Total Tayangan Halaman

Selasa, 13 September 2016

Kambing Blues



Kambing Blues

Aroma gurih gule kambing, thengkleng,  semur daging sapi, dan masakan-masakan daging sudah menguar disegala penjuru sejak kemarin sore, sementara saya baru saja mau mengeksekusi daging kurban dari mushola dekat rumah. Karena saya tidak ahli masak-memasak daging jadilah konsultasi dulu dengan ahli di dunia maya, Eyang Google. Saya mau masak tongseng. Tetapi sebelum sowan Eyang, perhatian saya tertuju di notifikasi salah satu grup WA.  Setelah saya buka ternyata seorang kawan mengutarakan sebuah pertanyaan tentang kurban. Si Kawan ini, sebut saja Kumbang...eh jangan,  Parto saja. Dia mengutarakan sebuah kasus disuatu tempat telah terjadi pembagian daging kurban di rumah seorang Kristen dan dia menanyakan pendapat dari kami para anggota grup yang Muslim semua. Pertanyaan itu rupanya sudah sejak semalam dan belum ada yang menjawab sampai pagi tadi.  Lalu seorang kawan lain, sebut saja Wagino, memberikan komentar.

Begini kurang lebihnya isi chat di grup:
Parto: Menurut pendapatmu kalau daging kurban dibagikan dari rumah seorang kristen itu bagaimana? 
 
Wagino: maksudmu bagaimana? Si pemeluk Kristen ini ikut kurban?
Parto: Bukan. Rumah dia dipakai untuk menyalurkan daging kurban. Orang-orang diberi kupon untuk mengambil kesitu.
(pause lamaaa..karena saya lagi menunggu mas Sayur yang berjanji membawakan bumbu pawon hari ini)  Sampai rumah saya buka lagi chatnya, jadi penasaran nih....

Wagino: OOO Cuma tempatnya tho? Yo ndak papa, karena tidak mengganggu tata cara kurban. Lagipula yang menerima daging kurban adalah semua orang, bukan yang muslim saja.  Jadi menurutku bagus itu, karena toleransinya jalan.
Anggota grup yang lain hadir juga akhirnya, sebut saja Sumini.
Sumini: Benar itu, wong yang jelas-jelas muslim aja belum tentu mau rumahnya dipakai tempat mengurusi daging kurban karena takut bau kambing.
Parto: oooo jadi gitu ya? Tapi toleransi menurutmu dan menurutku ternyata beda ya?
(Saya mulai gatel ikut chat)
Saya: Lha menurutmu gimana, Bos?
Parto: Jadi begini sodara-sodara, dalam Islam, daging kurban boleh dibagikan kepada siapa saja termasuk non-muslim, tetapi pembagian sepenuhnya diserahkan ke lembaga berwenang seperti masjid, dan komunitas orang-orang muslim, termasuk proses mulai pembelian sampai penyembelihan dan pembagian.
Saya: Tunggu. You bilang yang jadi masalah tempatnya khan, Bro? Sekarang gini, misalnya ditempat itu musholanya kecil gak punya halaman dan warga muslimnya tinggal agak jauh dan mungkin enggan jadi tempat pembagian daging kurban karena rempong, emang salah kalau kemudian ada warga beragama lain yang berbaik hati menawarkan tempatnya untuk melaksanakan kurban?
Parto: oh pendapat kita beda ternyata. Tetapi menurutku kalo muslim tentu tidak akan menolak kalau rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban.
Saya: Yakin gitu Bro? ....  (sebelum saya lanjut chat, Sumini menimpali)
Sumini: Lah? Kenapa pas rapat yang muslim diam saja?  Khan gak mungkin yang non muslim ikutan rapat panitia Idhul Qurban.  Seharusnya khan mereka yang mangajukan diri dong, kalau bener-bener muslim sih....

(Saya jadi tambah penasaran ini insiden TKP nya dimana sih kok jadi panas diskusinya...)

Saya: Bro, ini kejadian dimana sih? Ditempatmu situ? Dan you belum ceritakan apakah yang mengurusi semuanya adalah muslim dan hanya tempatnya saja yang bukan milik muslim.
Parto: Ini kejadiannya di Kampung XX (dua aj Xnya kalo tiga topiknya beda lagi nih...) Masjidnya besar, punya lapangan dan joglo pertemuan, kenapa harus milih rumahnya non muslim? Kalau mau netral ya bisa di lapangan atau joglo khan? Coba aku ikut rapat aku pasti bersedia ketempatan deh.... Akibatnya kemarin banyak yang gak mau ambil daging kurbannya.
Saya: Yakin? (tapi dalam hati saja, karena saya tau keadaan rumahnya di lingkungan itu, tidak cukup besar juga.)

Setelah tahu tempat kejadiannya saya sedikit kaget juga. Saya lama tinggal di Kampung XX itu, tetapi sekarang tidak lagi.  Selama saya disitu setiap Idhul Qurban, semua pengurusan dari penerimaan hewan kurban sampai pembagian daging dan memasak untuk para sukarelawan dilakukan dihalaman masjid tersebut. Entah sejak kapan masjid itu tidak lagi digunakan untuk Idhul Qurban, padahal sekarang masjid itu memiliki halaman tambahan yang sangat sangat ideal untuk pelaksanaan kurban. Entahlah...apa yang terjadi pada panitianya kali ini.  

