KUCING ATAU KAMBING? (Part. 1)
Suatu pagi di lingkungan perumahan baru.
Mrs. X: Saking pundi Bu? (darimana, Bu?)
Saya: Niki saking mendet laundry. Nembe santai2 tho
bu? (ambil laundry, lagi santai ya?
Mrs. X: Nggih, niki dhedhe mumpung panas. Lha putrane
pundi?(iya, mumpung panas ini berjemur. anaknya mana?)
Saya:
hehehe...dereng enten. (belum ada)
Mrs. X: ooo...pun
dangu anggenipun nikah? (sudah lama menikah?)
Saya: nggih
...lumayan.
Mrs. X: lha nggih,
kok dereng gadah putra. Malah putrane “KUCING” (lha iya ...masak belum punya anak sih? malah anaknya kucing)
Saya: (*whaaaa???!!) (spontan saya meraba pantat....Alhamdulillah, ekor saya tidak terlihat).
(dari jendela Miko, si bos besar kucing
saya, menyeringai jahat, hehehe...kamu ketahuan)(*)
Satu contoh
nyata ketika memelihara seekor binatang dianggap sebuah kompensasi karena tidak
memiliki ini dan itu, anak misalnya.
Bagi saya memelihara hewan peliharaan adalah sebuah hubungan kasih sayang
antar makhluk hidup dari spesies yang berbeda, bukan sebagai pengganti sesuatu.
Saya memaklumi reaksi orang seperti Mrs.
X diatas ketika melihat hubungan saya dengan hewan-hewan peliharaan saya karena
dia sendiri jijik dengan hewan dan bahkan tanamanpun dia hampir tidak
punya. Suatu kali Mrs.X ini
terkekeh-kekeh ketika tahu saya menamai 4 ekor kucing saya, Miko, Ciki, Cabi
dan Iyeng (RIP). Betapa dia geli bahwa
sempat-sempatnya saya menamai kucing-kucing saya. Lebih heran lagi, ketika dia
bertanya tentang bagaimana cara buang air kucing-kucing saya karena selalu
berada di dalam rumah. Saya bilang ada wadah khusus dan ada yang bisa langsung pipis di kloset.
Tidak percaya dia.
Saya sering terlihat berbicara dengan kucing-kucing saya. Yes, I do talk to my pets. Entah para kucing itu paham atau tidak, saya
tetap saja berbicara pada mereka. Orang yang melihat pasti menganggap saya “gendheng”. Biar saja. Lebih edan mana
dengan orang yang suka menyiksa binatang? Kadang saya merasa bahwa orang
melihat saya sebagai orang aneh yang kurang kerjaan atau orang yang kasihan
banget karena gak punya anak blaa...bla...bla.... Sedih juga sih dianggap
begitu. Tetapi ketika saya sesekali bertemu dengan mereka yang dengan sukarela
memelihara kucing atau anjing terlantar, saya tidak merasa sendirian lagi.
Masih banyak diluar sana orang-orang hebat yang berhati mulia karena mau
menolong kucing atau anjing terlantar tanpa takut di cap “gendheng” tadi. Kalaupun saya juga dianggap “gendheng”,
paling tidak saya tidak “gendheng” sendirian.
:D
Pagi tadi saya bertemu dengan seorang “gendheng” seperti
saya di klinik hewan. Sebelumnya saya
harus melarikan Miko ke klinik pagi ini karena seharian kemarin muntah dan
tidak mau makan apapun. Ketika keluar
dari ruang periksa, saya melihat seorang ibu setengah baya dengan putrinya
seumuran mahasiswa. Si ibu memangku
kucing domestik yang cukup besar dan terlihat kumal. Saya mendekatinya dan
bertanya-tanya. Maklum sesama “gendheng” :D.
(note: Saya hanya memasukkan penyayang kucing domestik saja sebagai
orang sejenis saya, pecinta kucing import gak masuk kategori karena
orientasinya beda :D ) Lanjut... Kata si ibu itu kucing cuma kucing liar yang
suka datang kerumah numpang makan tidur selama beberapa bulan terakhir. Karena tadi pagi terlihat sakit dan perutnya
membesar lalu si ibu berniat membawanya
ke klinik. Bagi saya, inilah penyayang
kucing. Mungkin orang lain berpikir buat
apa mengurusi kucing liar, mati mbok ya biar.... Tapi si ibu ini bukan orang
semacam itu. Dia rela memangku kucing kumal sebesar macan dari rumahnya yang
lumayan jauh ke klinik. Sungguh terharu melihat si kucing yang begitu beruntung
mendapat tempat dihati si ibu dan si mbak tadi.
Cukup lama saya bercakap-cakap denga mereka berdua dan berbagi cara
membersihkan bulu si kucing biar terlihat agak ganteng. Karena si mbak memuji-muji Miko, kok bersih ,
ganteng lagi. Errrrr..... Sampai dikira kucing import pula. Spontan Miko
langsung sembuh dari iritasi lambungnya karena dipuji si mbak......
Ketika mampir ke sebuah petshop untuk membeli dryfood, saya
bertemu juga dengan malaikat yang lain lagi. Yang ini bapak-bapak dengan
seragam PNS. Padahal masih termasuk jam
kerja, si bapak berani-beraninya ngelayap ke petshop cuma untuk membeli dryfood
dan obat kutu buat kucingnya. Ketika
tahu saya membawa kucing domestik, si bapak malah bertanya bagaimana cara
membersihkan kutu kucing karena ternyata kucing si bapak domestik juga.
Entahlah, saya lebih bisa berbagi banyak dengan sesama penyayang kucing
domestik daripada pemilik kucing ras. Yaaa...mungkin sesama penderita
“gendheng” tadi. :D
Jujur saja, saya kadang masih berusaha menghindari
percakapan tentang hewan peliharaan saya dengan orang yang tidak suka dengan
hewan. Percuma saja, namanya tidak suka ya sulit untuk paham kalau sebenarnya
hewan itu juga bisa dilatih tertib.
Bahkan saya selalu berusaha tidak terlihat tetangga ketika harus
membonceng keranjang rio berisi kucing untuk dibawa ke dokter hewan. Suatu
ketika ketahuan juga oleh tetangga ketika pulang dari dokter hewan. Woooow
langsung berceceran komentar tentang betapa
mahalnya...sempat-sempatnya...kucing aja kok dibawa ke dokter segala... Saya cuma “mrenges” saja. Percuma
dijelaskan. End of discussion. Kadang ingin juga memberi penjelasan bahwa
memelihara hewan itu tidak sejijik yang mereka pikirkan, tapi...ya sudahlah. Terlanjur sudah mereka membuat kucing-kucing
jadi kambing hitam kekotoran rumah dan penyebab penyakit ini dan itu.
Sayang dan cinta itu beda tipis. Sama-sama memberikan
perhatian. Menyayangi hewan peliharaan berarti mau menerima hewan peliharaannya
dalam kondisi apapun dan rela membelanjakan sebagian hartanya untuk mereka,
seperti si ibu dengan kucing segede macan tadi.
Satu hal yang penting, penyayang hewan tidak akan pernah menjual hewan peliharaannya.
Penyayang kucing tidak akan merubah kucing-kucingnya menjadi
kambing hitam hanya karena mendengar opini negatif tentang mereka.
(Untukmu penyayang kucing dan anjing terlantar, YOU’RE ANGELS
IN DISGUISE. Kalian malaikat yang tak terlihat. Lemah teles, Gusti Alloh sing
bales. )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar