Total Tayangan Halaman

Rabu, 17 Desember 2014

We don’t read, do we?



We don’t read, do we?

Just this afternoon, I got annoyed by one of my students text message. She texted me whether presentation woud be today or some other days.  In fact, I had put a course outline right in her classroom.  Besides that, I had written there when the presentation would be in case that there would be this question.  Taadaaaaaa.... if you are scared of a thing, then it will exist.  What  I wondered was where was she when I loudly announced the D-day of the presentation.  She didn’t even ask her classmates about that, or perhaps her classmates didn’t pay attention either? Haaa...no idea. The fact shows that I did put and made a schedule there.  They didn’t read, and DON’T READ. Who’s to blame?  

My students didn’t read because they didn’t hear what I said or even they didn’t get what I meant by schedule.  Worst of all, they don’t read.  Past tense shows action in the past, but present  tense is for something happening at present and keeps going on until future time. If I say they don’t read, it means that they have a habit of not reading something.  In fact, they mostly asked about anything orally although there was a written guidance in which they were supposed to READ, not ASK.

Oral culture is to blame? Not necessary. Nothing to blame on but the human. Why don’t they change? (Errr...why don’t we change?) This runs in our veins,not just theirs.  Students are those who are in their school age and are often blamed of not reading. But we teachers don’t read either. Want a proof? Out of the blue, a teacher forgot her schedule to attend a class. As a result, somebody else had to take over the class for that session.  Her reason was that no one told her that she had to attend that class.  In fact, there was a very clear and present schedule that showed her duty to present in that class. Why didn’t she read I wondered.  What did she think of those words, numbers and such on the paper stuck on the wall? Decoration...well. PlaaaaaaK!!!!


So, I can conclude that WE DON’T READ and we are not better readers that our students. Happy with this? Don’t we feel guilty of asking our students to read while we ourselves don’t read?

Sabtu, 01 Maret 2014

SHARE



SHARE
share (v) 5 [T] to tell someone else about your thought s, feelings, ideas, etc.  {Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, third edition, 2008}


