Omong Kopi
A cup of coffee a day keeps the doctors
away.
(Syarat dan
ketentuan berlaku)
Kopi telah menjadi
bagian dari hidup saya sejak lama, bahkan sejak saya masih kanak-kanak. Bukan tanpa cerita kalau saya sampai sekarang
sangat menggemari minuman berwarna hitam dengan rasa pahit dan beraroma harum itu.
Cerita
kopi saya dimulai ketika saya masih kanak-kanak sekitar tahun 1983an, ketika
saya sudah paham dolan dengan teman. Sayangnya pada saat itu tidak banyak anak
seusia saya disekitaran rumah karena
beberapa bagian kampung saya masih berupa sawah, tegalan, dan tanah kosong.
Jadi saya lebih banyak dirumah saja. Tetapi satu dua kali ikut ngelayap juga
dengan kakak laki-laki saya. Sampai suatu saat kenal dengan anak pemilik warung
belakang rumah yang seusia kakak saya. Mereka adalah dua gadis ABG pada saat
itu. Karena saya miskin teman perempuan, maka saya jadi sering bermain dengan
mbak Wati dan mbak Sri. Mereka berdua sangat rajin. Setiap hari bergantian
membantu orang tua mereka di warung. Mbak Wati tugasnya menggoreng cemilan
semacam tempe, tahu, ketela, pisang dan lain-lain. Sementara mbak Sri yang
lebih muda bertugas membuatkan minuman membantu si bapak, Mbah Kenya, untuk
pengunjung warung. Lek Pithi, ibu
mereka berada di garis depan melayani
pelanggan yang makan ditempat atau yang pesan bungkus. Makanan utama di warung itu adalah khas Madiun, nasi pecel. Menu sampingannya adalah cemilan gorengan.
Warung mungil itu selalu padat dengan pembeli setiap hari mulai pukul 5:30an,
dan seingat saya akan selalu buka sampai sore tetapi tanpa nasi pecel, hanya
kopi dan cemilan.
![]() |
gilingan kopi jadoel |
Karena
mbak Wati dan mbak Sri harus membantu orang tua mereka, kadang-kadang mereka
juga tidak sempat hang out di rumah mereka seperti biasanya. Tetapi tetap saja
setiap sore saya main kerumah mereka, kadang juga diwarungnya. Ketika mbak-mbak sedang sibuk, sasaran saya
adalah bapak mereka, Mbah Kenya. Si
Bapak yang asli Ponorogo ini berperawakan kekar khas warok dan berkulit gelap,
tetapi seingat saya tidak berkumis sebagaimana para warok. Meskipun begitu si
bapak cukup ramah dengan anak-anak. Kalau saya tidak punya teman bermain, saya
suka menungguinya menggiling kopi disore hari.
Sebelum digiling, kopi disangrai dulu oleh Lek Pithi atau si mbak. Entahlah, saya juga menunggui proses yang
panas ini, didapur dengan tungku berbahan bakar kayu. Biji kopi tidak boleh dibiarkan diam karena
bisa gosong, jadi harus terus dibolak-balik sampai mencapai kematangan yang
dimaksud supaya tidak pahit dan berbau sangit.
Setelah disangrai, kopi dianginanginkan di sebuah tampah sampai cukup
dingin. Satu dua kali saya iseng
menggigit biji kopi yang telah disangrai.....weeek....pahit bow! Hahahaha....
Lalu setelah itu, bagian yang paling
saya suka, menggiling! Yippee... Mbah Kenya dengan kostum kebesarannya, celana
warok hitam dan kaos singlet putih, segera nangkring di singgasananya, sebuah
dingklik tinggi dibelakang penggiling kopi. Dengan sigap, ia mengisikan
biji-biji kopi yang telah disangrai kemulut penggiling dan mulailah ia memutar
tuas penggerak gilingan. Suara biji kopi tergerus roda besi ini cukup menarik
buat saya, seperti musik. Aroma kopi yang freshly roasted membuat fly...
(*hahaha...lebay ) Saya betah sekali berlama-lama menunggui mbah Kenya
menggiling kopi. Kadang saya iseng ikut-ikutan memutar tuasnya, yang ternyata
berat karena penggilingnya berisi biji kopi.
Bubuk kopi yang keluar dari penggiling tidak langsung bisa dibuat kopi
tetapi masih harus diayak lagi karena masih sedikit kasar. Sisa ayakan di
giling lagi, demikian beberapa kali dilakukan sampai halus semua. Sungguh
proses yang panjang untuk secangkir kopi.
![]() |
sarapan ideal (foto koleksi pribadi) |

(Gambar gilingan kopi dari http://kedaibarangantik.blogspot.com/
(Gambar sesajen dari http://patke.heck.in/makna-simbolik-di-balik-sesaji.xhtml)