langsung sikat. Itulah hebatnya otak penjahat, bisa bekerja dengan cepat.  Keempat, manfaatkan suara keras kita untuk melawan kalau melawan secara fisik tidak memungkinkan. Meskipun kemungkinan pelaku tertangkap kecil tetapi paling tidak ada orang yang mengetahui.  Tidak usah malu kalau kita bukan penyebab kita sendiri  menjadi korban.  Kalau ada yang menolong, alhamdulillah. Tetapi kalau kejadiannya seperti saya tadi, ada orang yang melihat tetapi hanya terbengong-bengong, ya resiko.  Hidup itu penuh resiko, tidak mau menghadapi resiko mati saja. Terakhir, jangan lebay. Tidak perlu menangis tersedu-sedu karena dicolek penjahat cabul.  Marah, jengkel, trauma itu biasa dan bisa diatasi. Selanjutnya, hadapilah tantangan menjadi perempuan dengan berani dan bijak. Hanya kita yang tahu harus bagaimana supaya tidak menjadi korban. Kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya tetapi karena ada kesempatan.  Waspadalah, waspadalah!