Semenjak kemunculan media social di internet , orang-orang dengan mudah share –membagikan—informasi kepada komunitasnya.  Diawali dengan chat room, milis, dan forum-forum di internet yang kemudian disambung dengan Friendster, Hi5, MySpace, Facebook, Tumblr, Twitter, Google+,  Instagram, dan yang sejenisnya, orang semakin mudah meluncurkan ide-idenya ke segala penjuru.  Pada awal munculnya media ini, orang berbagi informasi yang tidak mudah didapat di dunia nyata dengan kadar kebenaran yang cukup bisa dipercaya karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa mengakses internet. Informasinyapun menyebar hanya di seputaran komunitas tertentu.  Kalaupun pada akhirnya tersebar keluar dunia maya,  medianya akan berubah pula, misalnya secara lisan atau cetak dan reaksi orang-orang pun belum secepat sekarang—membagikannya ke orang lain lagi. 
Waktu berputar dengan cepat,  demikian pula perkembangan media social yang kemudian memunculkan sang fenomenal, Facebook.  Sejak adanya Facebook, orang jauh lebih mudah berkomunikasi dengan sesamanya yang jauh maupun dekat.  Suasana hati, menu makan siang, status pernikahan, doa-doa, sampai sumpah serapah pun dengan mudah di “share” ke public – teman pengguna akun.  Sampai suatu ketika beberapa orang yang terluang waktunya membuat tulisan atau gambar yang diragukan kebenarannya dan membagikannya kepada teman-temannya.  Mereka kemudian membaginya lagi kepada teman dalam lingkaran yang lain lagi, begitu seterusnya.  Sehingga kemudian tidak diketahui lagi siapa sebenarnya pembuat asli tulisan atau gambar yang telah tersebar tersebut karena mungkin salah satu mata rantai penyebar lupa mencantumkan darimana asal tulisan atau gambar tersebut.  Bahkan tidak mustahil tulisan dan gambar itu akan kembali lagi ke pemilik aslinya selama ia masih termasuk dalam mata rantai yang membentuk mata rantai yang lebih besar lagi. 
Pasca Facebook dan media social yang hanya bisa diakses dengan komputer, bermunculan media social berbasis internet yang tanpa harus bersentuhan dengan PC atau notebook.  Cukup dengan handphone dengan spesifikasi tertentu orang sudah bisa dengan mudah memiliki akun media social yang lebih mobile – bebas bergerak kemana-mana—misalnya  versi-versi mobile Facebook, Twitter, YM.  Ditambah dengan masuknya Blackberry dan Android, hampir semua orang memiliki akun media social minimal satu.  Sebagai akibatnya adalah arus penyebaran dan perputaran informasi semakin tidak terbendung lagi.  Segala macam informasi berupa kata-kata, tulisan, gambar, dan video dengan mudah menyebar ke lingkaran-lingkaran kelompok pengguna tanpa diminta.  Secara otomatis, sebagian penerima akan membagikannya  ke lingkaran kelompok yang lain dimana ia juga termasuk dalam lingkaran itu.  Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan berbagi karena itu adalah perilaku alami manusia.  Tetapi ketika ada satu bagian mata rantai lingkaran yang alpa, misalnya tidak mengerti benar apa isi informasi tersebut dan asal membagikannya, pastilah akan menimbulkan masalah bagi yang lain misalnya, kepanikan, keresahan, bahkan yang lebih buruk adalah perilaku anarkis yang spontan.  Emosi bisa tersulut tanpa harus bersentuhan fisik seperti jaman dahulu, lewat posting-an di media social pun jadilah. 
Yang menjadi masalah bukanlah media sosialnya atau siapa yang membagi informasi, tetapi kebenaran isi dari informasi tersebut.  Contoh mudah adalah ketika gunung Kelud meletus tanggal 14 February 2014 lalu, spontan di media social muncul posting-posting yang simpang siur, misalnya informasi gempa dan letusan setelah sekian jam bla…bla….bla… dengan menyertakan alamat situs abal-abal. Ada saja yang membagikannya kemana-mana tanpa memeriksa kebenaran keberadaan situs tersebut.  Begitu pula dengan sebuah posting yang memakai  angka ayat-ayat Al-Quran yang diotak-atik gathuk, yang katanya letusan Kelud telah diramalkan dalam Al-Quran sesuai dengan angka-angka tersebut.  Tanpa harus dicuplikkan semacam teka-teki numeric begitu, Al Quran sungguh telah memuat semuanya.  Sungguh ironis, disaat yang lain panik menyelamatkan diri ada saja yang sempat-sempatnya membuat dan membagikan hal yang sekiranya tidak perlu.  Positifnya adalah si pembuat mungkin ingin mengingatkan diri sendiri akan kuasa Alloh terhadap semua kejadian alam semesta dengan cara mengunggahnya ke media social supaya diamini banyak orang.  ( Bukannya Tuhan punya akun media social? Buktinya banyak orang berdoa dan meminta kepada Tuhan disitu.)  Teman si pembuat membaca dan setuju, dan membagikannya ke yang lain tanpa harus tahu dari siapa untuk apa, demikian tak ada habisnya. 
Adalah kita yang bisa mengendalikan dan menyaring arus informasi.  Seyogyanya dengan bijaksana kita pilah mana informasi yang perlu kita bagi atau kita simpan sendiri lalu buang.  Langkah pertama adalah baca dengan mata terbuka, cerna dengan logika, periksa sumbernya kalau ada. Kalau ternyata tidak perlu, buang saja. Jangan mudah percaya, banyak orang pintar otaknya tetapi mati hatinya.


Notes:
(Terinspirasi atas perdebatan saya dengan beberapa orang di grup Whatssap yang men-share perilaku pemusik hardcore yang disebut sesat dan memuja iblis dll.  Ketika saya bilang hendaknya kita bisa menyaring informasi yang kita terima dan tidak langsung membaginya kalau kita tidak tahu benar salahnya, si pengunggah marah-marah.  Tambah marah lagi ketika saya sarankan menyertakan sumbernya. Mungkin saja kata-kata yang saya pilih terlalu keras buat si pengunggah.  Salah sendiri bahas music hardcore...jelas “hard” pilihan kata-kata saya untuk mengomentarinya J.  Mohon maaf )

Sabtu, 30 November 2013

Ayo Berburu Diskon Akhir Tahun

(don’t) SHOP TILL YOU DROP

Menjelang akhir tahun begini biasanya pusat-pusat perbelanjaan menggelar diskon besar-besaran untuk produk apa saja. Wow… sungguh menggiurkan. Siapa yang tidak terpikat dengan label diskon 50% + 20%? Atau beli 1 gratis 1? Atau beli 4 bayar 3? Hohoho…… luar biasa! Sekali pergi ke mall bisa jadi kesulitan pulang karena tidak mampu membawa tas belanjaan yang penuh barang-barang diskonan.  Belum lagi kalau kita mempunyai kartu membership pusat perbelanjaan tertentu, masih bisa dapat  poin yang bisa ditukar lagi dengan barang lho….. Sekali lagi luar biasa!