Saya: Bro, gini yaaaa... kalo dulu pas rapat sudah tau itu kurban mau dibagikan darimana, seharusnya ...seharusnya niiiih...gak usah ditawari pun yang merasa muslim harus tunjuk diri. Jadi gak akan terjadi seperti ini, gak akan ada kejadian menolak daging kurban. Ngomong-ngomong rumah siapa sih yang jadi TKP?
Parto: Pak Osro itu lho... beberapa kali ditempat Bu Mukini, tapi kemarin ini yang pindah ke tempat pak Osro. 
Saya: (yang lupa-lupa ingat pak Osro) tapi kalo cuma tempat untuk membaginya saya kira tidak masalah sih, tidak menganggu aturan kurbannya asal itu tadi yang bertanggung jawab dan mengurusi harusnya muslim semua, karena ini hajatnya kita para muslim dan terutama yang sudah naik haji. 
Saya: (Cling!! Tiba-tiba sa ingat siapa pak Osro) Tunggu!!! Kamu bilang pak Osro? Omaigaaaaad...Bro! Orang-orang enggan mengambil daging kurban kesitu bukan karena Kristennya Brooooo....ya karena pak Osro ituuuuuh....Omaigaaaddd!!!!
Wagino: Wooooo...ngobrong dol Bro! ( Tiba-tiba muncul!) Kamu jangan nyebut agamanya  doang dong! Bilang aja rumah pak Osro. Beser...eh Beres. Case Closed. Kita semua tau siapa pak Osro itu. Lagian itu panitia kurban jugak gak beres rupanya.
Parto: (masih ngeyel bahwa Kristennya yang jadi penyebab semua itu) Lalu pak Osro itu orang apa?
Wagino: (agak jengkel juga kayaknya) Wong lemu!  (orang gemuk; Pak Osro memang berbadan cukup chubby)

Sampai disini saya tidak tahan lagi melanjutkan chat karena tertawa terpingkal-pingkal setelah tahu duduk perkaranya dan obyek yang dibicarakan adalah Pak Osro, yang well-known itu.  Well, sebenarnya saya tidak ingin membawa ke ranah personal tapi apa mau dikata, obyek yang sedang dibicarakan adalah orang yang mempunyai karakter kurang menyenangkan dan kebetulan saja beragama Kristen, yang jumlahnya kalah bayak dibanding yang muslim di kampung itu.  Sedikit gambaran, pak Osro adalah seorang aktifis kampung, orangnya baik tetapi selalu mempunyai motivasi lain dibalik kebaikan beliau. Sudah rahasia umum kalau beliau ini suka memanfaatkan kegiatan apapun untuk keuntungan pribadi.  Agama yang dianutnya sama sekali tidak menyebabkan pak Osro tidak disukai, tetapi perilakunyalah yang membuatnya dihindari bayak orang. Kalaupun dia muslim tetap saja orang enggan mendekatinya karena perilakunya yang licik.

Sekarang yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghadapi hal-hal seperti ini yang cepat sekali membakar. Parto mungkin terlalu men-generalisir keadaan, dengan menyebut agama saja ketika menanyakan pendapatnya. Bisa jadi Parto sedang ikut tren “yang beda agama, jauhi saja” . Pak Osro adalah hanya satu dari jutaan penganut Kristen, kebetulan saja beliau punya perilaku tidak terpuji.  Jadi bukan berarti semua orang Kristen seperti pak Osro.  Kedua, perlu investigasi khusus untuk mencari tahu mengapa sampai masjid yang sebesar itu dengan fasilitas komplit tidak dipakai untuk melaksanakan kurban seperti yang telah lalu.  Panitianya harus bisa bertanggung jawab terhadap kejadian ini.  Mereka harus bisa menjelaskan ke warga apa alasannya mengalihkan tempat pelaksanaan kurban ke rumah pak Osro. Mungkinkah (*baca dengan nada presenter gosip, pliz) ... anggota panitia kurban adalah kroni-kroni pak Osro? Siapa saja yang menjadi panitia juga penting untuk diketahui. Sulit memang untuk hanya fokus ke WHAT tanpa tahu WHO nya. Dan yang tak kalah penting adalah, warga muslim kampung XX sendiri.  Mengapa mereka diam saja ketika tahu bahwa pelaksanaan kurban akan dilaksanakan di rumah pak Osro? Bukankah rumah mereka banyak yang lebih besar dan lapang dibanding rumah pak Osro. Atau kalaupun takut rumahnya bau kambing, cukup usulkan pelaksanaan kurban dilapangan atau joglo pertemuan saja. Mudah kan???  Lalu juga mereka yang sudah naik haji, mereka juga diam saja? Kemana saja mereka? Tidak ingatkah mereka  Idul Adha adalah hari dimana mereka pernah berjuang di Tanah Suci ditengah teriknya sinar mentari gurun untuk hadir di Baitullah. Mereka lupakan begitu saja setelah gelar Haji/Hajjah menempel didepan nama masing-masing? Mungkinkah mereka terlalu gengsi, lha wong sudah haji kok ikut memotong daging kurban, nanti khan tangannya bau kambing tujuh hari tujuh malam....  

Tetapi terlepas dari apapun motivasi pak Osro bersedia rumahnya dipakai untuk mengurusi daging kurban kita yang muslim, baik kiranya mengapresiasi sedikit atas apa yang dilakukan pak Osro dimana pada saat yang sama tak seorangpun yang mengaku muslim ditempat itu tergerak untuk menawarkan rumahnya menjadi tempat pembagian daging kurban.

