Total Tayangan Halaman

Jumat, 20 Maret 2015

KUCING ATAU KAMBING? (Part. 1)

KUCING ATAU KAMBING? (Part. 1)

Suatu pagi di lingkungan perumahan baru.

Mrs. X:  Saking pundi Bu? (darimana, Bu?)
Saya:  Niki saking mendet laundry. Nembe santai2 tho bu? (ambil laundry, lagi santai ya?
Mrs. X:  Nggih, niki dhedhe mumpung panas. Lha putrane pundi?(iya, mumpung panas ini berjemur. anaknya mana?)
Saya: hehehe...dereng enten. (belum ada)
Mrs. X: ooo...pun dangu anggenipun nikah? (sudah lama menikah?)
Saya: nggih ...lumayan.
Mrs. X: lha nggih, kok dereng gadah putra. Malah putrane “KUCING” (lha iya ...masak belum punya anak sih? malah anaknya kucing)
Saya: (*whaaaa???!!) (spontan saya meraba pantat....Alhamdulillah, ekor saya tidak terlihat). (dari jendela Miko, si bos besar kucing saya, menyeringai jahat, hehehe...kamu ketahuan)(*)

Satu contoh nyata ketika memelihara seekor binatang dianggap sebuah kompensasi karena tidak memiliki ini dan itu, anak misalnya.  Bagi saya memelihara hewan peliharaan adalah sebuah hubungan kasih sayang antar makhluk hidup dari spesies yang berbeda, bukan sebagai pengganti sesuatu.  Saya memaklumi reaksi orang seperti Mrs. X diatas ketika melihat hubungan saya dengan hewan-hewan peliharaan saya karena dia sendiri jijik dengan hewan dan bahkan tanamanpun dia hampir tidak punya.  Suatu kali Mrs.X ini terkekeh-kekeh ketika tahu saya menamai 4 ekor kucing saya, Miko, Ciki, Cabi dan Iyeng (RIP).  Betapa dia geli bahwa sempat-sempatnya saya menamai kucing-kucing saya. Lebih heran lagi, ketika dia bertanya tentang bagaimana cara buang air kucing-kucing saya karena selalu berada di dalam rumah. Saya bilang ada wadah khusus  dan ada yang bisa langsung pipis di kloset. Tidak percaya dia.

Saya sering terlihat berbicara dengan kucing-kucing saya. Yes, I do talk to my pets.  Entah para kucing itu paham atau tidak, saya tetap saja berbicara pada mereka. Orang yang melihat pasti menganggap saya “gendheng”. Biar saja. Lebih edan mana dengan orang yang suka menyiksa binatang? Kadang saya merasa bahwa orang melihat saya sebagai orang aneh yang kurang kerjaan atau orang yang kasihan banget karena gak punya anak blaa...bla...bla.... Sedih juga sih dianggap begitu. Tetapi ketika saya sesekali bertemu dengan mereka yang dengan sukarela memelihara kucing atau anjing terlantar, saya tidak merasa sendirian lagi. Masih banyak diluar sana orang-orang hebat yang berhati mulia karena mau menolong kucing atau anjing terlantar tanpa takut di cap “gendheng” tadi.  Kalaupun saya juga dianggap “gendheng”, paling tidak saya tidak “gendheng” sendirian.  :D   
Pagi tadi saya bertemu dengan seorang “gendheng” seperti saya di klinik hewan.  Sebelumnya saya harus melarikan Miko ke klinik pagi ini karena seharian kemarin muntah dan tidak mau makan apapun.  Ketika keluar dari ruang periksa, saya melihat seorang ibu setengah baya dengan putrinya seumuran mahasiswa.  Si ibu memangku kucing domestik yang cukup besar dan terlihat kumal. Saya mendekatinya dan bertanya-tanya. Maklum sesama “gendheng” :D.  (note: Saya hanya memasukkan penyayang kucing domestik saja sebagai orang sejenis saya, pecinta kucing import gak masuk kategori karena orientasinya beda :D ) Lanjut... Kata si ibu itu kucing cuma kucing liar yang suka datang kerumah numpang makan tidur selama beberapa bulan terakhir.  Karena tadi pagi terlihat sakit dan perutnya membesar  lalu si ibu berniat membawanya ke klinik.  Bagi saya, inilah penyayang kucing.  Mungkin orang lain berpikir buat apa mengurusi kucing liar, mati mbok ya biar.... Tapi si ibu ini bukan orang semacam itu. Dia rela memangku kucing kumal sebesar macan dari rumahnya yang lumayan jauh ke klinik. Sungguh terharu melihat si kucing yang begitu beruntung mendapat tempat dihati si ibu dan si mbak tadi.  Cukup lama saya bercakap-cakap denga mereka berdua dan berbagi cara membersihkan bulu si kucing biar terlihat agak ganteng.  Karena si mbak memuji-muji Miko, kok bersih , ganteng lagi. Errrrr..... Sampai dikira kucing import pula. Spontan Miko langsung sembuh dari iritasi lambungnya karena dipuji si mbak......  