Kegiatan belanja selalu diasosiasikan sebagai kegiatan perempuan.  Jadi sebagai perempuan “normal” saya juga suka berburu barang-barang diskonan.  Sering kali teman  saya mengajak belanja ini itu karena ada merek terkenal sedang diskon katanya. Tetapi sering-seringnya saya enggan untuk mengiyakan.  Kadang-kadang satu hal karena sedang tidak berencana beli-beli  dan tidak ada dana.  Kedua,  karena saya pernah sakit hati dengan yang namanya diskon.  Saya berpikir mengapa harus membeli barang yang sedang berharga murah kalau sedang tidak membutuhkannya.  Prinsip saya kalaupun mahal tetapi saya butuh ya saya harus beli.  Contoh yang paling gampang adalah baju.  Musim-musim begini, akhir tahun dan hari raya, yang namanya diskon baju pasti ada di semua pusat belanja.  Kalau hanya tergiur harga murah, bisa saja beli sekarung. Tapi buat apa menumpuk baju banyak-banyak , apalagi yang sedang tren.  Bukannya tren itu selalu cepat berubah.  Belum sempat dipakai tren sudah berubah, beli lagi…..begitu seterusnya.  Buat saya beli baju itu butuh  “chemistry”, harga murah dan merek saja gak cukup.  Kalaupun  bermerek  dan lagi diskon kalau lagi gak perlu , ya buat apa beli.  Suatu kali ketika saya sedang memakai lotion di kantor, tiba-tiba ada teman saya yang bilang kalau lotion yang sedang saya pakai itu sedang ada promo di sebuah hypermarket.  Katanya lagi, ada potongan harga, jadi lebih murah sekian rupiah. Saya kebetulan baru saja beli dari tempat lain dan belinya pun cukup satu saja.  Kalaupun di tempat teman saya belanja itu sedang diskon dan saya cuma beli satu biji apa bedanya? Paling-paling selisih cuma seribu.  Saya harus bayar parkir lagi, jadinya malah lebih mahal dong…. Kecuali kalau saya membeli dalam jumlah banyak untuk dijual lagi, itu beda topic.   Lalu ada teman yang lain lagi cerita ketika dia sedang antri di kasir, seorang ibu didepannya mengambil sebuah produk cookies yang sedang ada promo dan didisplay di dekat kasir, beli satu dapat dua.  Eh, si teman tadi jadi ikut-ikutan ambil cookies tadi padahal lagi tidak butuh.   Pembelanja yang hebat bukan?

Sakit hati dengan kata diskon di toko? Itu saya.  Suatu kali saya membeli buku di sebuah toko  buku terkenal, tertulis diskon 40%.  Sesampai dirumah, ketika saya membuka bungkus plastiknya secara iseng saya ambil juga stiker harganya.Ternyata ada dua stiker yang ditumpuk.  Yang dibawah harga asli yang satu lagi harganya lebih mahal beberapa ribu rupiah.  Ketika saya iseng lagi menghitung harga yang tadi saya bayar, harga yang tertera di stiker atas dikurangi nilai diskonnya, harganya malah jadi lebih mahal dari harga aslinya yang ada di stiker bawahnya… Langsung saya patah hati.  Jadi begini kelakuannya…  Bukan sekali itu saja saya disakiti oleh diskon.  Kali ini terjadi di sebuah department store ketika hendak membeli jeans.  Di situ harganya sekitar 200-300 ribuan dengan diskon label 50% persen.  Saya tidak langsung beli. Lalu saya pergi ke sebuah jaringan toko local yang memang terkenal murah meskipun jarang ada diskon.  Ternyata benar, jeans dengan merek dan model yang sama di toko lokal itu harganya adalah harga jeans yang sudah didiskon  di department store besar tadi.  Kesimpulannya, department store besar itu melipat duakan harganya baru di label diskon 50% dimana itu adalah harga aslinya produk jeans tersebut.  Cape’ dweeeeh….  Mulai saat itu saya selalu berpikir dua kali kalau ada kata-kata diskon. Saya tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya.  Meskipun kadang saya masih mencarinya juga