Ahssuuuudahlah.....saya mau masak tongseng dulu. Eh....sowan Eyang dulu. Bumbu tongseng....enter.....
 Voila! This is it!!!


Sabtu, 21 Mei 2016

BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME



BAPAKKU DAN HURU-HARA HANTU KOMUNISME

Menyoal huru-hara gosip kebangkitan  kominus..eh komunis akhir akhir ini saya jadi ingat almarhum Bapak saya. Beliau bukan siapa-siapa sih, cuma pensiunan kepala sekolah dasar era Orba. Sedikit yang saya ingat tentang hubungan paham kiri ini dengan Bapak saya karena pada saat itu saya masih terlalu muda untuk tahu apa ini apa itu. Dari sedikit ini ada hal yang kemudian saya temukan hari-hari terakhir ini.

Siapa sebenarnya Bapak saya? (*seperti judul sinetron.... Bapak saya adalah generasi yang lahir tahun 30an. Otomatis selama hidupnya telah mengalami banyak hal mulai WW 1, WW 2 hingga pendudukan Jepang dan jaman Orla lalu Orba, serta sedikit jaman Reformasi.  Bapak lulusan sekolah guru setara SMA dan kemudian mengabdikan diri mengajar di sekolah dasar hingga sekitar tahun 1984 ketika saya mulai masuk SD. Sebelum saya sekolah saya sering ikut Bapak ke sekolah dan berlagak sotoy masuk ke kelas-kelas dimana Bapak mengajar sehingga saya bisa baca tulis sebelum waktunya. Menurut tetangga, saya masih dalam gendongan ketika dengan lantang saya mengucapkan sila-sila Pancasila dengan runtut. (*Lhoooo...kurang nasionalis bagaimana saya ini! Belum sekolah saja sudah hafal Pancasila.) Enough!!  Baiklah, kembali ke Bapak.  Bapak orangnya keras, kalau beliau bilang A ya harus A, kalau nggak ya salah. Sifat itulah yang kemudian hari membuat saya menjadi anak yang paling bandel karena saya suka membantah hal yang saya anggap kurang benar. (*Maap ya Pak.... ) Tetapi Bapak saya rupanya tidak sekaku yang saya pikirkan, buktinya saya selalu diajar untuk membaca apapun, kecuali satu itu tadi hal-hal yang berbau kiri. Bapak saya bukan orang relijius, beliau lebih ke Abangan atau bahkan Kejawen. Tetapi entah kenapa saya tidak diperbolehkan tahu tentang hal itu. Suatu hari ketika saya sudah agak besar, mungkin SD atau SMP, saya bertanya tentang apa itu PKI dan kenapa orang-orang tidak suka. Ini akibat pemutaran film propaganda itu tentunya, kala itu darimana saya tahu tentang PKI kalau tidak dari film yang iewh beud itu. Plus dari pelajaran PSPB juga sih... Mendengar pertanyaan itu Bapak langsung membentak, “Heh! Ra pareng omong kui. Cah cilik ra entuk!!” (Ndak boleh membicarakan itu. Kamu masih kecil belum boleh.) Bukan jawaban yang saya dapat malah bentakan deeeh..... Tetapi namanya juga masih anak-anak, lupalah saya sebentar saja dengan pertanyaan itu dan kembali saya dengan dunia kanak-kanak saya. Ingat lagi ketika pelajaran PSPB atau sejarah disekolah, tetapi saya tidak berani bertanya kepada siapapun karena 3 huruf itu haram hukumnya dibahas kala itu. Guru-guru sejarah saya juga bukan referensi yang recommended karena maunya kita cuma disuruh hafal  aja. Akibat film itu juga saya sempat menyenandungkan lagu Gendjer-Gendjer dan bertanya lagu apa itu ke Bapak saya. Lagi-lagi saya dibentak tanpa ada jawaban. Baiklah..... lupakan. Sampai akhir hayatnya Bapak tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. 

Ketika saya sudah berumur seperti sekarang ini, baru satu persatu bisa saya cerna mengapa tidak boleh ini tidak boleh itu. Bapak saya adalah PNS yang pada masa itu adalah kaki tangan pemerintah. Mungkin Bapak takut dengan rezim saat itu sehingga anak-anaknya tidak boleh sedikitpun bersentuhan dengan hal-hal kiri kalau tidak ingin dapat masalah. Pernah suatu kali ketika Pemilu, saya masih SMA, saya tanya Bapak siapa pemenangnya. Bapak jawab partai yang warna kuning itu. Saya bilang kok itu terus sih...bosen. Langsung saja disahut Bapak, “Heh bocah, cang***mu! Ojo banter-banter!” (Heh jaga mulutmu Nak, jangan keras-keras.) Oh, OK. Bapak rupanya takut anaknya yang cantik ini kena masalah. Saat itu semua PNS seperti Bapak meskipun sudah pensiun wajib memilih partai berpohon besar itu, kalau tidak entah apa yang terjadi katanya. (*Itu duluuuuuu.....kalo sekarang gak tau yaaaaaa.... )