Ketika mampir ke sebuah petshop untuk membeli dryfood, saya bertemu juga dengan malaikat yang lain lagi. Yang ini bapak-bapak dengan seragam PNS.  Padahal masih termasuk jam kerja, si bapak berani-beraninya ngelayap ke petshop cuma untuk membeli dryfood dan obat kutu buat kucingnya.  Ketika tahu saya membawa kucing domestik, si bapak malah bertanya bagaimana cara membersihkan kutu kucing karena ternyata kucing si bapak domestik juga. Entahlah, saya lebih bisa berbagi banyak dengan sesama penyayang kucing domestik daripada pemilik kucing ras. Yaaa...mungkin sesama penderita “gendheng” tadi.  :D 
Jujur saja, saya kadang masih berusaha menghindari percakapan tentang hewan peliharaan saya dengan orang yang tidak suka dengan hewan. Percuma saja, namanya tidak suka ya sulit untuk paham kalau sebenarnya hewan itu juga bisa dilatih tertib.  Bahkan saya selalu berusaha tidak terlihat tetangga ketika harus membonceng keranjang rio berisi kucing untuk dibawa ke dokter hewan. Suatu ketika ketahuan juga oleh tetangga ketika pulang dari dokter hewan. Woooow langsung berceceran komentar tentang betapa mahalnya...sempat-sempatnya...kucing aja kok dibawa ke dokter segala...  Saya cuma “mrenges” saja.  Percuma dijelaskan. End of discussion. Kadang ingin juga memberi penjelasan bahwa memelihara hewan itu tidak sejijik yang mereka pikirkan, tapi...ya sudahlah.  Terlanjur sudah mereka membuat kucing-kucing jadi kambing hitam kekotoran rumah dan penyebab penyakit ini dan itu. 
Sayang dan cinta itu beda tipis. Sama-sama memberikan perhatian. Menyayangi hewan peliharaan berarti mau menerima hewan peliharaannya dalam kondisi apapun dan rela membelanjakan sebagian hartanya untuk mereka, seperti si ibu dengan kucing segede macan tadi.  Satu hal yang penting, penyayang hewan tidak akan pernah menjual hewan peliharaannya.
Penyayang kucing tidak akan merubah kucing-kucingnya menjadi kambing hitam hanya karena mendengar opini negatif tentang mereka. 
(Untukmu penyayang kucing dan anjing terlantar, YOU’RE ANGELS IN DISGUISE. Kalian malaikat yang tak terlihat. Lemah teles, Gusti Alloh sing bales. )

Rabu, 17 Desember 2014

We don’t read, do we?



We don’t read, do we?