Ngomong-ngomong soal diskon, menurut saya sebenarnya bukan masalah  mendapatkan harga murahnya, tetapi lebih kepada prestise karena bisa membeli barang-barang bermerek.  Dan tentu saja tempat mendapatkan barang itu adalah satu alasan lain yang membuat orang berlomba-lomba memburu diskon.  Mana ada orang yang pamer  ketika mendapatkan potongan harga di pasar tradisional.  Sebaliknya kalau mendapatkan potongan harga 5% saja di sebuah mall mewah, pasti ceritanya keseantero nusantara secara lisan dan melalui social media J .  Orang-orang yang seperti itu biasanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas, OKB, atau yang pura-pura berpunya.  Tetapi kemudian saya berpikir, kenapa juga harus memburu diskon padahal mereka jelas-jelas punya uang, kecuali tentu saja yang berpura-pura tadi.  Sebuah kenyataan yang aneh. 

Kebetulan akhir tahun ini ada soft opening mall baru di tempat saya. Otomatis semua orang dibanjiri promosi dan diskon ini itu.  Salah satu retail kelas berat bahkan telah menyebar pendaftaran gratis kartu keanggotaan jauh-jauh hari sebelum pembukaan mall tersebut.  Orang-orang dengan sukacita berduyun-duyun mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu membership belanja.  Ketika seorang teman yang juga bukan pembelanja bertanya apa keuntungan yang bias diperoleh kalau mempunyai kartu itu.  Sales dari retail tersebut menyebutkan sekian persen potongan harga untuk pembelian barang di tempat itu. Sekian persennya itulah yang membuat saya melongo, 2.5%!  Weks!!!!  Iya kalau saya belinya satu container, untungnya terasa.  Lha kalau saya cuma beli satu dua biji?  Orang Jawa menyebutnya “nylilit” (*sisa makanan di sela-sela gigi …ieww!!!)

Ya maklum sih…saya adalah pengunjung setia pasar tradisional yang tidak mengenal promo dan diskon kecuali penjualnya baik hati. Saya kurang bisa menjiwai dunia belanja diskon di mall dan hypermarket.  Saya masih addicted  dengan senyuman dan candaan mbokdhe-mbokdhe penjual di pasar yang kadang-kadang tanpa diminta mereka memberi potongan harga dan extra item dengan senang hati.  Inilah yang tidak bisa saya temukan di tempat-tempat belanja mewah itu.  Kalaupun dapat extra item, pastinya bayarnya juga ekstra, beli satu dapat dua senilai $$$.... Well…… 

Memburu  diskon itu memang menyenangkan. Saya suka itu.  Tetapi sebaiknya pikirkan pula, apakah barang yang memikat hati itu memang benar-benar dibutuhkan.  (PERHATIAN: SARAN INI BERLAKU HANYA UNTUK KAUM PROLETAR  :D)

 

Selamat  Menikmati Musim Midnight Sale dan Diskon Akhir Tahun , Kawan….



Sabtu, 07 September 2013

KARENA RASA ADALAH SEGALANYA*

(kata2 iklan apa ya? Lupa...pinjam sebentar )


Nun di sebuah kampung dekat tempat tinggal saya, tersebutlah sebuah warung yang menjual menu-menu tradisional khas Jawa, khususnya makanan Solo.  Warung sederhana ini terletak di tengah perkampungan, memiliki halaman yang luas, dan dulu ada sebatang pohon mangga yang cukup besar di depannya sehingga kalau siang sangat teduh.  Entah mengapa terakhir saya lewat pohon mangga itu sudah tak ada lagi di tempatnya.  Ada kurang lebih 3 orang yang mengelola warung ini, Si Ibu, si Mbak, dan si Bapak.  Mereka punya tugas yang berbeda-beda.  Si Ibu dan si Mbak berada di depan melayani pembeli, dan si Bapak mondar-mandir ke dapur membuat minuman.  Setiap hari tepat jam makan siang, warung ini selalu penuh dengan pembeli sampai-sampai ada yang mengantri dari jendela.  Siapa yang tidak tergiur dengan tumpukan gorengan yang masih hangat, bau segar khas bumbu lotek dan pecel yang berpadu dengan aroma gurih kuah timlo  dan ketoprak.  Saya kurang tahu pasti ada berapa macam makanan yang dijual di sini, karena terlihat sangat banyak dan pembelinya juga berjubel sehingga agak sulit mengamati dengan seksama.  Belum lagi segala macam kerupuk, karak, dan rambak yang bergelantungan di atas meja.  Sungguh suasana yang pas untuk makan siang, apa yang dilihat bisa langsung disikat…..
Namun demikian, seumur hidup saya baru dua kali saya mampir ke warung itu.  Pertama ketika saya penasaran mengapa warung ini sedemikian ramainya, dan kunjungan saya yang kedua adalah ketika saya suatu hari ingin makan gado-gado dari warung itu.  Saya belum merencanakan kunjungan saya yang ketiga karena ada hal yang masih mengusik saya hingga detik ini, si Mbak ternyata orangnya judes dan galak minta ampyuuuun cyiiin….