Juga ketika Bapak memasukkan saya ke SD Islam (Madrasah) yang pada saat itu belum begitu booming seperti saat ini, baru-baru ini saja terjawab. Bapak merasa beliau tidak mungkin dan bahkan tidak mampu mengajarkan agama kepada saya maka sekolah lah jawaban satu-satunya yang bisa melakukannya. Intinya Bapak tidak mau saya menjadi Abangan sepertinya.  Ini adalah satu keputusan terbaik dari Bapak untuk saya yang berakibat sangat baik sampai detik ini. Saya paham agama yang saya anut sekaligus menjalankan ajarannya, serta saya bisa membaca kitab suci Al Qur’an tanpa harus kursus.  Jawaban lain yang saya temukan adalah bahwa Bapak berpikir saya bisa terbebas dari mempelajari hal-hal terlarang (*kiri) kalau saya belajar di sekolah ini. Betul. Saat itu seperti umumnya anak-anak sekarang yang sekolah di SDIT-SDIT, saya juga relijius dan merasa agama lain itu ‘sudahlah ndak usah dipikirin’. Tetapi bedanya dengan anak-anak sekarang, saat itu guru-guru saya tidak mengajari untuk  mengkafirkan yang lain. Jaman dulu belum trendy kali ya mengkafir-kafirkan orang lain. Lha kalo sudah trend, bisa-bisa saya sendiri bilang,” Pak, Bapak kafir lho, ndak pernah sholat.” Hahahaha.... (*Maap ya Pak.... )  Bapak saya mungkin benar saya tidak ter-expose hal-hal menakutkan itu.   Akibat yang cukup saya rasakan sebenarnya adalah timbulnya keseimbangan dalam melihat suatu isu, tidak terlalu relijius sekaligus tidak terlalu kiri. Masalah berapa persen kekanan dan berapa persen kekiri itu urusan belakangan. Hahaha....  Bukankah melihat pemandangan itu akan lebih indah kalau kita ada disisi lain?   Tetapi Bapak mungkin lupa bahwa suatu saat saya pasti akan ingin tahu. Bapak saya yang jadul mungkin tidak sadar bahwa jaman akan berubah seperti sekarang dimana yang biasa menjadi tidak biasa.  Terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul jauh setelah saya lulus dari madrasah. Apapun alasan Bapak menaruh saya di SD itu yang jelas tujuannya baik. Itu saja. Meskipun pada akhirnya ketakutannya akan terbukti juga.

Tahun 2015 kalau tidak salah, ada film berjudul Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film tentang pahlawan HOS Tjokroaminoto. Baru saat itu saya mencari tahu siapa sebenarnya beliau ini. Baca...baca...baca... ternyata beliau lahir di daerah Madiun, sama seperti saya. Karena beliau adalah pahlawan besar,itulah kenapa namanya dijadikan salah satu jalan utama di kota Madiun. Tetapi nama saya tidak...(*Opo sih iki?? Hahaha....)   Kembali ke pertikaian saya dan Bapak... Bapak mungkin terlewat dengan sejarah yang satu ini, makanya saya selalu diarahkan untuk menjadi santri, tetapi gagal. HOS Tjokroaminoto menulis buku dengan judul Islam dan Sosialisme. Lhoo...Pak.. gimana? Buku ini sangat bagus karena berisi bahwasanya Islam dan sosialisme itu tidak bertentangan, malahan ada hal-hal dari sosialisme yang sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada dalam ajaran Islam. Misalnya tentang persamaan, dalam bukunya HOS Tjokroaminoto menuliskan bahwa dalam pergaulan hidup bersama diantara mereka tidak ada perbedaan derajat dan tidak ada pula sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan kelas. Bukankah dalam ajaran sosialisme dan komunisme ada juga tentang penghapusan kelas? Jadi kalau Bapak saya takut dengan hal-hal kiri, mungkin Bapak belum pernah baca buku ini. (*Ya iyalah....mana berani jaman Orba baca buku beginian? Bisa tiba-tiba lenyap dong...) Terlepas dari apa yang mendasari Bapak saya melarang saya mendekati hal-hal yang bernuansa kiri, yang jelas apa yang diketahui Bapak saya tentang itu masih merupakan misteri bagi saya hingga detik ini. Saya tidak bisa menemukan buku-buku apa saja yang Bapak saya pernah baca karena pernah suatu saat saya mendapati Bapak membakar buku.(* Wha!....kok kedengarannya seperti trend baru-baru ini...bakar-bakaran buku. Bakar sosis ikan enak...buku dibakar..bikin batuk tau! )   Entah buku apa saja yang dibakar saat itu, tetapi yang jelas setelah Bapak meninggal hanya buku-buku Primbon Jawa Adammakna yang tertinggal di lemari. (*Kamu cocoknya kerja di air.... ikan kaliii.... )


Ketakutan Bapak saya mungkin sama dengan ketakutan yang muncul akhir-akhir ini. Sama-sama kurang  update bahwa paham itu sebenarnya sudah bangkrut dan tidak mungkin bangkit lagi. Bagaimana mungkin komunisme  mau bangkit, kalau anak-anak  mudanya berkoar-koar kiri di sosmed sambil seharian mengantri mengular disebuah gerai donat disebuah mall produk kapitalis? (*kapitalis ki opo to??  ) Selama mall masih jaya dan gerai makanan kekinian menggurita, saya yakin komunisme akan sulit bangkit. Bayangkan saja beratus-raus gerai donat tapi dengan rasa yang sama, beli juga gak boleh lebih banyak dari yang lain. Mau sama rata sama rasa?