Just this afternoon, I got annoyed by one of my students text message. She texted me whether presentation woud be today or some other days.  In fact, I had put a course outline right in her classroom.  Besides that, I had written there when the presentation would be in case that there would be this question.  Taadaaaaaa.... if you are scared of a thing, then it will exist.  What  I wondered was where was she when I loudly announced the D-day of the presentation.  She didn’t even ask her classmates about that, or perhaps her classmates didn’t pay attention either? Haaa...no idea. The fact shows that I did put and made a schedule there.  They didn’t read, and DON’T READ. Who’s to blame?  

My students didn’t read because they didn’t hear what I said or even they didn’t get what I meant by schedule.  Worst of all, they don’t read.  Past tense shows action in the past, but present  tense is for something happening at present and keeps going on until future time. If I say they don’t read, it means that they have a habit of not reading something.  In fact, they mostly asked about anything orally although there was a written guidance in which they were supposed to READ, not ASK.

Oral culture is to blame? Not necessary. Nothing to blame on but the human. Why don’t they change? (Errr...why don’t we change?) This runs in our veins,not just theirs.  Students are those who are in their school age and are often blamed of not reading. But we teachers don’t read either. Want a proof? Out of the blue, a teacher forgot her schedule to attend a class. As a result, somebody else had to take over the class for that session.  Her reason was that no one told her that she had to attend that class.  In fact, there was a very clear and present schedule that showed her duty to present in that class. Why didn’t she read I wondered.  What did she think of those words, numbers and such on the paper stuck on the wall? Decoration...well. PlaaaaaaK!!!!


So, I can conclude that WE DON’T READ and we are not better readers that our students. Happy with this? Don’t we feel guilty of asking our students to read while we ourselves don’t read?

Sabtu, 01 Maret 2014

SHARE



SHARE
share (v) 5 [T] to tell someone else about your thought s, feelings, ideas, etc.  {Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, third edition, 2008}