Saya kemudian bertanya-tanya mengapa bisa warung itu selalu ramai padahal si Mbak yang jualan juga tidak begitu ramah.  Entah pada saat saya makan ke warung itu si Mbak lagi PMS, jadi maunya marah-marah terus.  Sampai-sampai pada saat itu, ada seorang bapak yang hendak pesan kena bentak karena terlalu lama mikir mau makan apa.  Bukan itu saja, selama saya mengantri gado-gado saya, si Mbak melayani pembeli dengan muka cemberut dan berbicara dengan ketus.  Herannya, orang-orang yang beli juga tampaknya tidak begitu terpengaruh dengan perilaku si Mbak.  Saya agak keder juga sebenarnya, sampai-sampai saya lupa tidak jadi  beli kerupuk, habis bayar saya langsung kabur.  Iiihhhhh…syereeeemmm….

Saya pernah membaca sebuah artikel tentang marketing atau customer service atau apalah namanya.  Artikel itu mengatakan bahwa melayani pembeli itu harus dengan ramah dan memberikan senyuman supaya pembeli tidak kapok untuk kembali lagi.  Ada lagi satu teori tentang pentingnya tersenyum yang menyebutkan bahwa kalau kita tersenyum, orang lain yang melihat kita akan tergerak untuk tersenyum juga sehingga terbangunlah suasana positif.   Lhah, lalu?!  Si Mbak tadi pasang muka galak dan jutek, pembeli tetap saja berjubel dan dengan sabar mengantri.   Bahkan para pembeli pun memberikan senyuman termanis mereka kepada si Mbak yang tetap saja merengut.  Lalu apa yang salah dengan teori-teori marketing dan pelayanan dan psikologi itu?  Ini yang membuat saya selalu bertanya-tanya dan belum menemukan jawaban yang memuaskan.  Bukan sekali ini saja saya menemukan bentuk pelayanan yang “menakutkan” tetapi disisi lain masih banyak juga yang menggunakan jasa dari si penjual.  

Saya kemudian berasumsi.  Satu, orang-orang yang beli di tempat si Mbak tadi adalah orang-orang yang memiliki level kesabaran tingkat dewa dan selalu berpikir positif. Jadi meskipun di aniaya secara audial oleh suara si Mbak yang ketus tetap saja mereka dengan sabar mengantri.  Tentu saja saya adalah pengecualian, karena saya kabur dan tidak kembali lagi .....   Dua, orang-orang tersebut mendapatkan tempat yang nyaman untuk mendapatkan makan siang atas nama jarak, karena beberapa pembeli yang saya lihat adalah orang-orang kampung sekitar.  Tiga, mereka telah terpenjara rasa dan harga.  Sekali kita merasakan suatu makanan yang cocok di lidah tanpa membuat kantong hancur lebur , pasti kita akan kembali ke tempat itu lagi tanpa memikirkan ini dan itu.  Rasa adalah raja, karena selalu akan membuat kita tunduk akan segala keberadaannya.  Orang mencari tempat makan sampai jauh hanya karena apa? RASA.

Entahlah, apakah asumsi-asumsi saya itu benar atau salah, saya tidak begitu peduli.  Saya cuma ingin tahu apakah pakar-pakar marketing dan pelayanan bisa menjelaskan fenomena ini, bahwa rasa adalah segalanya terlepas dari siapa yang menciptanya.  

Rabu, 21 Agustus 2013

terlalu

terlalu banyak ide tulisan di otak

terlalu banyak bacaan yang harus di kaji

tetapi...

terlalu sedikit waktu untuk menulis

t e r l a l u...