Bapak saya mungkin di alam sana agak deg-degan juga melihat saya mulai membaca-baca dan mulai mencari-cari tahu jawaban atas pertanyaan yang tak pernah dijawabnya saat itu. Tenang, Pak.... anakmu ini cuma sekedar baca-baca. Karir anakmu ini tetap aman, karena bikin risoles mayo itu gak perlu pakai palu dan arit.

 Mayonaise itu putih, Bapak.  Bukan merah..kalo merah yang spicy kakak....#eh, Bapak.


(biar kelihatan serius... Referensi: Islam dan Komunisme, HOS Tjokroaminoto)

Sabtu, 16 April 2016

N A M A



NAMA

Suatu Sabtu sore, saya bersama ibu X dan ibu H berangkat ke arisan PKK bersama-sama. Saya dan ibu X sudah bertetangga beberapa saat, tetapi ibu H pendatang baru.  Sebagai orang baru, Ibu H mengenalkan dirinya dan menanyakan nama kami.  “Saya Ibu H, panjenengan asmanipun sinten?” – ibu berdua namanya siapa?
Ibu X bilang, “Saya bu X (nama suaminya) dan ini Ibu Yudhi (dia sebut nama suami saya)”.
C’moon.. saya bisa ngomong sendiri Bu, gak usah diwakili. Spontan saya timpali, “Maaf nama saya Umi. Saya lebih suka dipanggil dengan nama saya sendiri.”
Ibu X gak mau kalah,”Kan menghormati suami, Bu.”
” Maaf Bu, saya sudah terbiasa dipanggil dengan nama saya sendiri. Bapak saya susah-susah kasih nama bagus masak gak dipakai.”  Saya jawab dengan bercanda padahal sebenarnya agak dongkol juga karena si bu X ini memang orangnya agak sotoy sih... hahahaha....*outoftopic.

Ini bukan kali pertama buat saya mengalami perdebatan masalah nama. Jauh hari ketika saya pertama kalinya ikut kumpulan ibu-ibu PKK di perumahan sebelumnya, saya juga didebat hal yang sama. Saat itu juga saya sempat menuliskannya di medsos tetapi kemudian terhapus ketika bersih-bersih akun.  Sampai sekarang saya kadang masih belum mengerti juga mengapa perempuan harus kehilangan nama sendiri ketika sudah bersuami. 


Saya yakin semua orang tua menamai anak-anak perempuan mereka dengan nama-nama yang cantik dan indah. Tetapi sayangnya nama-nama cantik itu tak akan dikenali lagi ketika para perempuan telah memutuskan untuk menikah.  Memang tidak semua  kehilangan nama, tetapi ada kondisi-kondisi tertentu yang bisa mempertahankan eksistensi  kita sebagai individu yang bernama – tidak sekedar numpang nama suami.  Salah satunya adalah ketika kita perempuan punya profesi, apapun, tidak hanya yang formal.  Misalnya Ibu Rita bekerja sebagai guru, ia tetap akan dipanggil Ibu Rita, bukan dengan  nama suaminya.  Begitu pula dengan mereka yang bekerja sebagai pedagang, Warung Makan Mbok Sri contohnya. Meskipun Mbok Sri bekerja disektor non-formal, tetap ia eksis sebagai individu bernama.
Mindset. Bagi saya, faktor dari dalam ini lebih sangat berpengaruh terhadap eksistensi kita sebagai perempuan merdeka dan bernama. Menikah adalah suatu pilihan untuk hidup bersama orang pilihan kita tetapi bukan berarti menyerahkan segalanya dan cuma “nggandul” suami saja. Sampai-sampai rela menghilangkan karakter pribadi. Menurut saya, nama adalah karakter pribadi. Orang mengenal  dan mengingat kita sebagai “orang- yang- itu”adalah karena nama.  Contohnya, dilingkungan saya ada beberapa yang dipanggil ibu Agus. Kalau misalnya sedang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan salah satu ibu Agus tadi masih diperlukan informasi tambahan, terlalu banyak bahkan. Ibu Agus yang rumahnya nomer A000 yang suaminya kerja di NNN, itu lho yang rambutnya begini... Khan..akhirnya juga membutuhkan deskripsi individual. Kalau saja si Ibu Agus- Ibu Agus ini menggunakan nama mereka sendiri, pastinya lebih mudah mengenali. Bu Sinta itu bukan bu Lina, beda lagi dengan bu Siti. Mudah khan? Tetapi kembali lagi kepada mindset individu pemilik nama. Boleh-boleh saja sih bangga dengan suami masing-masing ---masak bangga dengan suami tetangga?.... tetapi jangan sampai kita perempuan membunuh karakter pribadi. Ingat, masing-masing dari kita dilahirkan istimewa, tidak ada yang seragam dengan yang lain bahkan selembar rambut pun. Sesama perempuan saja beda-beda, apalagi ini dengan suami kita yang pasti beda gender. Nama mengacu kepada gender. Meskipun dengan embel-embel Ibu, tetap saja lebih afdol menggunakan nama sendiri. Ibu Umi bukan Ibu Yudhi. 


Ibu adalah sebutan untuk perempuan. Lebih pas kalau di pakai dengan nama perempuan. Kalau tidak percaya lihat saja cara penyebutan ibu negara misalnya,  Ibu Iriana Joko Widodo. Nama asli beliau masih disebutkan.  Masih belum paham juga? Ibu Kartini? Cut Nya’ Dien? Dewi Sartika? Bukankah mereka gemilang dengan nama mereka masing-masing?  Cut Nya’ Dien bersuami seorang pejuang yang hebat, tetapi beliau tidak memakai nama suaminya, khan? 