Semenjak kemunculan media social di internet , orang-orang dengan mudah share –membagikan—informasi kepada komunitasnya.  Diawali dengan chat room, milis, dan forum-forum di internet yang kemudian disambung dengan Friendster, Hi5, MySpace, Facebook, Tumblr, Twitter, Google+,  Instagram, dan yang sejenisnya, orang semakin mudah meluncurkan ide-idenya ke segala penjuru.  Pada awal munculnya media ini, orang berbagi informasi yang tidak mudah didapat di dunia nyata dengan kadar kebenaran yang cukup bisa dipercaya karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa mengakses internet. Informasinyapun menyebar hanya di seputaran komunitas tertentu.  Kalaupun pada akhirnya tersebar keluar dunia maya,  medianya akan berubah pula, misalnya secara lisan atau cetak dan reaksi orang-orang pun belum secepat sekarang—membagikannya ke orang lain lagi. 
Waktu berputar dengan cepat,  demikian pula perkembangan media social yang kemudian memunculkan sang fenomenal, Facebook.  Sejak adanya Facebook, orang jauh lebih mudah berkomunikasi dengan sesamanya yang jauh maupun dekat.  Suasana hati, menu makan siang, status pernikahan, doa-doa, sampai sumpah serapah pun dengan mudah di “share” ke public – teman pengguna akun.  Sampai suatu ketika beberapa orang yang terluang waktunya membuat tulisan atau gambar yang diragukan kebenarannya dan membagikannya kepada teman-temannya.  Mereka kemudian membaginya lagi kepada teman dalam lingkaran yang lain lagi, begitu seterusnya.  Sehingga kemudian tidak diketahui lagi siapa sebenarnya pembuat asli tulisan atau gambar yang telah tersebar tersebut karena mungkin salah satu mata rantai penyebar lupa mencantumkan darimana asal tulisan atau gambar tersebut.  Bahkan tidak mustahil tulisan dan gambar itu akan kembali lagi ke pemilik aslinya selama ia masih termasuk dalam mata rantai yang membentuk mata rantai yang lebih besar lagi. 
Pasca Facebook dan media social yang hanya bisa diakses dengan komputer, bermunculan media social berbasis internet yang tanpa harus bersentuhan dengan PC atau notebook.  Cukup dengan handphone dengan spesifikasi tertentu orang sudah bisa dengan mudah memiliki akun media social yang lebih mobile – bebas bergerak kemana-mana—misalnya  versi-versi mobile Facebook, Twitter, YM.  Ditambah dengan masuknya Blackberry dan Android, hampir semua orang memiliki akun media social minimal satu.  Sebagai akibatnya adalah arus penyebaran dan perputaran informasi semakin tidak terbendung lagi.  Segala macam informasi berupa kata-kata, tulisan, gambar, dan video dengan mudah menyebar ke lingkaran-lingkaran kelompok pengguna tanpa diminta.  Secara otomatis, sebagian penerima akan membagikannya  ke lingkaran kelompok yang lain dimana ia juga termasuk dalam lingkaran itu.  Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan berbagi karena itu adalah perilaku alami manusia.  Tetapi ketika ada satu bagian mata rantai lingkaran yang alpa, misalnya tidak mengerti benar apa isi informasi tersebut dan asal membagikannya, pastilah akan menimbulkan masalah bagi yang lain misalnya, kepanikan, keresahan, bahkan yang lebih buruk adalah perilaku anarkis yang spontan.  Emosi bisa tersulut tanpa harus bersentuhan fisik seperti jaman dahulu, lewat posting-an di media social pun jadilah. 
Yang menjadi masalah bukanlah media sosialnya atau siapa yang membagi informasi, tetapi kebenaran isi dari informasi tersebut.  Contoh mudah adalah ketika gunung Kelud meletus tanggal 14 February 2014 lalu, spontan di media social muncul posting-posting yang simpang siur, misalnya informasi gempa dan letusan setelah sekian jam bla…bla….bla… dengan menyertakan alamat situs abal-abal. Ada saja yang membagikannya kemana-mana tanpa memeriksa kebenaran keberadaan situs tersebut.  Begitu pula dengan sebuah posting yang memakai  angka ayat-ayat Al-Quran yang diotak-atik gathuk, yang katanya letusan Kelud telah diramalkan dalam Al-Quran sesuai dengan angka-angka tersebut.  Tanpa harus dicuplikkan semacam teka-teki numeric begitu, Al Quran sungguh telah memuat semuanya.  Sungguh ironis, disaat yang lain panik menyelamatkan diri ada saja yang sempat-sempatnya membuat dan membagikan hal yang sekiranya tidak perlu.  Positifnya adalah si pembuat mungkin ingin mengingatkan diri sendiri akan kuasa Alloh terhadap semua kejadian alam semesta dengan cara mengunggahnya ke media social supaya diamini banyak orang.  ( Bukannya Tuhan punya akun media social? Buktinya banyak orang berdoa dan meminta kepada Tuhan disitu.)  Teman si pembuat membaca dan setuju, dan membagikannya ke yang lain tanpa harus tahu dari siapa untuk apa, demikian tak ada habisnya. 
Adalah kita yang bisa mengendalikan dan menyaring arus informasi.  Seyogyanya dengan bijaksana kita pilah mana informasi yang perlu kita bagi atau kita simpan sendiri lalu buang.  Langkah pertama adalah baca dengan mata terbuka, cerna dengan logika, periksa sumbernya kalau ada. Kalau ternyata tidak perlu, buang saja. Jangan mudah percaya, banyak orang pintar otaknya tetapi mati hatinya.


Notes:
(Terinspirasi atas perdebatan saya dengan beberapa orang di grup Whatssap yang men-share perilaku pemusik hardcore yang disebut sesat dan memuja iblis dll.  Ketika saya bilang hendaknya kita bisa menyaring informasi yang kita terima dan tidak langsung membaginya kalau kita tidak tahu benar salahnya, si pengunggah marah-marah.  Tambah marah lagi ketika saya sarankan menyertakan sumbernya. Mungkin saja kata-kata yang saya pilih terlalu keras buat si pengunggah.  Salah sendiri bahas music hardcore...jelas “hard” pilihan kata-kata saya untuk mengomentarinya J.  Mohon maaf )