Culture? Saya kurang tahu apakah kebiasaan menggunakan nama suami itu asli dari budaya kita atau nyontek orang Barat. Western people mempunyai kebiasaan menggunakan sebutan Mr & Mrs + family name, bisa nama keluarga suami kalau sudah menikah, misalnya Mrs. Smith. Para perempuan ini akan muncul sebagai individu merdeka hanya ketika mengisi formulir. Mau tidak mau mereka harus menyebutkan nama lahir pemberian orang tua. Lhah khan? Masih butuh nama sendiri to?

Menghormati suami? Well, terlalu dangkal saya bilang. Dalam ajaran agama yang saya anut setahu saya tidak ada yang menyebutkan aturan untuk menggunakan nama suami sebagai salah satu cara menghormatinya. Jadi saya santai saja karena saya tidak melanggar ajaran agama karena bersikeras menggunakan nama sendiri. Malah saya pernah baca, memanggil Papah/ Mamah, Pak/ Bu, Umi/ Abi kepada pasangan kita saja kurang pas artinya. Kita panggil Papah ke ayah kita khan? Masak suami kita selevel ayah kita? Tapi sayangnya adek-adek yang lagi pacaran sudah panggil Papah Mamah ke pasangannya.... *yaelah ....jadian aja baru 3 hari udah papah mamah...paling minggu depan udah putus.


Bagi sebagian orang mungkin pendapat saya ini agak berlebihan dan nyinyir. Biar saja. Saya hanya merasa tidak nyaman ketika karakter pribadi saya serasa dimatikan begitu saja atas nama ikatan pernikahan. Buat saya nama adalah unsur karakter pribadi. Semakin sering nama saya tidak disebut semakin cepat pula orang melupakan siapa saya dan pada akhirnya adalah character assassination. Lalu apa bedanya dengan tahanan yang dikenali dari nomornya saja? Dibilang cuma mau eksis, yaaa...boleh juga. Ibu-ibu lain ngeksis dengan selfie, saya dengan membiasakan memakai nama sendiri ketika bersosialisasi dengan tetangga. 


Sebenarnya dari sekian baris kegalauan saya diatas, hanya satu yang paling saya takutkan. Kalau tidak membiasakan memaki nama sendiri, nama perempuan kita  hanya muncul sesekali  saja ketika anak kita membuka rekening di bank. Itupun kalau ingat. Siapa nama gadis ibu kandung anda? Hanya untuk mengingat nama ibu saja harus buka rekening. Ngeri bukan?

Jumat, 14 Agustus 2015

Omong Kopi



Omong  Kopi
A cup of coffee a day keeps the doctors away.
(Syarat dan ketentuan berlaku)

Kopi telah menjadi bagian dari hidup saya sejak lama, bahkan sejak saya masih kanak-kanak.  Bukan tanpa cerita kalau saya sampai sekarang sangat menggemari minuman berwarna hitam dengan rasa pahit dan beraroma harum itu.

Cerita kopi saya dimulai ketika saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1983an, ketika saya sudah paham dolan dengan teman. Sayangnya pada saat itu tidak banyak anak seusia saya  disekitaran rumah karena beberapa bagian kampung saya masih berupa sawah, tegalan, dan tanah kosong. Jadi saya lebih banyak dirumah saja. Tetapi satu dua kali ikut ngelayap juga dengan kakak laki-laki saya. Sampai suatu saat kenal dengan anak pemilik warung belakang rumah yang seusia kakak saya. Mereka adalah dua gadis ABG pada saat itu. Karena saya miskin teman perempuan, maka saya jadi sering bermain dengan mbak Wati dan mbak Sri. Mereka berdua sangat rajin. Setiap hari bergantian membantu orang tua mereka di warung. Mbak Wati tugasnya menggoreng cemilan semacam tempe, tahu, ketela, pisang dan lain-lain. Sementara mbak Sri yang lebih muda bertugas membuatkan minuman membantu si bapak, Mbah Kenya, untuk pengunjung warung.  Lek Pithi, ibu mereka  berada di garis depan melayani pelanggan yang makan ditempat atau yang pesan bungkus.  Makanan utama di warung itu adalah  khas Madiun, nasi pecel.  Menu sampingannya adalah cemilan gorengan. Warung mungil itu selalu padat dengan pembeli setiap hari mulai pukul 5:30an, dan seingat saya akan selalu buka sampai sore tetapi tanpa nasi pecel, hanya kopi dan cemilan.
gilingan kopi jadoel
Warung kecil bercat biru itu terletak dibelakang  rumah saya dan berbatasan langsung dengan rel kereta pengangkut tebu ke pabrik gula. Sementara rumah mbah Kenya berada agak jauh dibelakang warung dekat diantara rumah saya dan warungnya.  Rumah itu kecil, berdinding bambu dan berlantai tanah, tetapi saya suka berlama-lama disana untuk ikut –ikutan ngobrol dengan mbak-mbak itu, padahal juga saya belum paham apa obrolan mereka.  Kalau saya sudah mulai dicuekin karena mereka asyik dengan teman-teman sebayanya, saya mulai bergerilya mencari kegiatan sendiri.  Satu benda yang sangat menarik perhatian saya ketika bergerilya adalah  sebuah alat penggiling kopi!!! Alat penggiling kopi yang sudah cukup tua, terbuat dari besi baja yang cukup keras dan berat. Warnanya gelap sesuai usianya, mungkin lebih tua daripada saya pada saat itu.  bentuknya mirip dengan alat penggiling kopi tradisional jaman sekarang, tetapi lebih besar dengan sebuah bagian berbentuk corong lebar dibagian atas, sepasang roda besi bergerigi atau apalah itu didalamnya yang bergerak menggerus biji kopi, serta sebuah tuas penggerak yang dipakai untuk memutar penggiling. Bagian terakhir inilah yang sangat menarik buat saya. Saya selalu bermain dengan tuas itu, berpura-pura menggiling kopi. Kadang-kadang masih ada sisa bubuk kopi yang keluar dari penggiling itu. Saya mengambilnya untuk bermain pasaran. Kalaupun tidak ingin bermain pasaran, saya cuma mengambili bubuk kopi itu dan mencium-cium aroma harumnya sambil mondar- mandir disekitar mbak-mbak yang lagi ngerumpi....(*kasihan anak kecil dicuekin...)

Karena mbak Wati dan mbak Sri harus membantu orang tua mereka, kadang-kadang mereka juga tidak sempat hang out di rumah mereka seperti biasanya. Tetapi tetap saja setiap sore saya main kerumah mereka, kadang juga diwarungnya.  Ketika mbak-mbak sedang sibuk, sasaran saya adalah bapak mereka, Mbah Kenya.  Si Bapak yang asli Ponorogo ini berperawakan kekar khas warok dan berkulit gelap, tetapi seingat saya tidak berkumis sebagaimana para warok. Meskipun begitu si bapak cukup ramah dengan anak-anak. Kalau saya tidak punya teman bermain, saya suka menungguinya menggiling kopi disore hari.  Sebelum digiling, kopi disangrai dulu oleh Lek Pithi atau si mbak.   Entahlah, saya juga menunggui proses yang panas ini, didapur dengan tungku berbahan bakar kayu.  Biji kopi tidak boleh dibiarkan diam karena bisa gosong, jadi harus terus dibolak-balik sampai mencapai kematangan yang dimaksud supaya tidak pahit dan berbau sangit.  Setelah disangrai, kopi dianginanginkan di sebuah tampah sampai cukup dingin.  Satu dua kali saya iseng menggigit biji kopi yang telah disangrai.....weeek....pahit bow! Hahahaha.... Lalu setelah itu,  bagian yang paling saya suka, menggiling! Yippee... Mbah Kenya dengan kostum kebesarannya, celana warok hitam dan kaos singlet putih, segera nangkring di singgasananya, sebuah dingklik tinggi dibelakang penggiling kopi. Dengan sigap, ia mengisikan biji-biji kopi yang telah disangrai kemulut penggiling dan mulailah ia memutar tuas penggerak gilingan. Suara biji kopi tergerus roda besi ini cukup menarik buat saya, seperti musik. Aroma kopi yang freshly roasted membuat fly... (*hahaha...lebay ) Saya betah sekali berlama-lama menunggui mbah Kenya menggiling kopi. Kadang saya iseng ikut-ikutan memutar tuasnya, yang ternyata berat karena penggilingnya berisi biji kopi.  Bubuk kopi yang keluar dari penggiling tidak langsung bisa dibuat kopi tetapi masih harus diayak lagi karena masih sedikit kasar. Sisa ayakan di giling lagi, demikian beberapa kali dilakukan sampai halus semua. Sungguh proses yang panjang untuk secangkir kopi.
sarapan ideal (foto koleksi pribadi)
Didaerah Madiun dan sekitarnya, budaya ngopi pagi cukup kuat.  Hampir setiap laki-laki berusia produktif, selalu menyempatkan diri ngopi diwarung kopi di pagi hari sekedar untuk bertegur sapa dan bertukar cerita dengan tetangga atau sekalian sarapan juga.  Saya lahir dan tumbuh besar di Madiun, kota kecil hampir di ujung barat wilayah Jawa Timur.  Saya menyaksikan kebiasaan ini hampir setiap pagi sejak saya harus bisa membeli sarapan sendiri (*maksudnya sudah bisa disuruh beli-beli).  Saya selalu membeli sarapan nasi pecel diwarung mbah Kenya belakang rumah saya. Sambil mengantri, saya secara tidak sadar mengamati kebiasaan minum kopi bapak-bapak tetangga saya. Sambil asyik riuh bercerita, mereka meneguk secangkir kecil kopi hitam hasil gilingan Mbah Kenya sore sebelumnya dengan disertai gangguan dari saya ...hahahaha... Saya dengan seragam merah putih dengan patuh mengantri di dingklik panjang disamping lek Pithi yang dengan terampil meracik nasi pecel dan membungkusnya dengan daun pisang segar. Selama masa pengantrian inilah mungkin secara tidak sadar saya menyerap kebiasaan minum kopi orang-orang disekitar saya. Mungkin pada saat itu saya sendiri belum minum kopi, tetapi saya sudah sangat familiar dengan aroma dan proses pembuatan bubuk kopi secara tradisional.  Keluarga saya pun bukan coffee drinker, bapak ibu saya adalah peminum teh.  Bapak saya mungkin adalah pengecualian dari bapak-bapak yang ada disekitaran rumah yang ngopi tiap pagi. Bapak saya tidak pernah nongkrong di warung, apapun. Entah saya tidak pernah menanyakan alasannya.  Mungkin karena bapak saya dulunya adalah guru yang harus berangkat ke sekolah pagi-pagi sehingga tidak sempat ngopi-ngopi.  Tetapi kebiasaan ngopi-ngopi ini dilakukan dua kakak laki-laki saya. Setiap pagi dan sore  mereka nongkrong diwarung kopi untuk sekedar ngobrol dengan teman sejawat mereka. Sayangnya saya perempuan jadi saya tidak bisa ikut mereka. Bukannya dilarang sih, cuma jarang ada perempuan yang ikut nimbrung di tongkrongan para lelaki di warung kopi. Jadi hanya saya mengamati kebiasaaan ini dari jauh saja.  Kebiasaan ngopi pagi itu masih berlangsung sampai hari ini dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Madiun dan sekitarnya, meskipun mungkin sudah jarang yang melakukan proses panjang untuk mengolah kopi seperti mbah Kenya dulu.  Rupanya budaya kopi instan tidak begitu berpengaruh dengan budaya nongkrong kami. :D Apapun kopinya, yang penting bisa ngopi pagi bersama kawan.