Sabtu, 30 November 2013

Ayo Berburu Diskon Akhir Tahun

(don’t) SHOP TILL YOU DROP

Menjelang akhir tahun begini biasanya pusat-pusat perbelanjaan menggelar diskon besar-besaran untuk produk apa saja. Wow… sungguh menggiurkan. Siapa yang tidak terpikat dengan label diskon 50% + 20%? Atau beli 1 gratis 1? Atau beli 4 bayar 3? Hohoho…… luar biasa! Sekali pergi ke mall bisa jadi kesulitan pulang karena tidak mampu membawa tas belanjaan yang penuh barang-barang diskonan.  Belum lagi kalau kita mempunyai kartu membership pusat perbelanjaan tertentu, masih bisa dapat  poin yang bisa ditukar lagi dengan barang lho….. Sekali lagi luar biasa!

Kegiatan belanja selalu diasosiasikan sebagai kegiatan perempuan.  Jadi sebagai perempuan “normal” saya juga suka berburu barang-barang diskonan.  Sering kali teman  saya mengajak belanja ini itu karena ada merek terkenal sedang diskon katanya. Tetapi sering-seringnya saya enggan untuk mengiyakan.  Kadang-kadang satu hal karena sedang tidak berencana beli-beli  dan tidak ada dana.  Kedua,  karena saya pernah sakit hati dengan yang namanya diskon.  Saya berpikir mengapa harus membeli barang yang sedang berharga murah kalau sedang tidak membutuhkannya.  Prinsip saya kalaupun mahal tetapi saya butuh ya saya harus beli.  Contoh yang paling gampang adalah baju.  Musim-musim begini, akhir tahun dan hari raya, yang namanya diskon baju pasti ada di semua pusat belanja.  Kalau hanya tergiur harga murah, bisa saja beli sekarung. Tapi buat apa menumpuk baju banyak-banyak , apalagi yang sedang tren.  Bukannya tren itu selalu cepat berubah.  Belum sempat dipakai tren sudah berubah, beli lagi…..begitu seterusnya.  Buat saya beli baju itu butuh  “chemistry”, harga murah dan merek saja gak cukup.  Kalaupun  bermerek  dan lagi diskon kalau lagi gak perlu , ya buat apa beli.  Suatu kali ketika saya sedang memakai lotion di kantor, tiba-tiba ada teman saya yang bilang kalau lotion yang sedang saya pakai itu sedang ada promo di sebuah hypermarket.  Katanya lagi, ada potongan harga, jadi lebih murah sekian rupiah. Saya kebetulan baru saja beli dari tempat lain dan belinya pun cukup satu saja.  Kalaupun di tempat teman saya belanja itu sedang diskon dan saya cuma beli satu biji apa bedanya? Paling-paling selisih cuma seribu.  Saya harus bayar parkir lagi, jadinya malah lebih mahal dong…. Kecuali kalau saya membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi, itu beda topic.   Lalu ada teman yang lain lagi cerita ketika dia sedang antri di kasir, seorang ibu didepannya mengambil sebuah produk cookies yang sedang ada promo dan didisplay di dekat kasir, beli satu dapat dua.  Eh, si teman tadi jadi ikut-ikutan ambil cookies tadi padahal lagi tidak butuh.   Pembelanja yang hebat bukan?