Saya sendiri tidak begitu ingat kapan pertama kalinya saya benar-benar meminum kopi. Seingat saya hanya satu dua kali kadang ibu saya membuat segelas kopi pagi-pagi dan saya ikut meminumnya. Awal pengalaman minum kopi saya sebenarnya  berhubungan dengan perlawanan saya terhadap hal-hal berbau klenik. Whaa???? Betul. Bapak ibu saya orang Jawa asli yang masih mempraktekkan tradisi leluhur. Contohnya setiap malam Jumat selalu membeli bunga untuk di taruh di gelas berisi air, entah untuk apa saya tidak tahu. Dan yang paling dipatuhi adalah membuat sesajen ketika ada hajatan. Di keluarga saya sering ada kenduren/ kenduri/ selamatan untuk memperingati hari meninggalnya kakek nenek saya atau sekedar syukuran. Saya yang pada saat itu sekolah di madrasah, mendapat pelajaran bahwa sesajen dan sebangsanya itu tidak boleh. Saya masih ingusan, kalau melawan frontal pasti akan dimarahi orang serumah. Maka saya memutar akal bagaimana membuat mereka sadar bahwa sajen itu tidak perlu dan hanya buang-buang makanan. Akhirnya saya dapat ide. Suatu ketika ada hajatan peringatan meninggalnya kakek atau nenek saya lupa. Seperti biasa, satu tampah sajen telah siap, berisi nasi beserta lauk pauk komplit, kopi, teh, rokok klobot, dan bunga.  Sajen ini biasanya diletakkan dikamar bapak, diatas buffet. Ketika semua orang, tamu undangan dan keluarga saya,  berkumpul untuk berdoa di ruang tengah bersama pak modin, saya menyelinap ke kamar bapak. Karena saya pendek, saya memanjat kursi untuk bisa meraih tampah sajen. Saya bingung mau pilih apa, kalau nasi pasti makannya lama, belum selesai bisa-bisa ketahuan nih... akhirnya saya pilih minumannya saja. Saya coba teh...bweeeh!!!!!....teh tubruk tanpa gula!!! Saya batal meminumnya. Akhirnya saya ganti coba minum kopi...aaaah manis....langsung tenggak habis! Pas habis, pas doa selesai, orang-orang lalu sibuk membagi berkat (*makanan untuk dibawa pulang) sayapun selesai dengan misi saya.  Saya pura-pura ikut sibuk biar perbuatan saya tidak ketahuan. Ketika semua selesai, rumah sudah sepi, kesibukan sudah berhenti, barulah bapak saya sadar, gelas tehnya tutupnya tidak ditempat dan kopinya habis ! Bapak marah sih...tetapi saya bilang kan itu diminum oleh Mbah. Hahahaha....entah bapak saya jadi marah betulan atau tidak mendengar jawaban saya.... Itu awal pengalaman saya menginjeksikan kafein kedalam darah saya. Selanjutnya berita si Mbah yang pulang setiap hajatan untuk minum kopi tersebar sampai ke tukang masak yang sering membantu dirumah. Lek Yah yang selalu menyiapkan ubo rampe sajen pun selalu menyiapkan kopi manis untuk si “Mbah”. Si “Mbah” ini pun gembira dan selalu menghabiskan kopi yang disediakan. Hingga suatu saat muncul mbah yang lain, dengan misi yang berbeda, yang tak lain adalah kakak laki-laki saya. Misinya adalah tumpas habis ayam ingkung.... wah kalau ini Mbah yang mainstream.
Saat ini, kalau saya harus transfusi darah, mungkin akan sama sulitnya dengan orang-orang dengan darah bertype Rh-(negatif).  Orang dengan darah Rh- tidak bisa menerima transfusi dari sembarang darah, harus sama-sama Rh-. Begitu pula dengan saya, mungkin saya harus mencari darah Caffeine+, kafein positif,  karena 50% plasma darah saya mengandung kafein :D

(Gambar gilingan kopi dari http://kedaibarangantik.blogspot.com/
(Gambar sesajen dari  http://patke.heck.in/makna-simbolik-di-balik-sesaji.xhtml)