Sakit hati dengan kata diskon di toko? Itu saya.  Suatu kali saya membeli buku di sebuah toko  buku terkenal, tertulis diskon 40%.  Sesampai dirumah, ketika saya membuka bungkus plastiknya secara iseng saya ambil juga stiker harganya.Ternyata ada dua stiker yang ditumpuk.  Yang dibawah harga asli yang satu lagi harganya lebih mahal beberapa ribu rupiah.  Ketika saya iseng lagi menghitung harga yang tadi saya bayar, harga yang tertera di stiker atas dikurangi nilai diskonnya, harganya malah jadi lebih mahal dari harga aslinya yang ada di stiker bawahnya… Langsung saya patah hati.  Jadi begini kelakuannya…  Bukan sekali itu saja saya disakiti oleh diskon.  Kali ini terjadi di sebuah department store ketika hendak membeli jeans.  Di situ harganya sekitar 200-300 ribuan dengan diskon label 50% persen.  Saya tidak langsung beli. Lalu saya pergi ke sebuah jaringan toko local yang memang terkenal murah meskipun jarang ada diskon.  Ternyata benar, jeans dengan merek dan model yang sama di toko lokal itu harganya adalah harga jeans yang sudah didiskon  di department store besar tadi.  Kesimpulannya, department store besar itu melipat duakan harganya baru di label diskon 50% dimana itu adalah harga aslinya produk jeans tersebut.  Cape’ dweeeeh….  Mulai saat itu saya selalu berpikir dua kali kalau ada kata-kata diskon. Saya tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya.  Meskipun kadang saya masih mencarinya juga

Ngomong-ngomong soal diskon, menurut saya sebenarnya bukan masalah  mendapatkan harga murahnya, tetapi lebih kepada prestise karena bisa membeli barang-barang bermerek.  Dan tentu saja tempat mendapatkan barang itu adalah satu alasan lain yang membuat orang berlomba-lomba memburu diskon.  Mana ada orang yang pamer  ketika mendapatkan potongan harga di pasar tradisional.  Sebaliknya kalau mendapatkan potongan harga 5% saja di sebuah mall mewah, pasti ceritanya keseantero nusantara secara lisan dan melalui social media J .  Orang-orang yang seperti itu biasanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas, OKB, atau yang pura-pura berpunya.  Tetapi kemudian saya berpikir, kenapa juga harus memburu diskon padahal mereka jelas-jelas punya uang, kecuali tentu saja yang berpura-pura tadi.  Sebuah kenyataan yang aneh. 

Kebetulan akhir tahun ini ada soft opening mall baru di tempat saya. Otomatis semua orang dibanjiri promosi dan diskon ini itu.  Salah satu retail kelas berat bahkan telah menyebar pendaftaran gratis kartu keanggotaan jauh-jauh hari sebelum pembukaan mall tersebut.  Orang-orang dengan sukacita berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu membership belanja.  Ketika seorang teman yang juga bukan pembelanja bertanya apa keuntungan yang bias diperoleh kalau mempunyai kartu itu.  Sales dari retail tersebut menyebutkan sekian persen potongan harga untuk pembelian barang di tempat itu. Sekian persennya itulah yang membuat saya melongo, 2.5%!  Weks!!!!  Iya kalau saya belinya satu container, untungnya terasa.  Lha kalau saya cuma beli satu dua biji?  Orang Jawa menyebutnya “nylilit” (*sisa makanan di sela-sela gigi …ieww!!!)

Ya maklum sih…saya adalah pengunjung setia pasar tradisional yang tidak mengenal promo dan diskon kecuali penjualnya baik hati. Saya kurang bisa menjiwai dunia belanja diskon di mall dan hypermarket.  Saya masih addicted  dengan senyuman dan candaan mbokdhe-mbokdhe penjual di pasar yang kadang-kadang tanpa diminta mereka memberi potongan harga dan extra item dengan senang hati.  Inilah yang tidak bisa saya temukan di tempat-tempat belanja mewah itu.  Kalaupun dapat extra item, pastinya bayarnya juga ekstra, beli satu dapat dua senilai $$$.... Well…… 

Memburu  diskon itu memang menyenangkan. Saya suka itu.  Tetapi sebaiknya pikirkan pula, apakah barang yang memikat hati itu memang benar-benar dibutuhkan.  (PERHATIAN: SARAN INI BERLAKU HANYA UNTUK KAUM PROLETAR  :D)

 

Selamat  Menikmati Musim Midnight Sale dan Diskon Akhir Tahun , Kawan….